Saturday, May 19, 2007

MELIHAT KEUNTUNGAN DALAM JANGKA PENDEK

Menyikapi Pelangaran Etika Bisnis

Bedanya orang sukses dan yang tidak sukses adalah dalam melakukan cara pandang. Seorang pengusaha yang sukses seringkali kita bisa lihat dari visi, bagaimana dia melihat bisnisnya dikembangkan. Tapi tengoklah betapa banyak perusahaan yang kemudian ambles karena cuma berangkat dari ingin untung besar dalam tempo yang relatif pendek.

Saya dulu memang termasuk perokok berat, bisa dalam satu hari, satu bungkus Gudang Garam Surya isi 16 batang saya hisap habis, bahkan sesekali nambah. Waktu itu, Kalau saya beli satu bungkus GG Surya ini di kios rokok dekat rumah, saya bayar Rp. 5.000,00 sedangkan harga yang tercetak pada bandrol Rp. 4.500,00. Itu memang harga yang lazim di kios-kios rokok pinggir jalan. Satu ketika saya jalan-jalan ke Lembang, kawasan pariwisata di sebelah utara Bandung. Makan ayam goreng Lembang yang sangat lezat itu tentunya nikmat dengan sambal lalab khas Sunda yang aduhai. Sesudah makan, tentunya nikmat pula kalau merokok. Nah saya beli sebungkus rokok GG Surya itu, saya merasa aneh sekali, karena harga di sana Rp. 6.000,00 per bungkus. Si pedagang ngomongnya enteng saja, "Ini harga hari libur Pak".
Lain lagi di drug store -nya hotel-hotel berbintang, kalau kita disodori dengan harga yang jauh berbeda dengan di kios rokok pinggir jalan, nampaknya konsumen enteng-enteng saja. Jadi memang benar bahwa harga itu ternyata bergantung dari waktu dan tempat juga.

Kasus harga di Lembang itu tentunya tak jauh beda dengan harga-harga yang kita temukan di kawasan Puncak dikala hari libur. Atau di drug store, nampaknya konsumen setuju saja harga yang tinggi itu, karena toh, dia harus beli di gedung indah, yang ber AC, pelayan cantik dsb.
Pedagang di kios kecil itu memang tak banyak yang berpikir visi. Yang dia pikir, dia beli rokok dari pedagang grossir harganya berapa, kemudian dia tambahkan kelebihannya buat dia ambil spread, singkat kata itu untungnya. Itu yang kemudian dia makan sehari-hari, itu pula yang dia sebut sebagai untung.
Dagangan utama si pemilik kios adalah memang rokok, ada tambahan sedikit yang bisa dimuati di kiosnya seperti korek api, permen, makanan ringan anak-anak, minuman ringan dalam dus, maupun botolan. Obat gosok luar, obat-obat pusing, sakit perut . Kadang-kadang ada yang menyediakan juga meterai, amplop ataupu perangko. Jenis dagangan seperti ini ya realtif sulit ditilep, ataupun di akali. Apalagi untuk di oplos, jadi kalau bicara kualitas barang yang didagangkan ya relatif sulit untuk melakukan penipuan, karena si pemilik kios cuma menjual barang yang dia beli dari grosir yang sudah dalam pak, tinggal jual saja.

Lain lagi pedagang produk barang curah yang lepas. Beras atau gula pasir, adalah sangat rentan untu dioplos. Bahkan minyak tanah, bensin dan solar menjadi produk oplosan yang rutin dimana-mana. Ukuran dan timbangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya menjadi suatu yang lazim di dunia perdagangan bisnis eceran kita. Disisni kita melihat, harga antara satu pedagang dengan pedagang lainnya, relatif sama saja. Namun kemungkinan terjadinya oplosan, campuran antar kualitas produk satu dengan produk lainnya menjadi sangat rentan. Misalnya kita bisa beli beras IR 64 dari satu toko ke toko lainnya yang sama harganya, tapi ketika kita masak menjadi beras, ternyata kualitas beras satu dengan lainnya berbeda-beda. Secara lebih ekstrim bisa kita saksikan daging babi hutan dijual sebagai daging sapi, dan masih banyak contoh lainnya lagi.

Kita melihat wajah dunia usaha di negeri ini begitu galau kalau menilik dari sudut etika bisnis. Sungguh banyak kelakuan dari pelaksana pengelola bisnis jauh dari nilai-nilai etika yang baik. Pelanggran etika hampir meliputi segenap level dari kegiatan bisnis, baik di tingkat yang paling rendah sampai bisnis di tingkat atas. Gembar gembor bahwa kita bangsa yang ramah, halus, berbudi dsb nampak terkikis habis dari sgenap kekacauan di bidang keamanan, kerusuhan dsb. Di bidang bisnis pun habis dengan praktik KKN dan kelakuan para pelaksana bisnis yang sangat tak etis. Walaupun ada secercah harapan untuk membangkitkan kembali bisnis yang baik, bermoral dan beretika maka patut kita renungkan, nampaknya siginfikansi antara moralitas ritual agama yang seolah nampak meningkat, ternyata tidak signifikan berpengaruh pada kelakuan para pelaksana bisnis di lapangan. Masjid yang penuh, naiknya jumlah jemaah haji kita, banyaknya jumlah wanita yang berjilbab dan berkerudung ternyata juga diikuti dengan meningkatnya kualitas pelanggaran etika.

Bagaimana kita menyikapi hal ini ? Diriwayatkan oleh Abdurazak dalam Sirah Ibn Hisham bahwa Muhammad SAW pernah bersabda : "para pengusaha yang jujur (dan menjunjung tinggi etika bisnis) kelak akan bersama para nabi, syuhada dan shalihin di syurga".
Nampaknya sabda Nabi ini memperlihatkan pada kita bahwa masalah visi, melihat jauh kedepan dari suatu tindakan bisnis merupakan dasar untuk penciptaan manusia-manusia yang berakhlak baik yang menjadi dasar pula berjalannya bisnis yang bermoral. Berusaha secara jujur, akan memperoleh manfaat rahmat di dunia ini, serta juga diakhirat nanti. Sadarnya pelaku bisnis bahwa kelakukan dalam bisnis yang tak jujur itu pada sebagian pelaku usaha yang cuma memberi keuntungan sesaat, serta peluang pintu sel penjara terbuka, tampaknya sudah banyak tak dihiraukan lagi, termasuk pada urusan sorga dan neraka.
Kalau satu acuan saja sudah menggariskan hal itu, maka jelaslah masalah menegakan etika bisnis dari tingkat yang paling bawah adalah kerja keras yang tak kenal henti.