Sunday, November 4, 2007

Kartu Chip, Pengamanan yang Berlebihan?

Pembobolan kartu kredit di Indonesia memang tergolong tinggi dan wajib segera dicari cara yang tepat untuk mengatasinya. Di sisi lain, kecurangan (fraud) pada jenis kartu lainnya, seperti kartu debet dan kartu ATM, sangat kecil. Namun, bank sentral memperlakukan aturan yang sama terhadap semua jenis kartu pembayaran, yakni kewajiban pemasangan chip.

Jika langkah Bank Indonesia (BI) itu dilihat sebagai antisipasi potensi kecurangan di masa depan yang tidak bisa diprediksi, tentu tak ada yang salah, bahkan bisa dibilang brilian. Namun, akan menjadi masalah serius jika dikaitkan dengan kesiapan bank untuk mengimplementasi aturan tersebut, terutama dari segi ongkos yang harus dikeluarkan. Apalagi, marjin keuntungan bank baru saja anjlok tahun lalu dan diperkirakan akan terulang lagi tahun ini.

Untuk mengimplementasi aturan kartu ber-chip, bank harus merogoh kocek ratusan miliar rupiah hanya dalam waktu dua tahun. Maklum, selain harus memasang chip yang harganya sekitar dua dollar AS per buah pada jutaan kartu, bank juga harus mengganti puluhan ribu anjungan tunai mandiri (ATM) dan ratusan ribu EDC (electronic data capture) yang dipasang di merchant-merchant. Belum lagi ongkos modifikasi informasi teknologi di ”back end”.

Menurut hitungan kasar, total biaya yang harus dikeluarkan seluruh bank untuk mengganti semua kartu dan mesin yang ada saat ini mencapai Rp 4 triliun.

Karena itulah, bank meradang. Awalnya, hanya bisik-bisik keluh kesah satu dua bankir, lama kelamaan menggumpal menjadi kesepakatan bersama untuk mengajukan keberatan ke BI.

Ketua Umum Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Sigit Pramono mengungkapkan, saat ini tim Himbara sedang mendiskusikan masukan-masukan yang akan disampaikan kepada BI, khususnya mengenai besarnya investasi. Muaranya, kemungkinan Himbara akan mengusulkan penundaan jadwal dan tahapan implementasinya.

Menurut Sigit, pada dasarnya Himbara mendukung kebijakan BI tersebut. Apalagi, kalangan perbankan juga sangat berkepentingan karena tujuan utamanya untuk meningkatkan keamanan (security) dalam bertransaksi dan mencegah kecurangan.

”Persoalannya adalah masalah investasi yang besar dan waktu pelaksanaannya. Dua hal inilah yang akan kami sampaikan sebagai masukan kepada BI,” kata Sigit, pekan lalu di Jakarta.

Sejumlah bankir mengusulkan agar penggunaan chip diterapkan saat kartu pembayaran mulai dimanfaatkan secara optimal. Artinya, kartu pembayaran tidak hanya digunakan untuk transaksi perbankan atau pembayaran di merchant, tapi juga meluas untuk, misalnya, pembayaran tol atau parkir.

Artinya, lebih baik BI dan pemerintah memasyarakatkan terlebih dahulu pemakaian kartu pada segala bidang. Dengan demikian, pemasangan chip tidak lagi ”mubazir” karena pemakaiannya optimal dan sesuai dengan potensi fraud yang akan muncul.

Demi keamanan

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No 7/60 yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia No 7/52/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, BI mewajibkan penggunaan teknologi chip pada kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit yang diterbitkan mulai tanggal 1 September 2006, baik untuk pemegang kartu baru ataupun untuk penggantian kartu lama (renewal). Adapun penggantian kartu lama wajib dilakukan paling lambat 31 Desember 2008.

BI berharap dengan penggunaan chip keamanan kartu akan semakin terjaga mengingat jenis teknologi yang dipasang pada kartu ini memuat sejumlah aplikasi dan pengamanan. Meskipun tingkat kecurangan terutama pada kartu debet dan ATM masih sedikit, BI mengkhawatirkan adanya migrasi kejahatan kartu dari negara lain ke Indonesia.

Tingkat pengamanan kartu pembayaran yang beredar kini memang sangat lemah. Teknologi magnetic stripe (seperti kebanyakan pada kartu-kartu selama ini) terbukti mudah dipalsukan dan datanya mudah dicuri pihak lain. Adapun teknologi chip memiliki tingkat pengamanan yang berlapis. Salah satu pengamannya berbasis kriptogram. Singkatnya, untuk saat ini mustahil kartu berbasis chip dipalsukan.

Salah satu inspirasi aturan ini adalah keberhasilan bank sentral Malaysia menurunkan secara drastis kecurangan (fraud) pada kartu dengan menggunakan teknologi chip. Sebelum aturan chip diberlakukan di Malaysia, tingkat kecurangan sangat tinggi, tidak hanya terhadap kartu kredit, tetapi juga kartu debet dan ATM.

Selain memberikan dampak berat bagi perbankan, sejumlah ketentuan dalam PBI dan surat edaran yang terkait kartu pembayaran juga dinilai agak rancu. Contoh, BI hanya berbicara tentang kewajiban pemasangan chip pada kartu, sementara standar kartunya tidak dijelaskan. Artinya, kartu yang diterbitkan bisa saja tidak mengikuti standar internasional sepanjang mengandung chip. Padahal, akan lebih baik jika kartu yang diterbitkan mengikuti standar Europe Mastercard Visa (EMV) yang merupakan standar internasional. Dengan demikian, kartu dari Indonesia bisa digunakan di negara-negara lain.

BI juga tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kewajiban memasang ”card reader” baru pada terminal ATM dan EDC agar sinkron dengan kartu ber-chip. Kartu chip tentu tak akan terpakai jika tak ada terminal yang bisa mengaksesnya. Kondisi ini tentu akan membingungkan kalangan perbankan.

Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Dyah NK Makhijani belum bersedia menanggapi keluhan perbankan tersebut.

Vice President Application dan Engineering Artajasa Zul Irvan menjelaskan, terkait dengan standar teknologi kartu, Artajasa berencana membuat standar kartu EMV di Indonesia. Dengan standar tersebut, setiap kartu pembayaran yang diterbitkan oleh siapa pun dapat digunakan di ATM atau EDC milik siapa pun.

Standardisasi ATM

Bank sentral sepertinya juga memimpikan adanya standardisasi penggunaan kartu pembayaran di Indonesia. Langkah awal yang dilakukan BI beberapa waktu lalu adalah mengimbau perbankan melakukan interkoneksi ATM. Tujuannya agar kartu ATM yang diterbitkan siapa pun dapat dilayani oleh seluruh ATM yang ada di Indonesia. Selain memudahkan nasabah, langkah tersebut juga sangat efisien dalam pengembangan jaringan ATM.

Saat ini ada empat kelompok besar ATM, yaitu BCA, ATM Bersama, Alto, dan ATM Link. ATM BCA merupakan ATM milik Bank Central Asia (BCA) yang berjumlah sekitar 4.019 unit. ATM Bersama merupakan ATM yang bisa dipakai bersama-sama oleh 54 bank dengan jumlah mencapai 6.500 unit dan dioperasikan oleh Artajasa. Adapun ATM Link merupakan ATM yang dipakai bersama-sama oleh bank-bank pelat merah, yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Keseluruhan jumlah ATM di Indonesia mencapai 13.688 unit.

Kelompok ATM tersebut kini belum saling berinterkoneksi secara menyeluruh. Artinya, jika tak ada kerja sama, kartu ATM BCA tidak bisa digunakan di ATM Bersama dan sebaliknya. Interkoneksi tidak terjadi karena masing-masing kelompok tersebut memiliki standar kode yang tidak persis sama.

Menurut Zul Irvan, sebenarnya interkoneksi ATM di Indonesia tidak terlalu rumit karena semua ATM umumnya telah menggunakan International Standards Organization (ISO) yang seragam, yakni ISO 8583.

Yang mungkin jadi penghambat interkoneksi adalah tidak semua bank menginginkan hal tersebut. Bank yang memiliki ATM banyak di tempat-tempat strategis khawatir nasabahnya menjadi tidak nyaman karena nasabah bank lain ikut antre di ATM bersangkutan.

Akan tetapi, bank bersangkutan juga akan mendapatkan komisi (fee) lebih banyak. Sebab, pemakaian oleh nasabah bank lain akan dikenai biaya.

Geliat ATM

Saat ini ATM telah menjadi kebutuhan vital masyarakat dalam bertransaksi. Menurut data Marketing Research Indonesia (MRI), volume perputaran dana melalui transaksi ATM selama setahun mencapai Rp 541,83 triliun. Frekuensi masyarakat menggunakan ATM rata-rata lima kali dalam sebulan per nasabah. Total jumlah transaksi menggunakan ATM mencapai 95 juta transaksi per bulan (intra dan antarbank),

Perilaku masyarakat yang aktif menggunakan ATM ini dipicu kenyataan bahwa ATM merupakan medium transaksi yang mudah, cepat, dan bisa dilakukan kapan saja. Juga sudah jadi bagian integral dari masyarakat.

Ide penciptaan ATM digagas Don Wetzel sekitar 37 tahun lalu. Adapun sejarah ATM di Indonesia dimulai tahun 1987. Saat hadir pertama kali, ATM begitu menyilaukan kalangan perbankan. Semua bank besar akhirnya berlomba-lomba berinvestasi menyediakan ATM sebagai bentuk layanan nasabahnya meskipun investasinya tidak kecil.

Ongkos yang dikeluarkan bank untuk investasi ATM memang besar, tidak hanya mesin, tetapi ada perawatan. Harga satu unit terminal ATM mencapai 13.000-20.000 dollar AS. Biaya perawatan mencapai 125-150 dollar AS per bulan. Ini masih ditambah sewa lokasi, pengisian uang, dan pengoperasian ATM.

Bank juga dituntut memelihara aspek lainnya yang terkait ATM, seperti komputer, jaringan komunikasi, dan manajemen kartu, yang tentu saja akan menguras energi dan pengeluaran bank.


Sumber: kompas.com

Artikel : Koding



Kartu Chip, Pengamanan yang Berlebihan?
Dikirim oleh admin
Jumat, 26-Mei-2006, 13:24:06 (1775 klik)

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan

oleh : Djoko Retnadi

UNTUK kesekian kalinya, industri perbankan kita dinodai perilaku tidak terpuji dari pemiliknya sehingga Bank Indonesia akhirnya harus mencabut izin operasional dua bank, yaitu Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic. Jika melihat kasusnya, sebenarnya tidak canggih karena BI dapat mendeteksi permasalahannya sudah sejak lama. Dengan demikian, yang patut dan menarik dipertanyakan, mengapa perilaku tidak terpuji pemilik bank masih saja dapat terjadi di tengah gencarnya seruan implementasi manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik.

TINDAKAN Bank Indonesia (BI) mencabut izin dua bank itu jelas merupakan edukasi yang luar biasa bagi pemilik maupun pengurus bank untuk lebih serius dan hati-hati dalam mengelola bank. Juga bagi deposan agar lebih selektif menerima tawaran menyimpan uang di bank.

Penyebab di balik terjadinya perilaku yang tidak terpuji pada kedua bank tersebut disinyalir karena didorong adanya kepemilikan saham mayoritas di satu tangan pada kedua bank tersebut (I Gusti Made Oka pemegang saham 85-90 persen Bank Dagang Bali dan Tong Muk Keng menguasai 80-90 persen saham Bank Asiatic).

Pada tahun 2003, perbankan kita sempat diguncang mega skandal surat kredit (L/C ekspor) di Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun dan kecurangan di Bank BRI yang berpotensi menimbulkan kerugian sekitar Rp 294 miliar. Modus operandi di kedua bank BUMN itu pada dasarnya sama, kolusi antara pegawai bank yang berniat melakukan korupsi dan pihak ketiga di luar bank.

Adapun motif kecurangan yang terjadi di BDB dan Bank Asiatic baru-baru ini agak berbeda. Kecurangan yang dilakukan pemilik bank bermotif untuk menilep dana pihak ketiga melalui rekayasa pemberian kredit dengan jaminan negotiable certificate deposit atau melalui pembelian obligasi yang diterbitkan perusahaan satu grup. Tujuan transaksinya untuk menutupi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada perusahaan satu grup (Kompas, 10/4).

Jika dicermati, komposisi kepemilikan saham dengan jenis kecurangan yang sering timbul di masing-masing bank dapat ditarik suatu pola hubungan keterkaitan, sebagaimana diuraikan di dalam tabel.

Walaupun dua modus kecurangan di bank BUMN dan bank swasta dilakukan dua pihak yang berbeda (di satu sisi dilakukan pegawai bank dan di sisi lain pemilik bank), kerugian yang ditimbulkan mungkin relatif sama saja. Jika dilihat dari tabel, kecurangan di bank BUMN umumnya dilakukan pegawai bank yang berkolusi dengan pihak ketiga di luar bank. Pegawai di bank BUMN cenderung tidak terlalu peduli dengan kekuasaan yang dimiliki pemegang saham karena pada dasarnya Menteri Keuangan selaku pemilik bank BUMN bukanlah principal (pemilik), namun lebih banyak sebagai quasi agent (Mohamad Iksan, Kompas 13/3). Akhirnya, di bank BUMN kurang dirasakan eksistensi pressure group (kelompok penekan) yang diharapkan mampu mendorong pegawai bank melaksanakan tata kelola perusahaan secara baik.

Di bank swasta (baik yang telah tercatat di bursa maupun yang belum) yang mayoritas sahamnya dimiliki satu pihak, pada umumnya kecurangan yang timbul justru dilakukan pemilik bank. Pada bank tersebut, pemilik saham mayoritas dapat berperan sekaligus sebagai direksi maupun debitor bank. Begitu dominannya kekuatan pemegang saham mayoritas di bank itu, tak satu pun kekuatan internal yang dapat mencegah perilaku jahat pemilik, termasuk dalam menilep uang nasabah penyimpan.

Kecurangan perbankan paling jarang terjadi di bank yang telah listed dan distribusi kepemilikannya cukup menyebar. Pada bank seperti itu proses penunjukan pengurus bank pada umumnya dilakukan secara profesional sehingga sistem dan prosedur operasional perbankan dapat ditegakkan dengan baik. Jika masih terjadi kecurangan di bank semacam itu, biasanya dilakukan dengan teknik sangat canggih yang tidak dapat dideteksi pihak internal bank secara dini.

Beberapa pemikiran

Menghadapi berbagai bentuk kecurangan perbankan pada berbagai kategori bank, kiranya perlu dirumuskan kembali upaya-upaya untuk mencegah terulangnya kasus kecurangan perbankan melalui berbagai cara. Misalnya, pertama, perlu segera ditetapkan batas maksimum kepemilikan saham bank di satu tangan.

Sudah saatnya bagi BI segera memberlakukan batas kepemilikan saham oleh satu pihak di perbankan. Pembatasan ini bukanlah hal baru bagi perbankan di beberapa negara. Munculnya kekhawatiran akan gagalnya proses divestasi saham perbankan nasional jika BI memberlakukan pembatasan kepemilikan saham sebenarnya merupakan hal yang dibesar-besarkan. Komposisi kepemilikan saham yang cukup tersebar pada berbagai pihak jelas akan efektif mencegah terjadinya moral hazard pemilik bank untuk campur tangan dalam operasional perbankan serta akan menciptakan saling kontrol di antara pemegang saham (built in control).

Kedua, pengawasan BI harus lebih diperkuat, khususnya pengawasan melalui tim on site supervision (OSP) yang selama ini dirasakan sebagai cara efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan di perbankan.

Ketiga, pengenaan premi penjaminan simpanan wajib diikuti bank-bank yang berisiko tinggi, namun pengenaan tingkat preminya yang berbeda-beda. Pengenaan premi tinggi untuk bank yang berisiko tinggi diharapkan menjadi stimulus bagi bank tersebut untuk terus berusaha memperbaiki profil risiko banknya.

Keempat, perbankan harus mulai menumbuhkan budaya kontrol, khususnya terhadap lingkungan sesama pegawai. Jika di suatu unit kerja terjadi kecurangan (khususnya KKN), hendaknya pegawai berusaha mencegah perbuatan itu agar bank terhindar dari kerugian. Harus ditanamkan kepada seluruh pegawai bank bahwa kecurangan yang diperbuat oleh seorang pegawai akan berdampak pada kerugian yang akan menyebabkan seluruh pegawai menderita. Contohnya di Bank Asiatic dan BDB, terjadi PHK.

Kelima, bank-bank harus didorong untuk segera go public, salah satu cara mendorong perbankan untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan benar, sekaligus menyebar komposisi kepemilikan saham. Namun, go public ini bukan sekadar kosmetik, menjual saham ke masyarakat dengan porsi kurang dari 50 persen.

Bank adalah lembaga kepercayaan yang diperkenankan hidup dengan tingkat leverage sangat tinggi sehingga kepentingan masyarakat penabung harus mendapatkan perlindungan agar terhindar dari kecurangan yang dilakukan para pelaku yang terlibat dalam pengurusan bank.

Djoko Retnadi Pengamat dan Praktisi Perbankan

Kompas, Selasa, 13 April 2004

KECURANGAN: PENGERTIAN DAN PENCEGAHAN

oleh ; Riduan Simanjuntak, Ak., MBA, CISA, CIA

Seiring dengan tekad pemerintah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK), maka ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan kecurangan. Tulisan ini mencoba membahas mengenai kecurangan (fraud) terlebih dahulu. Pada edisi ASEINews berikutnya, penulis akan menghubungkannya dengan TPK/KKN dan fraud audit atau audit investigasi yang lagi sering dibahas orang berkaitan dengan kasus KPU. Oleh karena itu, keep in touch ya….

Definisi Kecurangan
Yang dimaksud dengan kecurangan (fraud) sangat luas dan ini dapat dilihat pada butir mengenai kategori kecurangan. Namun secara umum, unsur-unsur dari kecurangan (keseluruhan unsur harus ada, jika ada yang tidak ada maka dianggap kecurangan tidak terjadi) adalah:
 Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation)
 dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present)
 fakta bersifat material (material fact)
 dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly)
 dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi.
 Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation)
 yang merugikannya (detriment).
Kecurangan dalam tulisan ini termasuk (namun tidak terbatas pada) manipulasi, penyalahgunaan jabatan, penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan tindakan buruk lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan kerugian bagi organisasi/perusahaan.

Kategori Kecurangan
Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan dilihat dari beberapa sisi.

Berdasarkan pencatatan
Kecurangan berupa pencurian aset dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori:
a. Pencurian aset yang tampak secara terbuka pada buku, seperti duplikasi pembayaran yang tercantum pada catatan akuntansi (fraud open on-the-books, lebih mudah untuk ditemukan).
b. Pencurian aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi diantara catatan akuntansi yang valid, seperti: kickback (fraud hidden on the-books)
c. Pencurian aset yang tidak tampak pada buku, dan tidak akan dapat dideteksi melalui pengujian transaksi akuntansi “yang dibukukan”, seperti: pencurian uang pembayaran piutang dagang yang telah dihapusbukukan/di-write-off (fraud off-the books, paling sulit untuk ditemukan)

Berdasarkan frekuensi
Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya:
a. Tidak berulang (non-repeating fraud). Dalam kecurangan yang tidak berulang, tindakan kecurangan — walaupun terjadi beberapa kali — pada dasarnya bersifat tunggal. Dalam arti, hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku setiap saat (misal: pembayaran cek mingguan karyawan memerlukan kartu kerja mingguan untuk melakukan pembayaran cek yang tidak benar).
b. Berulang (repeating fraud). Dalam kecurangan berulang, tindakan yang menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisiasi/diawali sekali saja. Selanjutnya kecurangan terjadi terus-menerus sampai dihentikan. Misalnya, cek pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus melakukan penginputan setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai diberikan perintah untuk menghentikannya.

Bagi auditor, signifikansi dari berulang atau tidaknya suatu kecurangan tergantung kepada dimana ia akan mencari bukti. Misalnya, auditor harus mereview program aplikasi komputer untuk memperoleh bukti terjadinya tindakan kecurangan pembulatan ke bawah saldo tabungan nasabah dan pengalihan selisih pembulatan tersebut ke suatu rekening tertentu.

Berdasarkan konspirasi
Kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai: terjadi konspirasi atau kolusi, tidak terdapat konspirasi, dan terdapat konspirasi parsial. Pada umumnya kecurangan terjadi karena adanya konspirasi, baik bona fide maupun pseudo. Dalam bona fide conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan; sedangkan dalam pseudo conspiracy, ada pihak-pihak yang tidak mengetahui terjadinya kecurangan.

Berdasarkan keunikan
Kecurangan berdasarkan keunikannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kecurangan khusus (specialized fraud), yang terjadi secara unik pada orang-orang yang bekerja pada operasi bisnis tertentu. Contoh: (1) pengambilan aset yang disimpan deposan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti: bank, dana pensiun, reksa dana (disebut juga custodial fraud) dan (2) klaim asuransi yang tidak benar.
b. Kecurangan umum (garden varieties of fraud) yang semua orang mungkin hadapi dalam operasi bisnis secara umum. Misal: kickback, penetapan harga yang tidak benar, pesanan pembelian/kontrak yang lebih tinggi dari kebutuhan yang sebenarnya, pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman barang yang tidak benar.

Gejala Adanya Kecurangan
Pelaku kecurangan di atas dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu: manajemen dan karyawan. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang menunjukkan adanya kecurangan tersebut.

Gejala kecurangan manajemen
 Ketidakcocokan diantara manajemen puncak
 Moral dan motivasi karyawan rendah
 Departemen akuntansi kekurangan staf
 Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok, atau badan otoritas
 Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi
 Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat
 Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama
 Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan
 Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.

Gejala kecurangan karyawan
 Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian/penjelasan pendukung
 Pengeluaran tanpa dokumen pendukung
 Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar
 Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran
 Kekurangan barang yang diterima
 Kemahalan harga barang yang dibeli
 Faktur ganda
 Penggantian mutu barang

Tindakan/perilaku pelaku kecurangan
Berikut merupakan daftar perilaku seseorang yang harus menjadi perhatian auditor karena dapat merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
 Perubahan perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya, gaya hidup mewah.
 Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja
 Penjudi berat
 Peminum berat
 Sedang dililit utang
 Temuan audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities) dianggap tidak material ketika ditemukan
 Bekerja tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja sendiri
 Gaya hidup di atas rata-rata
 Mobil atau pakaian mahal.

Faktor Pendorong Kecurangan & Pencegahannya
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu:

 Greed (keserakahan)
 Opportunity (kesempatan)
 Need (kebutuhan)
 Exposure (pengungkapan)

Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).

Faktor generik
Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan.

Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.

Faktor individu
Faktor ini melekat pada diri seseorang dan dibagi dalam dua kategori:

 Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengurangi risiko tersebut adalah:
 Misi/tujuan organisasi/perusahaan, ditetapkan dan dicapai dengan melibatkan seluruh pihak (manajemen dan karyawan)
 Aturan perilaku pegawai, dikaitkan dengan lingkungan dan budaya organisasi/perusahaan
 Gaya manajemen, memberikan contoh bekerja sesuai dengan misi dan aturan perilaku yang ditetapkan organisasi/perusahaan
 Praktik penerimaan pegawai, dicegah diterimanya karyawan yang bermoral tidak baik.

 Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need).
Beberapa cara mengurangi kemungkinan keterlibatan dalam kecurangan:
 Menciptakan lingkungan yang menyenangkan, misalnya: memperlakukan pegawai secara wajar, berkomunikasi secara terbuka, dan adanya mekanisme agar setiap keluhan dapat didiskusikan dan diselesaikan
 Sistem pengukuran kinerja dan penghargaan, yang wajar sehingga karyawan merasa diperlakukan secara adil
 Bantuan konsultasi pegawai, untuk mengetahui masalah secara dini
 Proses penerimaan karyawan, untuk mengidentifikasi calon karyawan yang berisiko tinggi dan sekaligus mendiskualifikasinya
 Kehati-hatian, mengingat motivasi seseorang tidak dapat diamati mata telanjang, sebaliknya produk motivasi tersebut tidak dapat disembunyikan.

Langkah-Langkah Yang Harus Dilakukan Apabila Terdapat Indikasi Kecurangan
Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suatu organisasi/perusahaan apabila terdapat indikasi kecurangan adalah:
- Uji sumber pengaduan (misal: cek identitas, kredibilitas, kemampuan mengetahui kecurangan tersebut, dan keandalan dari si pelapor/pengadu)
- Tentukan apakah pelapor mengetahui informasi dari tangan pertama (secara pribadi mengetahui terjadinya kecurangan) atau dari pihak lain.
- Tentukan apa motif dari pelapor (balas dendam, cemburu, jengkel, uang)
- Waspada, apabila pelapor meminta uang sebelum memberi penjelasan lebih jauh. Jangan memberikan uang sebelum informasi yang akurat diberikan dan dikonfirmasi dengan saksi yang dapat dipercaya dan dengan dokumen
- Uji lebih jauh dugaan kecurangan tersebut dengan sumber independen dan dokumen
- Jangan mengambil tindakan disiplin tanpa catatan lengkap mengenai tuduhan kecurangan, termasuk identitas pelapor dan keterangan tertulisnya (keterangan lisan tidak cukup)
- Konfirmasi tuduhan tersebut melalui dokumen dan pengakuan/testimony (tertulis dan berkaitan dengan) saksi-saksi lain yang mengetahuinya
- Lakukan pendekatan dengan pemasok atau pihak-pihak lain yang diduga terlibat untuk memperoleh jawaban dan kerjasama mereka
- Lakukan interview terhadap karyawan yang diduga terlibat untuk mengetahui versinya mengenai dugaan kecurangan tersebut (misalnya, apakah pemasok yang mengajukan penawaran atau karyawan yang menetapkan harga dari pemasok)

Langkah-langkah di atas juga dapat digunakan oleh auditor untuk mendeteksi adanya kecurangan, namun disesuaikan dengan kondisi yang ada. Misalnya, auditor memperoleh suatu surat pengaduan dengan identitas yang tidak jelas namun indikasi kecurangan cukup kuat. Dalam hal ini, auditor boleh jadi tetap melakukan audit kecurangan tanpa harus melakukan klarifikasi atas identitas pelapor.

http://www.asei.co.id/internal/docs/Asei-Kecurangan.doc

Membebaskan Perbankan Nasional dari Kecurangan

oleh : Farida Peranginangin

SEPANJANG tahun 2004 ada beberapa berita yang mengungkapkan tentang kecurangan (fraud) yang terjadi pada bank. Ada kecurangan yang segera terungkap karena secara langsung merugikan nasabah penyimpan dana, karena dana tersebut ternyata tidak dicatat sebagai simpanan di bank, melainkan "disimpan" untuk kepentingan oknum, ada transfer yang dibelokkan, ada pula kecurangan yang akut oleh pejabat bank dalam bentuk laporan keuangan yang dipalsukan sebagai upaya untuk menutupi penyalahgunaan aset bank.

TAHUN sebelumnya juga Indonesia tak bebas dari kecurangan perbankan. Skandal letter of credit (L/C) fiktif dengan nilai triliunan rupiah terungkap tahun 2003. Akan tetapi, fenomena adanya kecurangan pada setiap tahun bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, kecurangan terjadi setiap tahun, dan terjadi pada berbagai industri, pada perusahaan besar maupun kecil. Risiko kecurangan dihadapi tidak hanya oleh bank, tetapi juga perusahaan pada industri lain.

Industri perbankan adalah industri yang menjual kepercayaan. Tidak satu pihak pun bersedia menempatkan uangnya di bank apabila tidak mempercayai bank tersebut. Menempatkan uang di bank adalah sebuah tindakan yang memberi potensi keuntungan berupa bunga sekaligus risiko kehilangan uang itu. Berbeda dengan jenis perusahaan lainnya yang dana untuk usahanya terutama berasal dari para pemilik, sumber dana terbesar untuk mendanai kegiatan usaha bank pada umumnya bukan merupakan komponen modal yang disetorkan para pemilik, melainkan berasal dari dana berbagai pihak yang ditempatkan di bank. Karena sifat bank di mana pada umumnya total dana pihak ketiga lebih besar daripada modal yang disetorkan, maka kecurangan pada bank tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak manajemen dan pegawai, tetapi juga oleh pemilik.

Kerugian dari kecurangan

Pada umumnya kecurangan yang terjadi pada perusahaan jenis apa pun sulit dihitung total kerugian yang ditimbulkannya karena beberapa alasan. Pertama, banyak kecurangan yang tidak terungkap. Kedua, meskipun kecurangan diungkap, tidak seluruh perusahaan melaporkannya kepada yang berwajib, terutama dengan pertimbangan menghindari risiko reputasi bagi perusahaan bersangkutan. Ketiga, ada dampak kecurangan yang sulit untuk dihitung nilainya, seperti turunnya motivasi pegawai, hilangnya reputasi, serta hilangnya potensi pasar.

Pada kecurangan yang dialami bank, dampaknya dapat meluas ke bank lain yang sejenis atau bahkan ke sistem perbankan secara keseluruhan. Kecurangan pada bank BUMN, misalnya, dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat tidak hanya kepada bank bersangkutan, tetapi juga kepada bank BUMN lainnya. Dampak kecurangan dapat meluas ke sistem perbankan secara keseluruhan apabila bank yang bersangkutan memiliki kewajiban kepada bank lainnya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya karena merugi atau pailit akibat kecurangan.

Risiko gangguan sistemik baik karena hilangnya kepercayaan masyarakat pada perbankan atau sekelompok bank akibat kecurangan pada salah satu bank, maupun gangguan sistemik karena adanya kaitan bayar-membayar antarbank, merupakan bahaya yang lebih besar akibat kecurangan, karena dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Penyebab kecurangan

Hingga saat ini ada satu teori yang dikenal untuk menjelaskan terjadinya kecurangan, yakni teori atau model Segitiga Kecurangan (The Fraud Triangle). Dijelaskan, ada tiga faktor yang secara bersama-sama menyebabkan kecurangan: 1) motive atau pressure; 2) perceived opportunity; dan 3) rasionalisasi atau kemampuan pelaku kecurangan untuk mencari alasan pembenar atas kecurangan (Peterson, BK, 2004; Wolfe, DT & Hermanson, DR, 2004).

Motive atau pressure adalah faktor psikologis pada seseorang yang muncul karena adanya kebutuhan yang mendesak atau perasaan yang timbul dalam hubungan antara seseorang dan tempatnya bekerja. Motive atau pressure bisa berupa kebutuhan keuangan yang mendesak atau keinginan balas dendam yang ditujukan kepada perusahaan tempat bekerja.

Perceived opportunity atau adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan umumnya diasosiasikan dengan faktor yang melekat pada organisasi. Lemahnya kontrol internal atau budaya kerja yang terlalu memercayai seseorang adalah contoh dari adanya peluang. Meski demikian, dalam kasus kecurangan pada bank kesempatan berbuat curang juga dapat disebabkan oleh faktor di luar bank, misalnya lemahnya pengawasan atas bank, tidak adanya law enforcement atas pelaku, atau ketiadaan pengaturan yang membatasi ruang gerak yang memungkinkan terjadinya kecurangan.

Rasionalisasi adalah kemampuan seseorang untuk membenarkan tindakannya. Dari perbincangan terhadap pelaku kecurangan, para ahli menyimpulkan bahwa umumnya pelaku mengatakan bahwa tindakannya bukanlah suatu tindak kejahatan, antara lain karena pelaku merasa telah berjasa pada perusahaan, atau karena merasa bahwa yang sedang dilakukannya adalah meminjam uang perusahaan.

Mengenal pelaku

Kecurangan dapat dilakukan oleh orang di dalam perusahaan (insider fraud) atau di luar perusahaan (outsider fraud). Pelaku kejahatan dari dalam umumnya dibedakan atas pihak manajemen (pimpinan) atau pegawai, sedangkan pelaku outsider fraud biasanya pihak rekanan (vendor) atau konsumen. Namun, dalam kasus kecurangan pada bank, sebagaimana kita jumpai, pelaku insider fraud tidak hanya manajemen dan pegawai, tetapi juga pemiliknya.

Data empiris menunjukkan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang di dalam (Wolfe & Hermanson, 2004). Survei oleh Ernst & Young atas 10.000 organisasi dalam 30 industri di 15 negara menyimpulkan: 82 persen dari responden menyatakan bahwa semua kecurangan yang akhirnya terungkap melibatkan pegawai di dalam perusahaan; 28 persen melibatkan pihak manajemen (Ernst & Young, 2000). Dengan perkataan lain, data empiris menunjukkan sebagian besar pelaku adalah orang dalam perusahaan. Dikaitkan dengan model Segitiga Kecurangan, fakta ini relevan dengan teori, terjadinya kecurangan antara lain harus ada kesempatan. Kesempatan umumnya lebih dipahami oleh orang dalam.

Beberapa ahli menyatakan bahwa semua orang dapat menjadi pelaku kecurangan. Namun, berdasarkan pengamatan dan pengalaman menangani kecurangan, disimpulkan adanya kesamaan tertentu di antara pelaku.

Berdasarkan pengalamannya sebagai auditor selama 15 tahun, Wolfe dan Hermanson menyimpulkan bahwa pelaku kecurangan umumnya adalah seseorang yang: a) memiliki posisi atau fungsi di dalam organisasi yang memberi kesempatan untuk melakukan kecurangan; b) cukup cerdas untuk memahami adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan; c) memiliki ego yang kuat dan sangat percaya diri; dan d) memiliki kemampuan memaksa orang lain ikut melakukan atau menutupi kecurangan.

Pencegahan pada bank

Tampaknya kita tidak bisa berharap untuk bebas dari kecurangan. Selama ada orang- orang yang begitu membutuhkan uang, baik kebutuhan riil (need) atau keserakahan (greed), dan orang tersebut berada di bank serta beranggapan bahwa tindakan itu bukan kejahatan, tinggal dibutuhkan satu faktor untuk curang: sebuah kesempatan.

Pencegahan kecurangan pada bank hanya dapat dilakukan dengan meminimalkan kesempatan. Dari sisi bank sendiri sebagai sebuah organisasi, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan standard operating procedure yang menutup celah kecurangan, pengamanan pada teknologi informasi, budaya kerja penuh kehati-hatian, dan audit internal yang tajam dan punya integritas.

Dapatkah nasabah penyimpan dana menaruh harapan pada bank saja? Sama sekali tidak. Audit internal pada bank, yang fungsinya sebagai unit yang diharapkan pertama kali akan mendeteksi adanya kecurangan, pada kenyataannya tak akan mampu melakukan apa pun apabila kecurangan dilakukan oleh pihak manajemen, apalagi pemilik bank. Fenomena ini bukan khas Indonesia karena terjadi juga di beberapa negara.

Harapan untuk meminimalkan kecurangan diletakkan terutama pada otoritas pengawas bank dan lembaga penegak hukum. Ada banyak hal yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang perlu disempurnakan. Pencegahan pertama adalah dengan fit and proper test. Seleksi memang sudah dilakukan saat para calon hendak memangku jabatan, tetapi mungkin perlu dilakukan evaluasi secara periodik.

Pengenaan hukuman kepada para pelaku kecurangan perbankan juga menjadi faktor penentu. Tanpa adanya penegakan hukum, setiap perbuatan curang akan menjadi pemacu bagi orang lain untuk melakukan kecurangan. Lemahnya penegakan hukum memunculkan lelucon bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah pembobolan bank.

Untuk meminimalkan dampak akal-akalan para pemilik bank yang memecah kepemilikannya sedemikan rupa, diperlukan kerja sama antara Bank Indonesia dan Bapepam untuk membuat basis data pemilik bank, sebagaimana telah dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed). Belajar dari pengalaman terjadinya kecurangan dan bangkrutnya bank karena hubungan kekerabatan dalam kepemilikan bank.

Pada era transfer dana secara elektronis, di mana dana bisa dipindahkan dalam hitungan menit, sangat sulit untuk mengembalikan kerugian akibat kecurangan apabila telah terjadi. Maka tidak ada pilihan lain selain tidak memberi kesempatan untuk terjadinya kecurangan.

Farida Peranginangin Mahasiswa S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kompas, Senin, 14 Februari 2005

Saturday, November 3, 2007

PENTINGNYA BANK MEMILIKI PROGRAM PENCEGAHAN KECURANGAN

Kecurangan bermula dari yang kecil, kemudian membesar dan pada akhirnya akan mencelakakan bank. Untuk itu perlu ada semacam program yang terstruktur serta tertata baik menekan praktik kecurangan. Tujuan utamanya mencegah dan mendeteksi kecurangan serta melakukan langkah penyelamatan dari kerugian yang tidak diinginkan.

Kecurangan bisa terjadi dimana saja, kecurangan dalam institusi perbankan dampaknya akan sangat jauh, karena dasar bekerjanya bank adalah kepercayaan. Sehingga bila terjadi kecurangan maka bisa mengikis tingkat kepercayaan berbagai pihak yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan bank dan tentunya lebih jauh lagi pada perekonomian.

Kerawanan terjadinya kecurangan di perbankan sebagai badan usaha sangatlah luas cakupannya, mengingat usahanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat. Bila kecurangan terjadi, maka fungsi intermediasi bank menjadi terganggu. Bila terjadi dalam frekuensi dan volume yang besar maka tentunya tujuan pencapaian sasaran kerjanya akan sulit bisa dicapai.

The Institute of Internal Auditors (IIA) mendefinisikan kecurangan sbb; “An array of irregulation and illegal acts characterized by intentional deception. It can be perpetrated for the benefit of or to the detriment of thr organization and by persons outside as well as inside organizatioan” (Suatu kesatuan penyimpangan dan tindalan illegal yang ditandai dengan penipuan yang disengaja, yang dapat dilakukan oleh dan untuk keuntungan bagi organisasi dan atau individu baik di dalam maupun di luar organisasi)

Dari definisi ini memperlihatkan bahwa dalam kecurangan ada penyimpangan dan atau tindakan illegal, penipuan yang disengaja yang menguntungkan individu maupun organisasi, artinya dibalik itu ada pihak yang dirugikan, sedangkan pelakunya bisa organisasi atau individu. Artinya ini dapat dilakukan untuk manfaat dan/atau kerugian organisasi oleh orang di luar atau orang lain dalam organisasi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kecurangan ini adalah suatu penyajian yang palsu atau penyembunyian fakta yang material yang menyebabkan seseorang memiliki sesuatu secara tidak sah.

Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver (Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuntungan pada si penipu) G.Jack Bologna J.Lindquist & Joseph T.Wells dalam bukunya The Accounting’s Handbook of Fraud and Commercial Crime.
Dia mengartikan kriminal adalah setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Namum pengartiannya tidak dilakukan secara ketat seperti dalam arti hukum. Dengan demikian, meskipun pelaku kecurangan dapat menghindari tuntuan kriminal pidana, tindakan ini dipertimbangkan tetap sebagai kriminal.

Penyebab Kecurangan
Bank For International Settlements (BIS), menyebutkan penyebab terjadinya fraud (kecurangan), kerugian dan permasalahan bank, terutama disebabkan ;
• Kurang memadainya pengawasan dan akuntabilitas dari pengurus bank serta kegagalan mengembangkan budaya pengendalian yang kuat
• Tidak memadainya identifikasi risiko dan penilaian atas risiko dari kegiatan bank, baik “on” maupun “off” balance sheet
• Tidak ada atau gagalnya fungsi struktur dan kunci pengendalian, serta pemisahan fungsi, pengesahan/otorsasi, verifikasi dan kaji ulang atas kinerja bank.
• Tidak berjalannya komunikasi/arus informasi kepada pengurus mengenai permasalahan yang terjadi.
• Tidak memadainya atau tidak efektifnya program audit dan kegiatan pemantauan terutama dalam identifikasi dan pelaporan kelemahan dalam pengendalian permasalahan bank

Kecurangan yang terjadi di bank salah satu penyebab utamanya justru faktor sumber daya manusia di sektor perbankan itu sendiri, yang melakukan praktik-praktik perbankan yang menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh para pemilik bank yang cenderung memanfaatkan bank untuk kepentingan grup usahanya, yang secara langsung atau tidak langsung juga mewakili kepentingan pribadinya. Selain itu, pengurus bank juga cenderung mengutamakan atau mengakomodasi kepentingan pemilik bank, yang pada akhirnya menjurus kepada penyimpangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata, yang dapat merugikan bank dan kepentingan masyarakat, khususnya penyimpan dana.
Berbagai pihak di bank dapat melakukan kecurangan baik pemegang saham, pengurus, pegawai, nasabah, auditor intern, auditor ekstern maupun pihak lain seperti, kontraktor, appraisal dan konsultan. Dia bisa melakukannya sendiri-sendiri, dalam kelompok yang kecil bahkan mungkin dilakukan dengan kelompok yang besar, luas serta terorganisir. Mengingat luasnya kemungkinan pihak-pihak yang bisa melakukannya, maka konsep membangun system pengendalian yang handal dalam semua kegiatan menjadi satu hal yang teramat penting.
Nah, kalau saja penyebab itu sudah ada dan pelakunya mungkin dari berbagai kalangan di bank, maka signal bahaya sudah didepan mata.

Pencegahan
Pencegahan kecurangan dimulai dari suatu pendapat bahwa tidak semua orang dapat berlaku jujur dan ini adalah merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan ini. Bahkan seorang yang sebenarnya jujur sekalipun bila dia ada ditengah-tengah organisasi yang memberinya banyak kesempatan untuk bisa berlaku curang maka ini akan menyeret dirinya pada suatu kultur tersebut. Apabila seseorang ditempatkan dalam lingkungan yang rendah integritasnya, lemah kontrolnya, jelek sistem pertanggungjawabannya, akuntabilitasnya, atau selalu dalam tekanan hal ini akan menimbulkan dorongan untuk tumbunya ketidak jujuran.

Menciptakan kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu. Empat faktor untuk pencegahan kecurangan adalah sangat krusial untuk menciptakan suatu kultur kejujuran, keterbukaan dan saling menolong dalam kebaikan. Hal ini meliputi : (1) Menempatkan orang-orang yang jujur dan terpercaya serta melakukan pelatihan tentang kesadaran bahaya kecurangan; (2) Menciptakan lingkungan kerja yang positif ; (3) Menyebarluaskan pemahaman terhadap kode etik ; (4) Melakukan program bantuan bagi karyawan (Employee Assistance Programs)

Menempatkan Orang-Orang yang Jujur dan Terpercaya serta Melakukan Pelatihan Tentang Kesadaran Bahaya Kecurangan. Dari hasil studi di Amerika Serikat (John Kula, Director of Fraud and Service Consulting for Arthur Anderson, as quoted in Jerrr Thomas, “ Prosecution of White – Collar Crime Rising,” Chicago Tribune, June 10, 1991, p.B1.) terungkap bahwa 31% dari orang Amerika tidak jujur, 30% jujur secara situasional saja dan hanya 41% yang benar-benar jujur pada setiap keadaan. Studi ini juga memperlihatkan 25% dari kecurangan yang terjadi dilakukan oleh karyawan yang sudah bekerja 3 tahun atau lebih. Orang tersebut pada umumnya suka berjudi, mempunyai masalah keuangan, suka minum-minum atau mempunyai problem kriminal.
Walaupun data tersebut bukan terjadi di Indonesia, setidaknya bisa mengindikasikan bahwa kejujuran orang seharusnya dibangun dari awal. Dalam hubungan ini maka untuk membangun organisasi yang kuat memerlukan suatu kebijakan skrining yang baik bagi para karyawan. Kemantapan lingkungan pengendalian mencegah ketidak jujuran karyawan dan merupakan dorongan untuk mencegah kecurangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, organisasi perlu kreatif dalam proses penyaringan. Sebagai contoh bank-bank saat ini yang sudah melakukan penyaringan calon nasabah ataupun calon karyawannya misalnya dengan meneliti problem kreditnya dan kinerjanya, baik melalui sistem informasi nasabah di bank sentral, maupun melalui sistem informasi credit card. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah menginventarsir sidik jari seluruh karyawan dan nasabah dan menyimpannya dalam database yang selanjutnya bisa digunakan bila diperlukan dan jika terjadi persoalan yang berindikasi kriminal. Di Amerika bahkan banyak organisasi yang menyewa private investigators untuk meneliti latar belakang seseorang. Juga test terhadap tulisan tangan seseorang kerap kali digunakan sebagai salah satu caranya.
Beberapa perusahaan telah melakukan pelatihan untuk bisa melakukan wawancara dengan melakukan cross-check terhadap berbagai latar belakang seseorang yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut.
Wawancara ini tentunya diharap bisa mengungkap bila terjadi kebohongan latar belakang yang diberikan para calon nasabah ataupun karyawan. Diharapkan hal ini bisa mengungkap juga problem-problem antara lain ketidak puasan karyawan, pemalsuan tingkat pendidikan, catatan kriminal yang pernah dilakukan, keburukan rating kreditnya dan kinerjanya, mentalitas yang buruk, ketergantungan pada obat terlarang dan peminum, temperamen yang tak terkontrol. Orang-orang seperti ini secara umum mempunyai masalah potensial untuk melakukan kecurangan dan sebaiknya tidak masuk dalam lingkungan aktivitas organisasi.

Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif. Adalah tidak mungkin menciptakan kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu tanpa menciptakan lingkungan kerja yang positif. Lingkungan kerja yang positif tidak terbentuk secara otomatis, dia harus diolah dan dibangun.
Kebijakan pintu terbuka yang positif terhadap karyawan serta kepatuhan pada sistem dan prosedur merupakan dorongan bagi organisasi untuk melawan kecurangan.
Kebijakan pintu terbuka untuk pencegahan kecurangan mempunyai dua jalan. Pertama, Sebenarnya banyak orang yang punya komitemen untuk melawan kecurangan namun dia tidak punya tempat kepada siapa dia mengadu dan meyampaikannya. Apabila dia menyimpannya sendiri dia kehilangan kesempatan yang tepat untuk melakukan tindakan dan konsekwensinya dia bisa melakukan tindakan yang salah. Kedua, Kebijakan pintu terbuka akan menolong para manajer dan lain-lainnya untuk memahami tekanan, problem dan alasan para karyawan. Pemahaman para manajer terhadap hal ini merupakan suatu langkah secara proaktif untuk mencegah kecurangan.

Membangun Kode Etik. Kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu tak mungkin tercipta tanpa adanya kode etik dan kepatuhan pada kode etik tersebut. Literatur tentang membangun moral mengatakan bila kita ingin orang-orang berlaku jujur, kita harus membentuk kebiasaan dengan model tersebut. Perusahaan yang berhasil mencegah kecurangan perlu mempunyai label program untuk itu dan biasanya diberi nama “kode etik”. Rumusan kode etik menggambarkan apa yang baik dan dapat dilakukan serta yang apa yang tidak baik dan jangan dilakukan. Para karyawan secara periodik harus membaca dan menandatangani kode etik perusahaan tidak hanya untuk mendorong kembali pemahamannya tentang apa makna yang patut dan yang tidak patut, tapi juga menegaskan bahwa hal ini penting bagi perusahaan. Ekspektasi diklarifikasikan dan ekspektasi yang sudah clear bisa menekan kecurangan. Misalnya, bila ada pernyataan karyawan “Saya hanya meminjam uang ini sementara saja”, kalaulah dia memahami apa keinginan dari perusahaan, maka dia tidak melakukan kecurangan, namun dia akan mengajukan pinjaman yang memperoleh persetujuan sebagaimana seharusnya.
Selanjutnya perlu adanya code of conduct yang merupakan aturan tingkah laku yang merupakan statement dari filosofi bank haruslah menjadi dasar dari segenap perilaku dalam pengelolaan bank. Ini merupakan sumber dari strategi, cara dan langkah kerja bank. Hal ini perlu untuk membangun kesadaran kritis, bahwa bisnis bank profit making activity, yang harus dicapai dengan cara baik, tidak curang, tidak merugikan orang lain. Keuntungan yang dicapai juga meliputi non financial profit, moral, citra, pelayanan, tanggung jawab sosial, integritas moral, mutu, kepercayaan. Meliputi juga keuntungan berjangka panjang.
Sebagai contoh, Institut Bankir Indonesia telah memberikan suatu dasar bagi para anggotanya dalam “Kode Etik Bankir Indonesia” yang bisa menjadi acuan awal dari setiap bank untuk membuat aturan tingkah laku bagi banknya yang lebih teknis dengan penyesuaian sesuai kultur banknya masing-masing.
1. Patuh dan taat pada ketentuan dan perundang-undangan dan peraturan yg berlaku
2. Melakukan pencatatan yg benar mengenai segala transaksi yang berkaitan dengan banknya
3. Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat
4. Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi
5. Menghindarkan diri dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan
6. Menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya
7. Memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan
8. Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarganya
9. Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya

Melakukan Program Bantuan Bagi Karyawan (Employee Assistance Programs). Salah satu elemen dari terjadinya kecurangan adalah adanya tekanan (pressure). Orang yang tertekan seperti ini bisa terdorong melakukan kecurangan.
Program bantuan bagi karyawan ini utamanya menghadapi masalah seperti; penyalah gunaannya terhadap minuman keras atau obat-obatan, perjudian, kesulitan pengaturan keuangan, kesehatan, keluarga dan problem yang bersifat pribadi.
Masalah-masalah seperti banyak terjadi di dalam suatu organisasi, apabila tidak tertangani secara baik dengan suatu program yang baik akan menjadi potensi kecurangan terjadi.
Sebagai contoh ;
Seorang karyawan bank tengah menghadapi kesulitan keluarga pada akhir tahun ajaran baru yang harus memasukan 3 orang anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini membutuhkan biaya besar padahal sumber–sumber keuangannya sudah sangat terbatas. Dia telah mengajukan permintaan kepada manajemen HRD bank-nya untuk memperoleh pinjaman, namun karena pinjamannya sudah melampaui limit, maka permohonannya diolak. Pekerjaan sehari-harinya adalah melakukan rekonsiliasi pos-pos rekening sementara antar kantor yang terbuka. Melihat pos-pos yang sering lambat direspons, maka fikiran negatifnya terbuka untuk mendebet rekening tersebut sementara dialihkan ke rekening pribadinya dengan alasan menyelematkan pendidikan anaknya. Namun hal ini berkelanjutan, sehingga menjadi suatu jumlah yang besar.
Contoh lain adalah, seorang karyawan bank, account officer, yang pergaulannya memang sangat “high class” dan tidak sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dia terpaksa melakukan konsumsi yang jauh dari kemampuannya, seperti pakaian mahal, mobil mewah, seringkali keluar masuk pub dan restoran mewah serta gaya hidup yang “wah”. Kondisi ini mendorong dia melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan dalam lingkungan kerjanya di bank. Caranya bekerja sama dengan nasabah yang mengajukan permohonan kredit. Dia menjamin bahwa permohonan kredit nasabah ini pasti disetujui dan melakukan berbgai cara mark-up data, perhitungan kredit maupun agunan. Untuk itu dia memperoleh imbalan.

Menekan Kemungkinan Kecurangan
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sebab terjadi kecurangan ; merasa adanya “tekanan”, merasa adanya “kesempatan” dan adanya “alasan” untuk melakukannya. Bila ketiga hal ini telah ada secara bersamaan maka pintu kesempatan kecurangan sudah bisa terjadi.
Dibawah ini diuraikan metode pencegahan kecurangan yang setidakmya menekan terjadinya kesempatan tersebut.

Melaksanakan Internal Control yang Baik. Suatu cara terbaik untuk untuk menekan kemungkinan terjadinya kecurangan adalah menerapkan sistem control yang baik. The Institut of Internal Auditors menjelaskan tentang standar kecurangan sebagai contoh adalah sbb;
Detterance consists of those actions taken to discourage the perpetration of fraud and limit the exposure if fraud does occur. The principle mechanisem for deffering fraud is control. Primary responsibility for establishing and maintaining control rests with management.

Untuk menekan praktik kecurangan seharusnya ada semacam program yang terstruktur serta tertata baik. Tujuan utamanya adalah mencegah dan mendeteksi kecurangan serta melakukan langkah penyelamatan dari kerugian yang tidak diinginkan. Tujuan berikutnya adalah untuk membantu manajemen untuk mencapai target finansial dan tujuan banknya dengan membantu menekan pemborosan, selanjutnya bisa memberi kontribusi dengan menaikan harga saham bagi bank-bank yang go-public melalui perbaikan sistem untuk melawan kecurangan, melaksanakan, dan prosedur program memberantas kecurangan.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan adanya standar yang harus dipahami dan dipatuhi oleh segenap manajemen dan karyawan. Standar ini meliputi adanya ;

• Organisasi: Adanya aturan, responsibilitas dan akuntabilitas untuk pencegahan dan mendeteksi kecurangan serta langkah recovery atas kerugian dan harus jelas didefinisikan serta dikomunikasikan kepada semuanya level.
• Policy: Adanya kebijakan dan standar dibuat untuk semua risiko kecurangan.
• Perbaikan: Bisnis harus belajar dari kesalahan yang terjadi.
• Pengetahuan: Adanya transfer dan penyebaran pengetahuan yang merupakan suatu best practice agar pihak-pihak di bank punya pemahaman dan pengetahuan bahwa kecurangan itu buruk dan harus diberantas.
• Manajemen Risiko: Kelengkapan dan konsitensi dalam proses untuk mengukur, mengendalikan dan melaporkan risiko-risiko kecurangan merupakan bagian yang integral dari operasional bisnis perbankan yang dilakukan.
• Solusi: Adanya contact point untuk peningkatan dan mendalami issue kecurangan
• Kultur: Harus ada upaya peningkatan perhatian terhadap kecurangan melalui pelatihan, serta adanya penghargaan pada yang berprestasi serta sanksi pada yang bersalah.
• Keputusan: Mengidentifikasi risiko untuk memperkirakan keputusan yang tepat dari tiap tingkatan manajemen

Standar seperti ini merupakan fondasi untuk membangun program pencegahan kecurangan yang efektif. Hal kritis yang harus dipahami para manajer adalah risiko yang paling penting yang ada dihadapannya. Apabila tidak ada keinginan untuk menggali lebih jauh atau adanya toleransi terhadap kemungkinan kecurangan, maka hal ini akan memperbesar bank menghadapi risiko yang potensial. Karenanya hal ini perlu masukan dari direksi, dewan komisaris, Bank Indonesia, risk manager, compliance dan manager lini dalam bank.

Deteksi Kecurangan
Tujuan utama dari deteksi ini adalah mengidentifikasikan kerugian atau mencoba untuk mengetahui penyebab kemungkinan kesempatan kerugian lebih dini dan sehingga dapat menekan jumlah kerugian. Hal in termasuk ;
• Penggunaan alat atau teknik untuk secara pro-aktif mengidentifikasikan kecurangan seperti
o Menyaring dan meneliti data akuntansi dan data lainnya
o Melakukan review terhadap kecurangan dengan fokus pada area yang spesifik.
o Melakukan pemetaan risiko dan melakukan penilaiannya.
o Membangun sistem baik berdasarkan “inttilegent or knowledge based system”.
• Adanya hot-line dari karyawan yang terjaga kerahasiaannya dalam pelaporannya.
• Adanya personnel security (Ternasuk skrining untuk pegawai baru dan re-skrining dari pagawai bank yang ada, terutama yang duduk pada posisi yang sensitif)

Investigasi Dan Recovery
Langkah ini merupakan upaya untuk mencoba melakukan recovery untuk menekan kerugian dengan efektif dan efesien dari berbagai kejadian yang merugikan. Sebuah produk dari proses recovery adalah juga belajar dari kesalahan dan pengidentifikasikan ancaman-ancaman, dalam hal ini termasuk unsur manusianya, prosesnya atau prosedur untuk membangun langkah-langkah prefentif atau menekan kemungkinan berulangnya kejadian tersebut. Recovery ini termasuk ;
• Investigasi yang terbuka dan tersembunyi, dilakukan diam-diam, wawancara serta dukungan manajemen secara profesional.
• Adanya hubungan internal dan eksternal dalam pelaporan, termasuk pada regulatornya.
• Menjadikannya suatu issue manajemen intern, termasuk crisis management.
• Presentasi temuan kepada direksi dan senior manajemen, dan bila dianggap perlu bisa dilakukan juga pada pihak eksternal rgulator, seperti BI dsb.
• Mengidentifikasikan kelemahan prosedur atau perbedaannya dengan sistem dan prosedur yang berlaku, membuat action plan untuk meredakan issue ini.
• Melakukan transfer pengetahuan (yang merupakan best practice untuk pembelajaran dari kejadian ini) melalui program pelatihan.

Implementasi dari sasaran Program Pencegahan Kecurangan
Pengimplementasian program manajemen risiko kecurangan disarankan perlu dirumuskan dan dilakukan dengan baik. Memang tidak semua elemen diperlukan dan mekanisme di setiap unit kerja yang sebenarnya sudah ada perlindungannya sendiri juga.
Hal yang penting adalah tindakan selanjutnya, bila semua sudah tersedia di bank untuk mencapai sasarannya, maka dengan pencegahan terhadap terjadinya kecurangan, ini merupakan perlindungan terhadap uang dan kekayaan bank yang sangat berharga. Review lanjutannya adalah penilaian dan penyesuaian terhadap peraturan dan pelaksanaannya yang berjalan agar selalu melindungi bisnis bank dan harus memberikan manfaat yang kompetitif. (TPT)

ASPEK HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DALAM KEGIATAN AUDIT INTERN BANK

Beberapa prinsip umum dari aspek hubungan antar manusia berlaku bagi setiap kejadian di mana dua atau lebih orang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi juga dalam kegiatan audit intern, antara auditor dan auditee.
Beberapa prinsip tersebut yang kiranya berlaku dan berpengaruh dalam kegiatan audit intern.

Apabila kita perhatikan, kegiatan itu menempatkan orang-orang yang saling berhubungan dalam posisi tertentu dan khusus. Bila kedua pihak tak mampu membangun hubungannya secara baik, maka pintu konflik yang berkepanjangan dan berakibat destruktif bagi organisasi makin terbuka.
Karenanya kita perlu menempatkan masalah ini pada proporsi yang benar, sehingga misi kerja dari para auditor dan auditeenya dapat tercapai serta memberi kontribusi positif bagi organisasi.

Posisi semacam itulah yang menuntut adanya perhatian dan kondisi tertentu dari aspek hubungan antar manusia. Perlu dicatat bahwa pokok-pokok dalam tulisan ini tidak mutlak, tetapi memerlukan adanya modifikasi dalam penerapannya.
Secara garis besar tentunya hal-hal ini dapat dipakai sebagai kerangka dalam melaksanakan tugas.

Menurut Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) organisasi bank dalam kaitan adanya Satuan Kerja Audit Intern Bank adalah sebagai berikut :
Audit Intern merupakan fungsi staf. Dengan kata lain dia tidak melakukan fungsi eksekutif dalam kegiatannya. Tugas dan ruang lingkupnya adalah :

 Menilai (appraisal)
 Analisis, dan
 Membuat laporan atas hasil kegiatan tersebut

Pusat kegiatan yang dikerjakannya lebih berorientasi pada kebijakan dan metode kegiatan operasional yang berlaku.


Struktur organisasinya mencerminkan hubungan komunikasi pengawasan yang luas antara auditor intern bank dengan Dewan Komisaris dan juga Direktur Kepatuhan (Compliance Director). Seperti diketahui sesuai dengan PBI No. 1/6/PBI/99 tanggal 20 September 1999, Dalam jajaran direksi diwajibkan adanya Direktur Kepatuhan. Yang mempunyai komunikasi dengan auditor intern. Direktur Kepatuhan ini tugas utamanya adalah memastikan bahwa bank telah melaksanakan segenap peraturan yang berlaku, terutama tentunya melaksanakan prinsip kehati-hatian.

Tugas tersebut diharapkan memberikan hasil dalam bentuk perbaikan dari apa yang sudah ada.
Pengolahan hasil penelitiannya lebih berorientasi pada akibat di masa yang akan datang atas setiap macam keputusan yang diambil pimpinannya (top management).

Dengan demikian masalah peningkatan efesiensi yang mengarah pada perbaikan produktivitas kegiatan atau penerapan suatu sistem harus merupakan pusat perhatiannya.

Untuk mencapai hasil tersebut digunakan suatu prosedur sesuai Internal Audit Charter, Panduan Audit Intern Bank, yang diharapkan secara konsepsual dapat memberi hasil sebagaimana mestinya. Dalam melaksanakan prosedur audit inilah, hubungan antar manusia mempunyai peranan dan pengaruhnya.



HUBUNGAN ANTARA INTERNAL AUDITOR DENGAN AUDITEE-NYA.

Perlu kita fahami bahwa hubungan yang terjadi antara internal auditor dengan auditee-nya adalah hubungan kerja biasa. Jadi tak perlu didramatisir seperti hubungan antara jaksa dengan terdakwa. Hubungannya seperti hubungan kerja antara satu bagian dengan bagian lainnya di bank.
Hubungan ini mempunyai tujuan seperti apa yang diinginkan dalam SPFAIB adalah menciptakan bank yang sehat dan berkembang secara wajar. Walaupun dari pihak auditee terdapat perbedaan sudut pandang tapi pada hakekatnya tujuannya adalah sama.

Karena posisi Internal Auditor (SKAI) adalah Staf dari Pimpinan Puncak (Dirut). Ia tentunya diharapkan memiliki pengetahuan dalam bidang :

• Teknis operasional bank.
• Teknis operasional bank auditing (SPFAIB)
• Hubungan antar manusia yang efektif.

Keberhasilan tugasnya secara konsepsional merupakan penjabaran dari apa yang dimilikinya itu.
Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan tugasnya akan sangat dipengaruhi oleh :

1. Kemampuan mengolah masukan yang diperolehnya menjadi satu keluaran yang bermakna

2. Cara/metode/prosedur yang digunakan dalam pelaksanaan tugasnya.

3. Proses interaksi kerjasama yang terjadi antara dirinya dengan kelompok.

Jika diperhatikan faktor ke 3 itu, maka hubungan yang terjadi memang menjadi ikut berperan. Apalagi kalau diperhatikan bahwa selalu ada kesan bahwa kegiatan audit seringkali disalah artikan sebagai kegiatan untuk mencari kesalahan.

Hal tersebut harus selalu dicoba untuk disingkirkan dan diganti dengan pengertian yang lebih positif. Ini hanya bisa dibina jika terdapat kerjasama yang efektif antara kedua pihak atau dapat dihindarkan timbulnya konflik yang merugikan.

Dengan demikian pembinaan hubungan antar auditor dengan auditee harus didasarkan pada sasaran kepentingan bersama dalam posisi mereka sebagai anggota organisasi. Perbedaan yang ada secara fungsional tidak boleh dijadikan titik tolak mempertentangkan posisi dalam kegiatan mencapai sasaran tersebut. Hal ini dalam pelaksanaannya memang sulit, karena pemahaman dari para pihak baik auditor maupun auditee yang sering kali punya persepsi yang berbeda.

Tugas fungsional sedapat mungkin diusahakan hanya untuk mencari dan menyediakan informasi secara obyektif. Khusus bagi Auditor, maka pengolahan dan penilaian hasil harus didasarkan pada standar dan penilaian yang profesional sifatnya dan hal ini tentunya telah diatur dalam pedoman kerja para auditor intern.

Singkatnya hubungan antara Auditor dengan Auditee-nya harus dikembangkan dalam bentuk hubungan kerja. Pendekatan yang digunakan berorientasi pada pemecahan masalah dan pengambilan keputusan atas berbagai alternatif dengan orentasi peningkatan/perbaikan bagi organisasi bank secara menyeluruh.

Menempatkan hal-hal tersebut dalam bentuk konsep seperti yang diuraikan diatas bukanlah perkara mudah. Perlu kematangan kedua pihak buat memahami posisinya masing-masing dalam bentuk yang lebih konkrit.

APA YANG DIPERANKAN DALAM TUGASNYA.

Tugas pokok sebagai internal auditor harus dilaksanakan secara profesional, menurut standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Tetapi hal tersebut memerlukan proses interaksi dalam pelaksanaanya. Ada beberapa peran yang dapat dibawakan oleh para internal auditor :

a. Peran sebagai “Problem Solver”

Temuan Audit pada hakekatnya adalah problem. Internal Auditor harus mampu menggunakan metode problem solving yang rasional sifatnya.
Rangkaian proses berfikir analisis yang standar perlu dikuasai secara mantap. Hal ini juga sangat membantunya untuk cepat dalam mengambil kesimpulan/keputusan. Informasi yang dikemukakan harus obyektif dan benar-benar merupakan fakta. Pengembangan berbagai alternatif perbaikan harus mampu pula dihasilkannya dan dapat diterapkan sesuai dengan kondisinya.
Dalam kaitan ini maka sang auditor perlu memahami akar permasalahan, serta mampu menganalisisnya, sehingga solusi yang direkomadasikan menjadi valid. Disini auditor perlu memahami bagaimana bobot temuan yang menjadi problem tersebut. Bagaimana intensitasnya. Dia perlu menilai siklusnya, akibatnya, ramalan-ramalan kejadian sebagai akibat yang akan terjadi dari temuan tersebut.
Jika hal tersebut dilaksanakannya dengan baik, maka pemecahan “konflik”, yang tidak mungkin dihindarkan akan dapat diselesaikan secara rasional dan memuaskan bagi semua pihak.

b. Peran sebagai “Conflict Resolution”

Temuan audit yang ada dari pelaksanaan audit bisa menjurus pada timbulnya konflik bila seorang auditor kurang mampu untuk menyelesaikannya dengan auditee.
Konflik itu sendiri adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. (Christ Mitchell, Thr Structur Of International Conflict, Macmillan. London,1981, Bab 1)
Dalam kaitan ini maka masalah penyelarasan agar menjadi sejalan antara auditor dan auditee dalam mencapai visi bank menjadi fokus utama. Penyelarasan ini berpijak pada visi keinginan semua pihak di bank untuk melahirkan bank yang sehat dan berkembang wajar adalah yang paling pokok.

Dalam praktiknya konflik ini bisa dilalui dengan jalan :

• Menghindari
• Membekukan
• Dikonfrontasikan

Menghindari konflik, Auditor semacam ini cenderung menekan reaksi emosional dengan mencari cara lain yang lebih enak atau bahkan mungkin dia minta pindah atau keluar dari pekerjaan sebagai internal auditor. Hal ini dimungkinkan pula bila si Auditor kurang punya kemampuan untuk bernegosiasi secara efektif. Meskipun strategi menghindari bisa mengatasi persoalan, namun sifatnya sementara saja. Karena pada kesempatan lain persoalan itu dapat timbul dan si auditor tetap tidak dapat mengatasinya.

Membekukan konflik, ini adalah suatu taktik untuk menangguhkan tindakan. Strategi ini bisa digunakan Auditor untuk mendinginkan situasi untuk sementara, sehingga usaha untuk konfrontasi tetap tidak mungkin.

Konfrontasi konflik, artinya atas problem atau temuan ini langsung dikonfrontasikan dengan auditee. Konfrontasi bisa dilakukan dengan dengan dua jalan :
Dengan memakai kekerasan, misalnya dipaksa dengan power dari Diektur Utama maka auditee harus melaksanakan rekomendasi audit. Strategi ini dapat efektif, tapi auditee dapat merasa kalah. Bila merasa kalah maka bisa timbul kebencian, kekhawatiran, bahkan menjurus pada kerugian.
Dengan memakai strategi negosiasi, Strategi ini kedua pihak bisa menang.
Masing-masing langkah akan mengundang masalahnya sendiri.
Strategi “Win-Win” harus dipakai sebagai dasar dalam kerangka pemecahan. Setiap kegiatan dan keputusan yang diambil, dilakukan berdasar motif yang konstruktif sifatnya. Teknik-teknik seperti kemampuan memahami orang lain, komunikasi dan juga negosiasi perlu dimiliki.

Untuk itu maka, seorang Auditor perlu memiliki keterampilan bernegosiasi.
Menentukan hakekat konflik : Untuk itu maka kita perlu bisa menentukan hakikat konflik dengan mendiagonosa konflik melalui negosiasi. Apakah konflik itu terjadi bersifat ideologis (nilai-nilai) atau konflik sungguh-sungguh (tangible) atau mungkin kombinasi dari keduanya.
Konflik yang mencakup nilai-nilai sulit untuk dinegosiasikan, karenanya perlu toleransi. Tetapi bila konflik menyangkut hal-hal yang jelas nerpengaruh nyata terhadap bank, terhadap auditor dan auditee maka unsur konflik itu harus diatasi.

Efektivitas dalam memulai konfrontasi. Supaya efektif, maka dalam melakukan konfrontasi atas konflik tidak dilakukan dengan menyerang atau menyalahkan auditee atau pihak lain. Suatu reaksi defensif pada salah satu pihak biasanya sangat menghambat penyelesaian perbedaan-perbedaan. Cara yang paling efektif memulai konfrontasiadalah menyatakan akibat yang nyata dari konflik tersebut.

Kemampuan untuk mendengarkan pandangan orang lain (auditee). Setelah konfrontasi dibuka, Auditor harus mampu mendengar pendapat atau pandangan auditee. Pertanyaan-pertanyaan yang menggugah timbulnya argumentasi-argumentasi harus dihindarkan. Auditor harus berusaha untuk tidak mempertahankan diri, menuntut atau bahkan mengecam.

Kemampuan menggunakan proses pemecahan persoalan untuk mencapai konsesus. Ini berarti Auditor harus mampu :
Menjelaskan persoalan, menelorkan dan menilai sejumlah cara-cara pemecahan.
Menentukan bersama (tidak dengan voting) pemecahan paling baik; harus memilih pemecahan yang paling diterima oleh auditee dan auditor.
Merencanakan implementasi pemecahan masalah.
Menilai hasil pemecahan setelah dilaksanakan untuk beberapa waktu; tahap ini sangat penting karena kemungkinan besar pemecahan yang pertama adalah tidak sempurna.

Dengan demikian strategi negosiasi dalam kegiatan internal audit, paling tepat untuk mengatasi konflik. Hal ini menuntut keterampilan sangat tinggi.Hanya dengan ini kita dapat memanfaatkan konflik untuk sesuatu yang sifatnya konstruktif.


c. Peran “interviewer”

Komunikasi yang akan dilakukan oleh Auditor, sering kali dalam bentuk wawancara. Tujuannya adalah mencari fakta dan bukan opini. Karena itu internal auditor harus faham mengenai ;
• Konteks dari wawancara yang dilakukan
• Isi dari bahan yang ingin dicarinya
Pola interogasi harus dihindarkan. Hal ini mungkin terjadi jika keterampilan wawancara kurang dikuasai dan pewawancara kurang mampu menggali persoalan dengan memotivasi auditee.
Wawancara sebaiknya dimulai dengan menentukan posisi kepercayaan (trust), baru kemudian diikuti dengan penetapan berbagai aspek yang diperlukan dalam wawancara (positioning) dan dilanjutkan dengan mengembangkan wawancara sendiri.

d. Peran “Negosiator” dan “Komunikator”

Kedua peran ini juga dijumpai pada saat melakukan auditing. Mungkin peran komunikator akan lebih menonjol dibanding dengan negosiator.
Dalam peran negosiator, seseorang dituntut untuk terus menerus mampu menjual “posisi auditor”, program sang auditor ataupun ide-ide -nya. Karena itu kriteria dan materi yang harus disampaikan haruslah masuk akal.
Sebaiknya jangan memandang remeh orang lain, karena keberhasilan seorang negosiator adalah jika ia berhasil menciptakan kondisi dimana semua fihak dapat terpenuhi keinginannya.

Tetaplah berpegang pada sasaran dan sebaiknya diusahakan hubungan tidak tegang. Lebih baik diciptakan situasi agak longgar, tetapi nantinya tidak menyesal.
Usahakan mendapat hasil yang positif dalam setiap proses, walaupun mungkin belum tentu dapat mencapai apa yang diharapkan.

Dalam peran komunikator, posisi auditor agak berbeda. Ingatlah bahwa sebagian besar konflik dan ketidak setujuan itu datangnya karena saling kurang fahamnya fihak-fihak yang berkepentingan. Komunikasi bukan barang baru bagi kita. Tetapi mendapatkan yang efektif bukanlah hal yang mudah.

Selama kumunikasi berlangsung fahamilah lawan bicara. Tetapkan strategi atas reaksinya. Jangan cepat-cepat sampai pada kesimpulan. Berpikirlah positif dan sikap yang terkendali merupakan sarana pentingyang harus kita jaga. Kuasailah bahan yang dibicarakan dan berdasarkan pada fakta atas informasi nyata.


Berbagai peran tersebut perlu difahami karena bisa jadi dalam berhadapan dengan berbagai anggota manajemen, diperlukan langkah-langkah khusus. Perlu dicatat bahwa keberhasilan dari hubungan antar manusia ini juga ditentukan oleh peran kepribadian sang auditor sendiri.
Sifat keterbukaan, tepat waktu, tidak menjatuhkan orang dimuka umum, bertanya secara bijak dengan wawasan yang luas dan lain-lainnya juga sangan menentukan pengembangan hubungan yang ada.

Perlu dicatat juga pada akhirnya, walaupun auditor sudah berbuat sebaik mungkin dengan melaksanakan hal-hal yang disarankan atau auditor memang sudah memiliki sendiri hal-hal tersebut, namun perlu juga diingat :


• Auditor perlu mendengarkan orang lain, karena wawancara adalah seni mendengarkan orang lain. Jika itu dilakukan, jelas tidak mungkin dapat tahu apa kata akhir yang telah diucapkan oleh lawan bicara.
• Telitilah kembali hal-hal yang sudah diperoleh dan konfirmasikan oleh lawan bicara kita.


PENUTUP

Komunikasi yang efektif antara auditor dan auditee merupakan suatu hal yang harus dibina oleh auditor dan dipahami oleh auditee. Kontribusi kedua pihak untuk menjadikan pekerjaannya bermanfaat bagi organisasi adalah merupakan titik awal bermulanya sukses bagi semua pihak. Segala kendala yang terjadi bisa ditekan sedemikian rupa bila pemahaman bersama telah terbentuk. Ini memang perjalanan yang perlu ditempuh para anggota organisasi dalam mencapai kedewasaan.


(Tjukria P. Tawaf, Managing Director & Partner Prima Consuling)