Sunday, November 4, 2007

Kartu Chip, Pengamanan yang Berlebihan?

Pembobolan kartu kredit di Indonesia memang tergolong tinggi dan wajib segera dicari cara yang tepat untuk mengatasinya. Di sisi lain, kecurangan (fraud) pada jenis kartu lainnya, seperti kartu debet dan kartu ATM, sangat kecil. Namun, bank sentral memperlakukan aturan yang sama terhadap semua jenis kartu pembayaran, yakni kewajiban pemasangan chip.

Jika langkah Bank Indonesia (BI) itu dilihat sebagai antisipasi potensi kecurangan di masa depan yang tidak bisa diprediksi, tentu tak ada yang salah, bahkan bisa dibilang brilian. Namun, akan menjadi masalah serius jika dikaitkan dengan kesiapan bank untuk mengimplementasi aturan tersebut, terutama dari segi ongkos yang harus dikeluarkan. Apalagi, marjin keuntungan bank baru saja anjlok tahun lalu dan diperkirakan akan terulang lagi tahun ini.

Untuk mengimplementasi aturan kartu ber-chip, bank harus merogoh kocek ratusan miliar rupiah hanya dalam waktu dua tahun. Maklum, selain harus memasang chip yang harganya sekitar dua dollar AS per buah pada jutaan kartu, bank juga harus mengganti puluhan ribu anjungan tunai mandiri (ATM) dan ratusan ribu EDC (electronic data capture) yang dipasang di merchant-merchant. Belum lagi ongkos modifikasi informasi teknologi di ”back end”.

Menurut hitungan kasar, total biaya yang harus dikeluarkan seluruh bank untuk mengganti semua kartu dan mesin yang ada saat ini mencapai Rp 4 triliun.

Karena itulah, bank meradang. Awalnya, hanya bisik-bisik keluh kesah satu dua bankir, lama kelamaan menggumpal menjadi kesepakatan bersama untuk mengajukan keberatan ke BI.

Ketua Umum Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Sigit Pramono mengungkapkan, saat ini tim Himbara sedang mendiskusikan masukan-masukan yang akan disampaikan kepada BI, khususnya mengenai besarnya investasi. Muaranya, kemungkinan Himbara akan mengusulkan penundaan jadwal dan tahapan implementasinya.

Menurut Sigit, pada dasarnya Himbara mendukung kebijakan BI tersebut. Apalagi, kalangan perbankan juga sangat berkepentingan karena tujuan utamanya untuk meningkatkan keamanan (security) dalam bertransaksi dan mencegah kecurangan.

”Persoalannya adalah masalah investasi yang besar dan waktu pelaksanaannya. Dua hal inilah yang akan kami sampaikan sebagai masukan kepada BI,” kata Sigit, pekan lalu di Jakarta.

Sejumlah bankir mengusulkan agar penggunaan chip diterapkan saat kartu pembayaran mulai dimanfaatkan secara optimal. Artinya, kartu pembayaran tidak hanya digunakan untuk transaksi perbankan atau pembayaran di merchant, tapi juga meluas untuk, misalnya, pembayaran tol atau parkir.

Artinya, lebih baik BI dan pemerintah memasyarakatkan terlebih dahulu pemakaian kartu pada segala bidang. Dengan demikian, pemasangan chip tidak lagi ”mubazir” karena pemakaiannya optimal dan sesuai dengan potensi fraud yang akan muncul.

Demi keamanan

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No 7/60 yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia No 7/52/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, BI mewajibkan penggunaan teknologi chip pada kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit yang diterbitkan mulai tanggal 1 September 2006, baik untuk pemegang kartu baru ataupun untuk penggantian kartu lama (renewal). Adapun penggantian kartu lama wajib dilakukan paling lambat 31 Desember 2008.

BI berharap dengan penggunaan chip keamanan kartu akan semakin terjaga mengingat jenis teknologi yang dipasang pada kartu ini memuat sejumlah aplikasi dan pengamanan. Meskipun tingkat kecurangan terutama pada kartu debet dan ATM masih sedikit, BI mengkhawatirkan adanya migrasi kejahatan kartu dari negara lain ke Indonesia.

Tingkat pengamanan kartu pembayaran yang beredar kini memang sangat lemah. Teknologi magnetic stripe (seperti kebanyakan pada kartu-kartu selama ini) terbukti mudah dipalsukan dan datanya mudah dicuri pihak lain. Adapun teknologi chip memiliki tingkat pengamanan yang berlapis. Salah satu pengamannya berbasis kriptogram. Singkatnya, untuk saat ini mustahil kartu berbasis chip dipalsukan.

Salah satu inspirasi aturan ini adalah keberhasilan bank sentral Malaysia menurunkan secara drastis kecurangan (fraud) pada kartu dengan menggunakan teknologi chip. Sebelum aturan chip diberlakukan di Malaysia, tingkat kecurangan sangat tinggi, tidak hanya terhadap kartu kredit, tetapi juga kartu debet dan ATM.

Selain memberikan dampak berat bagi perbankan, sejumlah ketentuan dalam PBI dan surat edaran yang terkait kartu pembayaran juga dinilai agak rancu. Contoh, BI hanya berbicara tentang kewajiban pemasangan chip pada kartu, sementara standar kartunya tidak dijelaskan. Artinya, kartu yang diterbitkan bisa saja tidak mengikuti standar internasional sepanjang mengandung chip. Padahal, akan lebih baik jika kartu yang diterbitkan mengikuti standar Europe Mastercard Visa (EMV) yang merupakan standar internasional. Dengan demikian, kartu dari Indonesia bisa digunakan di negara-negara lain.

BI juga tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kewajiban memasang ”card reader” baru pada terminal ATM dan EDC agar sinkron dengan kartu ber-chip. Kartu chip tentu tak akan terpakai jika tak ada terminal yang bisa mengaksesnya. Kondisi ini tentu akan membingungkan kalangan perbankan.

Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Dyah NK Makhijani belum bersedia menanggapi keluhan perbankan tersebut.

Vice President Application dan Engineering Artajasa Zul Irvan menjelaskan, terkait dengan standar teknologi kartu, Artajasa berencana membuat standar kartu EMV di Indonesia. Dengan standar tersebut, setiap kartu pembayaran yang diterbitkan oleh siapa pun dapat digunakan di ATM atau EDC milik siapa pun.

Standardisasi ATM

Bank sentral sepertinya juga memimpikan adanya standardisasi penggunaan kartu pembayaran di Indonesia. Langkah awal yang dilakukan BI beberapa waktu lalu adalah mengimbau perbankan melakukan interkoneksi ATM. Tujuannya agar kartu ATM yang diterbitkan siapa pun dapat dilayani oleh seluruh ATM yang ada di Indonesia. Selain memudahkan nasabah, langkah tersebut juga sangat efisien dalam pengembangan jaringan ATM.

Saat ini ada empat kelompok besar ATM, yaitu BCA, ATM Bersama, Alto, dan ATM Link. ATM BCA merupakan ATM milik Bank Central Asia (BCA) yang berjumlah sekitar 4.019 unit. ATM Bersama merupakan ATM yang bisa dipakai bersama-sama oleh 54 bank dengan jumlah mencapai 6.500 unit dan dioperasikan oleh Artajasa. Adapun ATM Link merupakan ATM yang dipakai bersama-sama oleh bank-bank pelat merah, yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Keseluruhan jumlah ATM di Indonesia mencapai 13.688 unit.

Kelompok ATM tersebut kini belum saling berinterkoneksi secara menyeluruh. Artinya, jika tak ada kerja sama, kartu ATM BCA tidak bisa digunakan di ATM Bersama dan sebaliknya. Interkoneksi tidak terjadi karena masing-masing kelompok tersebut memiliki standar kode yang tidak persis sama.

Menurut Zul Irvan, sebenarnya interkoneksi ATM di Indonesia tidak terlalu rumit karena semua ATM umumnya telah menggunakan International Standards Organization (ISO) yang seragam, yakni ISO 8583.

Yang mungkin jadi penghambat interkoneksi adalah tidak semua bank menginginkan hal tersebut. Bank yang memiliki ATM banyak di tempat-tempat strategis khawatir nasabahnya menjadi tidak nyaman karena nasabah bank lain ikut antre di ATM bersangkutan.

Akan tetapi, bank bersangkutan juga akan mendapatkan komisi (fee) lebih banyak. Sebab, pemakaian oleh nasabah bank lain akan dikenai biaya.

Geliat ATM

Saat ini ATM telah menjadi kebutuhan vital masyarakat dalam bertransaksi. Menurut data Marketing Research Indonesia (MRI), volume perputaran dana melalui transaksi ATM selama setahun mencapai Rp 541,83 triliun. Frekuensi masyarakat menggunakan ATM rata-rata lima kali dalam sebulan per nasabah. Total jumlah transaksi menggunakan ATM mencapai 95 juta transaksi per bulan (intra dan antarbank),

Perilaku masyarakat yang aktif menggunakan ATM ini dipicu kenyataan bahwa ATM merupakan medium transaksi yang mudah, cepat, dan bisa dilakukan kapan saja. Juga sudah jadi bagian integral dari masyarakat.

Ide penciptaan ATM digagas Don Wetzel sekitar 37 tahun lalu. Adapun sejarah ATM di Indonesia dimulai tahun 1987. Saat hadir pertama kali, ATM begitu menyilaukan kalangan perbankan. Semua bank besar akhirnya berlomba-lomba berinvestasi menyediakan ATM sebagai bentuk layanan nasabahnya meskipun investasinya tidak kecil.

Ongkos yang dikeluarkan bank untuk investasi ATM memang besar, tidak hanya mesin, tetapi ada perawatan. Harga satu unit terminal ATM mencapai 13.000-20.000 dollar AS. Biaya perawatan mencapai 125-150 dollar AS per bulan. Ini masih ditambah sewa lokasi, pengisian uang, dan pengoperasian ATM.

Bank juga dituntut memelihara aspek lainnya yang terkait ATM, seperti komputer, jaringan komunikasi, dan manajemen kartu, yang tentu saja akan menguras energi dan pengeluaran bank.


Sumber: kompas.com

Artikel : Koding



Kartu Chip, Pengamanan yang Berlebihan?
Dikirim oleh admin
Jumat, 26-Mei-2006, 13:24:06 (1775 klik)

No comments: