Tuesday, April 19, 2011

Kewenangan Mengaudit Keuangan Badan Usaha Milik Negara, Antara BPK Dan Kementrian BUMN

Kewenangan Mengaudit Keuangan Badan Usaha Milik Negara, Antara BPK Dan Kementrian BUMN | July 30, 2009

Oleh: Imran Nating, SH.
Pengantar

Dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Tap MPR RI No. X / MPR/2001 telah memberi rekomendasi kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga independen;
2. Badan Pemeriksa Keuangan perlu meningkatkan intensitas dan efektifitas pemeriksaannya terhadap Lembaga-lembaga Tinggi Negara, Institusi Pemerintahan, BUMN, BUMD, dan lembaga-lembaga lain yang menggunakan keuangan negara.

BPK RI berdasarkan Tap MPR ini yang di beri tugas sebagai eksternal auditor dan juga berhak melakukan pemeriksaan terhadap BUMN dan lembaga manapun yang menggunakan keuangan negara, telah menyiapkan sejumlah langkah-langkah untuk melaksanakan amanat MPR tertsebut.

BPK telah melakukan pendekatan ke Kementrian BUMN dan Kementrian Keuangan RI, untuk memberitahukan bahwa BPK akan melakukan pemeriksaan keuangan terhadap Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana tertuang dalam surat BPK kepada kedua menteri tersebut pada tanggal 5 April 2002 dan 22 Juli 2002 yang menyampaikan bahwa mulai tahun 2002 BPK akan menjadi eksternal auditor satu-satunya bagi BUMN. Hal mana yang kemudian menjadi persoalan, karena Kementrian BUMN tidak memberi respon terhadap keinginan BPK tersebut.

Terakhir seperti yang sama kita ketahui melalui media massa, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI, Satrio Boedihardjo Joedono, mengadukan sikap mentri BUMN yang tidak mau di periksa dan menyampaikan laporan ke BPK kepada Wakil Presiden.

BPK berdasarkan TAP MPR RI, telah melakukan berbagai persiapan baik sumber daya manusianya mupun fasilitas pendukung, untuk melakukan audit terhadap BUMN. Hal ini yang kemudian banyak di perdebatkan. Sejauh mana kewenangan BPK untuk mengaudit BUMN. Apakah hanya dengan dasar TAP MPR tersebut saja atau butuh dukungan perangkat aturan yang lebih teknis lagi demi menghindari terjadinya tumpang tindih dasar hukum yang di gunakan.

Keputusan MPR tersebut yang oleh BPK segera ditanggapi dengan rencana aksi di lapangan, tentu saja mengagetkan banyak pihak karena ketetapan tersebut berpotensi berbenturan dengan produk hukum lainnya, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Tentang Pasar Modal.
Latar Belakang BPK menjadi Eksternal Auditor

Ketepan MPR RI yang menunjuk BPK sebagai satu-satunya eksternal auditor bagi BUMN, didasari oleh keprihatinan anggota majelis terhadap kondisi BUMN yang ada di negeri ini. BUMN sebagai mana yang banyak dilansir oleh media massa, dianggap sebagai sapi perah dan sering banyak terjadi korupsi di dalamnya. Hal ini sebagai akibat dari tidak adanya laporan keuangan yang di sampaikan negara mengenai pengunaan dana dan fasilitas lain di BUMN tersebut.

Proses audit keuangan di BUMN tersebut di serahkan ke kantor Akuntan Publik dan di laporkan dalam rapat pemegang saham.

Padahal menurut ideal BPK, karena dana yang digunakan oleh BUMN tersebut adalah uang negara, maka sudah sepantasnya jika yang mengaudit keuangan lembaga tersebut adalah BPK. Apalagi setelah adanya TAP MPR yang membneri legitimasi kuat kepada BPK.

BPK juga berpegang pada suatu kenyataan hukum bahwa secara hierarki TAP MPR lebih tinggi dari Undang-undang. Sehingga undang-undang yang bertentangan TAP MPR tersebut, TAP yang dibikin oleh wakil 200 juta warga negara RI dapat di kesampingkan, atau setidak – tidaknya segera di tinjau kembali untuk di sesuaikan dengan nafas dari TAP MPR – RI No. X/2001.
Lembaga yang Mengaudit BUMN

Sebelum kita sampai pada jawaban sengketa antara siapa yang berhak melakukan audit terhadap BUMN, adanya baiknya kita membahas status uang yang ada di BUMN tersebut.

Anggaran negara yang dimasukkan ke BUMN (Persero) yang juga dimiliki oleh Publik, telah berubah sepenuhnya dari Uang Publik menjadi uang Privat. Statusnya pembukuannya juga berubah. Uang negara yang ada di Perum dan Persero adalah keuangan negara yang dipisahkan, sedangkan uang negara yang ditempatkan di Perjan tetap berstatus sebagai keuangan negara yang tidak di pisahkan.

Dari paparan singkat diatas, dapat dipahami bahwa uang negara yang masuk ke BUMN (persero), telah berubah status menjadi uang Privat. Maka dengan sendirinya pertanggung jawaban uang tersebut tidak lagi kepada publik (sebagai sumber uang) tapi kepada privat (masing-masing pemegang saham) di BUMN tersebut. Jika pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas, maka menteri BUMN sebagai wakil negara dan sekaligus sebagai komisaris dari BUMN tersebut, dalam RUPS berhak menentukan siapa yang akan melakukan audit terhadap keuangan BUMN tersebut.

Aturan hukum yang dipergunakan dalam BUMN tersebut adalah Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Pasar Modal. Sehingga seluruh tindakan hukum dari pengelolaan perusahaan hingga proses audit keuangan berusahaan harus berjalan sesuai dengan ketentuan Undang–Undang tersebut.

Penentuan siapa yang berhak mengaudit BUMN tersebut diatas, ditentukan dalam RUPS BUMN dengan ketentuan melakukan tender yang di ikuti Kantor Akuntan Publik, kemudian yang dianggap layak dan sesuai prosedur pemilihan terpilihlah auditor yang akan mengaudit keuangan BUMN tersebut.

Persero berhak menentukan siapa yang akan mengaudit keuangan lembaganya, dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi yang dimulai dari sejak pemilihan kantor akuntan Publik yang akan mengaudit, hingga publikasi hasil audit.
Kesimpulan

Keuangan Negara yang masuk ke BUMN yang berbentuk Persero, telah berubah status dari uang Publik ke uang privat sehingga BPK tidak lagi berhak untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengunaan uang tersebut. Dalam pembukuan keuangan negara tersebut juga demikian. Jika uang tersebut masuk Persero maka ia termasuk keuangan negara yang dipisahkan. Karenanya untuk mengaudit keuangan lembaga tersebut Kementrian BUMN berhak menentukan lembaga mana yang akan mengaudit melalui RUPS di masing-masing BUMN.

Tap MPR RI No. X / 2001, yang dijadikan dasar oleh BPK untuk mengaudit BUMN secara hierarki perundang-undangan yang berlaku di negara kita, memang jauh lebih tinggi di banding undang-undang yang mengatur BUMN itu sendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang tentang Pasar Modal. Akan tetapi karena keuangan negara yang ada di BUMN tersebut telah beralih dari uang publik ke uang privat dan juga telah menjadi keuangan negara yang telah di pisahkan, maka untuk ini harus mengikuti ketentuan hukum yang telah lebih khusus mengatur kinerja lembaga-lembaga yang menggunakan dana privat. BUMN tersebut mengunakan uang privat sehingga tunduk pada Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Untuk kasus ini berlaku asas “LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALE” , Jika aturan yang lebih khusus bertentangan dengan aturan yang lebih umum, yang akan di dahulukan adalah aturan yang lebih khusus.

Dari penerapan asas tersebut diatas, maka ketetapan MPR RI yang menunjuk BPK RI sebagai satu-satunya lembaga yang berhak melakukan audit terhadap BUMN dapat di kesampingkan. Kementrian BUMN dapat menunjuk Kantor Akuntan Publik untuk melakukan audit di BUMN dengan mengikuti prosedur yang yang telah ditetapkan dan diputuskan dalam RUPS. Proses pemilihan kantor akuntan publik harus melalui tender umum dengan mekanisme yang transparan dari sejak proses tender hingga penentuan pemenang sampai laporan hasil audit kantor akuntan publik pemenang tender di publikasikan.

Source : Hukum Online.COM

No comments: