Tuesday, March 31, 2015

Saturday, October 19, 2013

Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~

Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~ Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.” Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya. Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI. Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu. Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan. ****** TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya. Ulama sangat penting itu berpulang “di hari baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan puasa masuk tahap ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir. Hamka memang sudah hampir tidak berarti “golongan” agama. Juga tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup di luar masjid”. . Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,” katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ” la sangat memuja ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski dengan pengaruh sangat kuat. Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan perajuk, “juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . . Memang sangat manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya. Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Hamka bukan sekedar “ulama yang bersastra”. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur’annya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‘. Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah memaafkan dan menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat. Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ” Dan panggilan itu pun datang kini. “Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.” ***** Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI. KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu Namun yang benar kau sebut juga benar Cita Muhammad biarlah lahir Bongkar apinya sampai bertemu Hidangkan di atas persada nusa Jibril berdiri sebelah kananmu Mikail berdiri sebelah kiri Lindungan Ilahi memberimu tenaga Suka dan duka kita hadapi Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi Ini berjuta kawan sepaham Hidup dan mati bersama-sama Untuk menuntut Ridha Ilahi Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu……! (dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”) Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”. DAFTAR Saudaraku Hamka, Lama, suaramu tak kudengar lagi Lama… Kadang-kadang, Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur, Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut, Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu, Yang pernah kau hadiahkan kepadaku, Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”. Tiba-tiba, Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan, Rayuan umbuk dan umbai silih berganti, Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu, Yang biasa bersenandung itu, Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam. Aku tersentak, Darahku berdebar, Air mataku menyenak, Girang, diliputi syukur Pancangkan ! Pancangkan olehmu, wahai Bilal ! Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid, Walau karihal kafirun… Berjuta kawan sefaham bersiap masuk Kedalam ”daftarmu” … * Saudaramu, Tempat, 23 Mei 1959 ***** Update 7 Oktober 2011 ( Masalah Fatwa Haram Mengikuti Upacara Natal) Update tulisan ini sehubungan dengan ada komentar dari sahabat tentang tulisan : “Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa” … kata “mengharapkan” mungkin maksudnya “mengharamkan” … tetapi saya tidak meralat tulisan itu karena sesuai dengan sumber yang ada di Majalah Tempo. Saya coba cari dan telusuri seputar tulisan diatas ternyata di Majalah Tempo edisi sebelumnya 16 Mei 1981 memuat berita seputar fatwa haram itu. Berikut urainnya : Fatwa dan Kebocoran (Konon) (ref) ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu, berasal dari buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan Drs. H. Mas’udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Yang menarik: hanya satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula ‘surat pencabutannya — kali ini dari pimpinan pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan sekretaris umum MUI. Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan berbeda. “Pada dasarnya,” disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum, ” menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . ” Yang juga menarik: bunyi “fatwa” terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah sebelumnya — dalam acara ‘Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama’ di Jambi, 6 Maret. Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah satu harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut “tidaklah mempengaruhi sedikit juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” Apa maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada “tekanan “? Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara tuntas. Tapi ada penjelasan tentang sebuah “kebocoran”. Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk “kalangan dalam”: para pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor sekian-sekian tertanggal 27 Maret –jadi sudah lama — untuk menjadi pedoman para ulama itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh para pengurus MU, kalau begitu? “Itu untuk informasi intern saja,” jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua MUI. Agak aneh barangkali — namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar 300 eksemplar. Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7 Maret) untuk “bahan menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.” Jadi seharusnya memang “tidak perlu bocor keluar.” Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, “kebocoran” itu sebenarnya dipandang dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian. Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang dari 0% — lebih dari 50 orang. Burhani sendiri berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya (berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama. Sebab, kata para pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin atas desakan umat — antara lain yang menulis berbagai surat ke Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen Agama, meminta agar dikeluarkan fatwa tentang itu. Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan Menteri Agama sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum pindah — dari Masjid Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu memang bisa mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai Pendeta Lumy di Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri, kasus-kasus “kekurang mengertian” umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya segala hal yang menyangkut soal ‘kristenisasi’, yang rupanya tetap ditakutkan. Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku dan merepotkan. Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan datang ke perayaan Natal. luga ketua RT, misalnya. “Maklum, yang bikin memang para ulama yang dalam soal hukum letterlijk saja,” kata Kiai Hasan Basri membenarkan kekakuan itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal fatwanya sendiri, “menerangkan yang mujmal, ” yang masih umum. Yakni: apa yang dimaksud “mengikuti upacara Natal” dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti peribadatan. Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka, sambil tertawa. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta 25 Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang soal “perayaan apa saja yang dapat dihadiri pemeluk agama lain,” seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers.

Friday, September 20, 2013

WHISTLEBLOWING SYSTEM PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan efektivitas penerapan sistem pengendalian fraud dan Good Corporate Governance dengan menitikberatkan pada pengungkapan dari pengaduan (pelaporan), maka perlu dirumuskan kebijakan whistleblowing system secara jelas, mudah dimengerti, dan dapat diimplementasikan secara efektif agar memberikan dorongan serta kesadaran kepada karyawan dan pejabat BCA untuk melaporkan tindakan fraud, pelanggaran terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik, dan benturan kepentingan yang terjadi di BCA. DEFINISI-DEFINISI Whistleblowing system Whistleblowing system (pengaduan pelanggaran) merupakan sarana komunikasi bagi pihak internal perusahaan untuk melaporkan perbuatan/perilaku/kejadian yang berhubungan dengan tindakan fraud, pelanggaran terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik, dan benturan kepentingan yang dilakukan oleh pelaku di internal perusahaan. Pengaduan harus didasari itikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi ataupun didasari kehendak buruk/fitnah lanjutkan ....... http://www.bca.co.id/include/download/Whistleblowing_System.pdf

Wednesday, September 18, 2013

Managing the Business Risk of fRaud: a PRactical guide

exeCUtiVe SUmmary As noted, fraud is any intentional act or omission designed to deceive others, resulting in the victim suffering a loss and/or the perpetrator achieving a gain. Regardless of culture, ethnicity, religion, or other factors, certain individuals will be motivated to commit fraud. A 2007 Oversight Systems study5 discovered that the primary reasons why fraud occurs are “pressures to do ‘whatever it takes’ to meet goals” (81 percent of respondents) and “to seek personal gain” (72 percent). Additionally, many respondents indicated that “they do not consider their actions fraudulent” (40 percent) as a reason for wrongful behavior. Only through diligent and ongoing effort can an organization protect itself against significant acts of fraud. Key principles for proactively establishing an environment to effectively manage an organization’s fraud risk include: principle 1: as part of an organization’s governance structure, a fraud risk management program6 should be in place, including a written policy (or policies) to convey the expectations of the board of directors and senior management regarding managing fraud risk. principle 2: Fraud risk exposure should be assessed periodically by the organization to identify specific potential schemes and events that the organization needs to mitigate. principle 3: prevention techniques to avoid potential key fraud risk events should be established, where feasible, to mitigate possible impacts on the organization. principle 4: Detection techniques should be established to uncover fraud events when preventive measures fail or unmitigated risks are realized. principle 5: a reporting process should be in place to solicit input on potential fraud, and a coordinated approach to investigation and corrective action should be used to help ensure potential fraud is addressed appropriately and timely. The following is a summary of this guide, which provides practical evidence for organizations committed to preserving stakeholder value. This guide can be used to assess an organization’s fraud risk management program, as a resource for improvement, or to develop a program where none exists.

Monday, February 27, 2012

Bank Wajib Punya Strategi Anti Fraud

Bank Wajib Punya Strategi Anti Fraud

OPINI | 14 December 2011 | 16:52Dibaca: 324 Komentar: 0 2 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat
Dari “Know Your Employee” Sampai “Whistleblower”

BI serentak menerbitkan dan memberlakukan tiga peraturan di bidang perbankan pada tanggal yang sama, yaitu 9 Desember 2011. Dalam konteks tugas pokok BI dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, BI mempunyai dua jenis produk hukum, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia. SE merupakan tindak lanjut dari PBI berupa petunjuk atau pedoman pelaksanaan yang lebih rinci atau operasional.

Tiga regulasi baru tersebut adalah (1) PBI Nomor 13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain; (2) SE 13/29/Dpnp Tahun 2011 Perihal Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Umum Yang Melakukan Layanan Nasabah Prima; dan (3) SE No.13/28/DPNP tanggal 9 Desember 2011 perihal Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum.

Tiga produk hukum BI tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain. Ketiganya merupakan upaya BI dan perbankan nasional dalam menerapakan prinsip-prinsip perbankan, terutama manajemen resiko bank. Walaupun dalam naskahnya tidak disebutkan secara tersirat, ketiga regulasi tersebut dilatarbelakangi oleh kejadian yang menghebohkan di tahun 2011. Kasus yang menyedot perhatian masyarakat tersebut adalah kematian nasabah di tangan oknum debt-collector dan penggelapan dana nasabah oleh karyawan sebuah bank asing ternama.

Ada potensi kejahatan atau fraud pada pelayanan istimewa bagi nasabah “high-class” oleh karyawan bank, yang ternyata bisa dialihdayakan ke perusahaan penyedia jasa. Itulah benang merah dari ketiga produk hukum teranyar dari BI. Setelah mengulas ”Regulasi Layanan Istimewa Bagi Nasabah Prima’ dan ”Bank Umum Jangan (Lagi) “Outsourcing” Sembarangan”, tulisan ini mengulas secara sekilas regulasi yang ketiga tentang alihdaya di bank umum.

*****

Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP tanggal 9 Desember 2011 perihal Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

Surat Edaran dari Bank Indonesia tersebut- selanjutnya disebut SE BI- merupakan salah satu petunjuk pelaksanaan atau pedoman teknis yang memperkuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang sudah diterbitkan sebelumnya, yaitu PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.

Definisi Fraud menurut SE BI ini adalah “Tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi Bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di lingkungan Bank dan/atau menggunakan sarana Bank sehingga mengakibatkan Bank, nasabah, atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku Fraud memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung“. Jenis-jenis perbuatan yang tergolong Fraud adalah kecurangan, penipuan, penggelapan aset, pembocoran informasi, tindak pidana perbankan (tipibank), dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.

Dengan semakin banyaknya kasus kejahatan perbankan, baik skala maupun modus operandinya, BI mewajibkan setiap bank umum mempunyai strategi anti fraud yang komprehensif dan rinci. Strategi anti Fraud merupakan bagian dari kebijakan strategis yang penerapannya diwujudkan dalam sistem pengendalian Fraud (Fraud control system), yang memiliki 4 (empat) pilar, sebagai berikut: (1) Pencegahan (2) Deteksi (3) Investigasi, Pelaporan, dan Sanksi,; serta (4) Pemantauan, Evaluasi, dan Tindak Lanjut. Bank pun diwajibkan melaporkan temuannya ke BI per semester. Khusus untuk fraud yang berdampak negatif secara signifikan terhadap Bank dan/atau nasabah, termasuk yang berpotensi menjadi perhatian publik, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui terjadinya Fraud.

Know Your Employee vs Know Your Customer

Hal yang menarik pada pilar pencegahan adalah konsep Know Your Employee. Jadi ingat dengan regulasi lain tentang Know Your Customer (KYC), yaitu PBI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), sebagaimana telah mengalami perubahan kedua menjadi PBI No. 5/21/PBI/2003 tanggal 17 Oktober 2003. Sedangkan pelaksanaan KYC untuk BPR diatur dalam PBI No. 5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Bagi Bank Perkreditan Rakyat. Beberapa SE sebagai petunjuk pelaksanaan dari PBI tersebut, di antaranya adalah (a) SE No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 perihal Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, sebagaimana telah dirubah menjadi Surat Edaran No. 5/32/DPNP tanggal 4 Desember 2003; dan (b) Surat Edaran No. 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 perihal Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pada PBI Nomor : 3/10/PBI/2001 disebutkan bahwa “Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan”. Salah satu hasil dari pelaksanaan prinsip KYC di bank adalah peluang terjadinya kejahatan di perbankan, yang indikasinya bisa dilihat dari transaksi keuangan yang mencurigakan.

Menurut PBI No 5/ 21 /PBI/2003, “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: (a) transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari Nasabah yang bersangkutan; (b) transaksi keuangan oleh Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Bank sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003; atau (c) transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana”.

Menurut laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ), Jumlah kumulatif Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) yang disampaikan PJK (penyedia Jasa Keuangan) kepada PPATK sampai dengan Oktober 2011 sebanyak 79.978 dengan jumlah PJK pelapor sebanyak 359 PJK pelapor. Dari jumlah tersebut, transaksi keuangan yang mencurigakan yang berasal dari bank sebesar 43.569 dengan jumlah PJK pelapor sebanyak 160 PJK pelapor. Perkembangan jumlah PJK pelapor dan LKTM dari bulan Januari sampai Oktober 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah.


Jumlah Kumulatif PJK Pelapor yang disampaikan PJK Kepada PPATK dan LTKM Terkait Menurut Jenis PJK Sampai Tahun 2011 (Sumber: PPATK)

Perspektif Know Your Customer seolah dilandasi “ketidakpercayaan” terhadap nasabah, yang dibungkus sedemikan rupa demi pemberlakuan UU Money Laundering. Identitas nasabah beserta informasi sumber simpanan pun harus tercatat di sistem perbankan. Bank pun harus mempunyai mekanisme atau strategi yang mumpuni untuk mendeteksi LTKM tersebut.

Transaksi keuangan yang mencurigakan, bisa juga tidak disebabkan aksi nasabah bank semata. Ternyata- dengan diberlakukan SE No.13/28/DPNP ini- manajemen bank pun tidak bisa percaya 100 persen begitu saja kepada karyawannya. Justru banyak kasus pembobolan bank yang dibantu atau melibatkan “orang dalam“. Jadi bank harus mempunyai mekanisme untuk mencegah penyelewengan olah karyawannya sendiri. Inilah yang disebut sebagai kebijakan Know Your Employee pada SE-BI ini.

Kebijakan Know Your Employee yang dimiliki Bank paling kurang mencakup: (1) sistem dan prosedur rekruitmen yang efektif. Melalui sistem ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai rekam jejak calon karyawan (pre employee screening) secara lengkap dan akurat; (2) sistem seleksi yang dilengkapi kualifikasi yang tepat dengan mempertimbangkan risiko, serta ditetapkan secara obyektif dan transparan. Sistem tersebut harus menjangkau pelaksanaan promosi maupun mutasi, termasuk penempatan pada posisi yang memiliki risiko tinggi terhadap Fraud; dan (3) kebijakan “mengenali karyawan” (know your employee) antara lain mencakup pengenalan dan pemantauan karakter, perilaku, dan gaya hidup karyawan.

Terlepas dari dikotomi nasabah dan karyawan, anti-fraud hakekatnya adalah mendeteksi keberadaan musuh. Dan istilah “Know Your Enemy” pun bisa digunakan sebagai cara untuk mengenal pihak yang justru berpotensi melakukan kejahatan perbankan. Dan musuh atau serangan itu bisa dari dalam maupun luar. Nasabah dan karyawan pun bisa menjadi pelaku kejahatan perbankan, atau sebaliknya, keduanya bisa jadi sebagai pihak yang menemukan kejahatan perbankan.

Peran dan Perlakuan terhadap “Whistleblower”

Tiga aspek minimal yang harus ada pada pilar deteksi adalah whistleblowing, surprise audit, dan surveillance system. Saya lebih tertarik dengan Whistleblower, sedangkan dua aspek lainnya lebih kearah teknik pemeriksaan saja- baik yang bersifat dadakan atau kejutan (surprise audit) atau yang tanpa sepengatahuan (surveillance system).

Kebijakan whistleblowing ditujukan untuk meningkatkan efektifitas penerapan sistem pengendalian Fraud dengan menitikberatkan pada pengungkapan dari pengaduan. Kebijakan whistleblowing harus dirumuskan secara jelas, mudah dimengerti, dan dapat diimplementasikan secara efektif agar memberikan dorongan serta kesadaran kepada pegawai dan pejabat Bank untuk melaporkan Fraud yang terjadi. Kebijakan tersebut paling kurang mencakup: (1) Perlindungan kepada Whistleblower, (2) Regulasi yang terkait dengan Pengaduan Fraud, dan (3) Sistem Pelaporan dan Mekanisme Tindak Lanjut Laporan Fraud.

Perlindungan kepada Whistleblower. Bank harus memiliki komitmen untuk memberikan dukungan dan perlindungan kepada setiap pelapor Fraud serta menjamin kerahasiaan identitas pelapor Fraud dan laporan Fraud yang disampaikan.
Regulasi yang terkait dengan Pengaduan Fraud. Bank perlu menyusun ketentuan internal terkait pengaduan Fraud dengan mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem Pelaporan dan Mekanisme Tindak Lanjut Laporan Fraud. Bank perlu menyusun sistem pelaporan Fraud yang efektif yang memuat kejelasan proses pelaporan, antara lain mengenai tata cara pelaporan, sarana, dan pihak yang bertanggung jawab untuk menangani pelaporan. Sistem pelaporan harus didukung dengan adanya kejelasan mekanisme tindak lanjut terhadap kejadian Fraud yang dilaporkan.
Dalam konteks laporan PPATK, laporan LTKM selalu menyebutkan PJK Pelapor yaitu perusahaan Jasa Keuangan- baik bank maupun non-bank. Dalam bank itu sendiri, pasti ada orang pertama yang berhasil mendeteksi adanya transaksi mencurigakan. Dan penemu pertama tersebut adalah karyawan bank yang bisa disebut sebagai Whistlerblower. Memang butuh keberanian- juga ketelitian dan validitas- untuk menjadi seorang Whistleblower. Mengingat perang pentingnya dalam mendeteksi kejahatan, Bank pun harus mempunyai kebijakan dan prosedur yang jelas dalam memperlakukan Whistlerblower dengan sebaik-baiknya. Jika Whistleblower ini bisa menjalankan perangnya dengan aman, nyaman, dan demi melindungi kepentingan nasabah bank, bisa jadi temuan LTKM semakin meningkat lagi di Indonesia, seperti grafik yang dikutip dari PPATK berikut.


Jumlah Kumulatif LTKM yang Disampaikan PJK Kepada PPATK Tahun 2001-2011 (Sumber:PPATK)

Akankah jumlah LTKM semakin meningkat dengan diberlakukannya SE tentang Strategi Anti Fraud ini? Kita tunggu saja, namun yang jauh lebih penting adalah pelaku kejahatan dapat ditangkap dan nasabah bank tidak dirugikan akibat kejahatan tersebut.



Surat Edaran BI No.13/28/DPNP selengkapnya dapat dilihat di sini.

Tags: surat edaran bi, know your customer, bank umum, know your employee, whistleblower, peraturan bank indonesia, anti fraud, money laundering
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/12/14/bank-wajib-punya-strategi-anti-fraud/

Tuesday, July 12, 2011

Friday, July 8, 2011