Sunday, April 3, 2011

File Kliping Media

Konspirasi Pembobolan Bank
Wednesday, December 24, 2008 3:11 AM
Dradjad Wibowo, Dosen tetap STIE Perbanas


BEBERAPA hari lalu, saya bertemu seorang tokoh politik nasional yang gigih memperjuangkan apa yang diyakininya benar. Kami berbincang tentang bobolnya Bank BNI senilai Rp1,2 triliun karena akal-akalan kredit dengan jaminan letter of credit (L/C).

Tokoh ini menginformasikan kasus BNI akan di-blow up dengan target penggusuran direktur utama dan sebagian anggota direksi serta komisaris
BNI. Semua rencana operasi sudah disiapkan matang. Mulai penciptaan opini publik mengenai kegagalan pengurus lama dan bahaya pembobolan bank hingga ke langkah-langkah prosedural.

Termasuk di dalamnya permintaan kepada Bank Indonesia (BI) untuk melakukan fit and proper test ulang serta rencana rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).

Semestinya, target tersebut dilaksanakan dalam RUPS BNI beberapa bulan lalu. Namun, manuver ini gagal karena tidak memperoleh dukungan memadai.
Karena itu, BNI yang berlogo perahu layar itu dipaksa memiliki nakhoda ganda.

Jika informasi tersebut benar, saya hanya bisa mengelus dada. Semestinya, kasus BNI ini memicu seluruh pelaku, pengawas, dan pemilik bank untuk memperkukuh sistem kontrol dan pengawasan di tingkat mikro. Namun, karena hebatnya konflik kepentingan dan nafsu politik, momentum ini dikorbankan.

Yang muncul hanya rencana penggantian pemain, tanpa upaya perbaikan sistem. Jadi, jangan heran kalau kasus serupa akan muncul pula di bank lain di masa mendatang.

Secara teknis perbankan, kasus BNI jelas sebuah penyelewengan (fraud). Ceritanya, seperti diungkap sebuah majalah terbitan Ibu Kota, dua grup perusahaan (Gramarindo dan Petindo) mengajukan kredit ekspor dengan jaminan L/C dari empat bank di Kongo dan Kenya. Keempat bank itu adalah The Wall Street Banking Corp, Dubai Bank, Middle East Bank, dan Rosbank Switzerland.

Untuk Gramarindo, nilai kredit ekspor yang disalurkan adalah Rp1,643 triliun, sedangkan Petindo Rp105 miliar. Belakangan, Gramarindo sudah mengembalikan Rp542 miliar. Sehingga, kredit yang belum kembali sekitar Rp1,2 triliun. Kredit tersebut disalurkan selama Desember 2002 hingga Juli 2003 dan diakui untuk membiayai ekspor pasir kuarsa dan minyak residu.

Menurut majalah itu, penyelidikan internal BNI menunjukkan ekspor tersebut ternyata fiktif dan L/C-nya tidak terjamin. Sedangkan dana kreditnya justru disalurkan untuk proyek lain, termasuk pembelian kembali Lido Lake Resort dari BPPN. Akibatnya, walaupun L/C tersebut belum jatuh tempo, BNI mengalami potensi kerugian beberapa ratus miliar.

Padahal, per 30 Juni 2003 BNI hanya membukukan laba setelah pajak Rp1,56 triliun. Itu pun setelah memperoleh suntikan bunga obligasi dari APBN sebesar Rp2,84 triliun. Artinya, tanpa subsidi pemerintah melalui bunga obligasi, BNI sebenarnya rugi Rp1,28 triliun. Jika subsidi itu dipakai untuk membayar biaya sekolah anak tidak mampu, berapa banyak anak yang bisa ditolong?

Karena itu, tindakan Gramarindo, Petindo, dan pegawai BNI cabang Kebayoran Baru bukan hanya pidana, melainkan sangat tidak bermoral. Apalagi, unsur kesengajaan tampak kental dalam kasus ini.

Alasannya, pertama, prosedur penggunaan L/C sebagai jaminan kredit ekspor sebenarnya sangat rumit. Banyak sekali dokumen yang harus dicek dan dicek ulang. Persetujuannya pun tidak bisa dilakukan seorang saja. Ada verifikasi dari berbagai pihak sehingga tidak mungkin L/C tersebut lolos hanya karena kesalahan biasa.

[Media Indonesia]
http://solusihukum.com/berita.php?id=245
Kapolri Yakin Maria Pauline Lumowa Bukan Otak Pembobolan BNI
Wednesday, December 24, 2008 2:38 AM
[26/2/04]
Upaya mendatangkan Maria Pauline Lumowa ke Indonesia lewat interpol hingga kini belum berhasil. Meski belum pernah diperiksa, anehnya, polisi yakin Maria bukan otak di balik pembobolan BNI.

Di hadapan anggota Komisi II DPR, Rabu (25/02) Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar menyatakan bahwa dari penyidikan yang selama ini dilakukan terungkap bahwa otak (intelectual dader) pembobolan BNI adalah orang dalam sendiri, bukan Maria Pauline yang kini masih buron. “Yang mendesain adalah orang dalam sendiri,” ujarnya.

Menurut Kapolri, terjadinya pembobolan tersebut dilakukan oleh orang dalam bank BNI yang mengajak melakukan tindakan untuk mengatasi kemacetan yang terjadi. Sementara, Maria Pauline hanya bertugas mengambil alih permasalahan sebelumnya terungkap.

Kapolri menyatakan bahwa tanggung jawab Maria atas pembobolan yang merugikan negara Rp1,7 triliun itu hanya sekitar Rp40 miliar. Kapolri juga membenarkan keluhan Maria yang disampaikan lewat wawancara dengan sejumlah media di Singapura beberapa waktu lalu.

Bagaimanapun juga, penjelasan Kapolri ini akan menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, selama ini jajaran kepolisian begitu antusias menyelesaikan kasus pembobolan BNI. Belasan tersangka sudah ditahan, bahkan sudah ada kasusnya yang akan disidangkan. Namun untuk menangkap Maria yang diduga bersembunyi di Singapura, hasilnya nihil. Lantas, mengapa sekarang polisi yakin bahwa pengusaha berkewarganegaraan Belanda itu bukan otak pembobolan BNI, padahal ia belum diperiksa?

Menjawab pertanyaan anggota Dewan, secara diplomatis Kapolri membantah kalau pernyataannya dimaksudkan untuk melindungi Maria. “Saya bukan melindungi yang bersangkutan karena dia juga tersangka. Harus kita tindak,” tegas Kapolri.

Pada kesempatan yang sama Kapolri menegaskan bahwa kerugian negara dalam kasus ini hanya sekitar Rp1,2 triliun, karena sebagian sudah bisa dikembalikan. Saat ini, polisi masih menghitung nilai aset yang disita di Manado.

Patut ditambahkan bahwa dalam wawancaranya dengan majalah Tempo, edisi 21 Desember 2003, Maria Pauline pun menyatakan bahwa “semua diatur BNI sendiri”. Menurut cerita Maria, ia hanya butuh kredit Rp40 miliar untuk proyek marmernya di Kupang.

Dalam kaitan itu, Maria juga menceritakan bahwa keterlibatan dalam kasus BNI berawal ketika ia diperkenalkan dengan Edy Santoso, Manajer Nasabah Internasional BNI Kebayoran Baru oleh Aprilla Widharta (tersangka). Dalam perjalanannya terungkap bahwa Edy kesulitan menagih beberapa L/C yang sudah jatuh tempo, termasuk dari John Hamenda dan Rudy Sutopo.

Saat itu, masih cerita Maria, Edy Santoso menyarankan suatu skema pendanaan untuk membereskan L/C yang macet itu. Bisa jadi, inilah yang dimaksud Kapolri mengambil alih permasalahan sebelumnya.

Surat ICW

Terkait dengan perhitungan aset-aset yang disita dalam kasus BNI, pekan lalu (17/02) Indonesia Corruption Watch (ICW) melayangkan surat ke Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komjen Pol Erwin Mappaseng.

Dalam suratnya, ICW menyarankan kepada kepolisian dan manajemen BNI untuk menolak skema pembayaran melalui asset settlement. Sebab, pembayaran tunai adalah cara terbaik untuk melunasi L/C fiktif. L/C dimaksud adalah L/C fiktif yang diduga dilakukan oleh Maria Pauline. Dalam kaitan ini, polisi sudah menyita aset PT Sagared Team, perusahaan penambangan marmer milik Maria di Kupang.

Dalam surat yang salinannya diperoleh hukumonline, ICW menginformasikan bahwa PT Sagared Team memiliki banyak masalah, khususnya menyangkut beban utang kepada PT Citra Kanton Dwidayalestari sebesar Rp856 juta. Berdasarkan penelusuran ICW, hingga kini utang tersebut belum diselesaikan.

(Mys)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9761&cl=Berita

Polisi Akan Geledah BNI

Wednesday, December 24, 2008 2:23 AM
JAKARTA -- Tim penyidik Markas Besar Kepolisian RI akan menggeledah kantor pusat PT Bank Negara Indonesia Tbk. hari ini, terkait dengan penyidikan kasus letter of credit (L/C) fiktif BNI yang merugikan negara sebesar Rp 1,7 triliun.

"Direksi sudah datang ke Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri akhir pekan lalu. Mereka diminta membawa berbagai dokumen terkait dengan L/C itu, tapi mereka tidak membawanya. Ya, sudah, berarti besok (hari ini) akan digeledah. Itu lanjutan penyidikan yang kemarin," ujar juru bicara Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, kepada Tempo.

Sumber di kepolisian menjelaskan, penyidik akan mencari bukti-bukti baru berupa dokumen yang terkait dengan syarat teknis penerbitan L/C. Baik yang berupa hard copy maupun soft copy. Semua dokumen dan bukti tersebut akan diminta dari kantor pusat BNI serta kantor cabang BNI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Siapa pun yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban," Anton menegaskan.

Seorang perwira di Mabes Polri yang tidak mau disebut namanya menduga semua mekanisme penerbitan L/C dilakukan secara online. Menurut dia, tim penyidik sudah mempersiapkan konsultan teknologi informatika untuk mencegah kemungkinan hambatan dari pihak internal BNI.

Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengaku, dokumen dan keterangan dari pihak BNI yang berkaitan dengan kasus terbitnya L/C fiktif telah disampaikan kepada pihak kepolisian. "Sudah puluhan orang BNI diperiksa, sudah ratusan kali pemeriksaan dilakukan, sudah ribuan jam kerja kami diperiksa," tulis Sigit dalam pesan pendeknya kepada Tempo.

"BNI-lah yang melaporkan kasus ini ke pihak aparat. Jadi saya heran mengapa ada pihak yang meragukan komitmen kami untuk menangani kasus L/C ini," kata Sigit. Menurut dia, kalau memang ada pemeriksaan oleh tim penyidik baru, seharusnya mereka meminta data dari tim penyidik lama. "Prioritas sekarang adalah mengeksekusi putusan pengadilan sehingga recovery aset segera diperoleh. Setelah itu, kejar aset pelaku kejahatan di luar negeri," ujar Sigit.

Terkait dengan upaya penelusuran ini, penasihat hukum BNI, Pradjoto, menyarankan agar pihak manajemen bersikap kooperatif terhadap polisi. "BNI harus terbuka, agar terlihat siapa saja yang terlibat dalam rangkaian yang membobolkan BNI," kata Pradjoto kepada Tempo. Dia mengaku belum mendengar rencana kepolisian mencari bukti ke kantor pusat BNI. Pradjoto meminta polisi mengusut tuntas kasus ini tanpa pilih kasih.

Sumber Tempo di kepolisian mengatakan, selama ini, polisi baru menyidik aliran dana yang diduga dibobol dari BNI pada 2003. Upaya pencarian bukti baru, menurut sumber tadi, membuat polisi akan masuk ke wilayah mekanisme penerbitan L/C. "Yang ujung-ujungnya diketahui L/C itu fiktif," kata perwira polisi ini.

Beberapa perwira kepolisian yang diduga menerima dana dari pembobol BNI saat ini ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri. Mereka adalah Komisaris Jenderal Suyitno Landung, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santoso.

Dua pejabat BNI, Direktur Kepatuhan Mohamad Arsjad dan stafnya, Tri Kuntoro, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Keduanya diduga lalai melaporkan kasus pembobolan BNI ke Bank Indonesia. Tersangka lain dalam kasus ini adalah Ishak (Direktur PT Citra Muda Raksa), Yoke Yola Sigar (Direktur PT Aditya Pratama Finance), dan Jeffri Baso. Mereka semua diduga menerima uang dari terpidana pembobol BNI, Adrian Herling Waworuntu. ERWIN DARIYANTO

Sumber: Koran Tempo - Senin, 20 Februari 2006
http://transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=536




Kreditor Tanda Tangani Jaminan Pribadi

Wednesday, December 24, 2008 2:19 AM
Selasa, 28 Oktober 2003


JAKARTA - Ada perkembangan terbaru dalam kasus pembobolan letter of credit (L/C) Bank BNI 46 cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun. Meski pihak direksi BNI belum juga memberikan keterangan resmi soal kasus ini, namun beberapa kreditor sudah menandatangani sejumlah akta perjanjian dengan pihak BNI.

Menurut corporate secretary BNI Lilies Handayani, beberapa akta perjanjian yang telah ditandatangani kreditor antara lain akta pengakuan utang dan akta jaminan pribadi. ''Kreditor sudah melakukan penandatangan akta pengakuan utang hari ini (kemarin). Mereka juga sudah menandatangani surat untuk menyerahkan jaminan pribadi,'' terang Lilies kepada koran ini, kemarin.

Dari 6 kreditor perusahaan yang terlibat dalam kasus pengucuran L/C tersebut, kata Lilies semuanya sudah menandatangani akta-akta tersebut. Hanya, Lilies enggan menyebutkan siapa perorangan yang melakukan tanda tangan tersebut. Sampai saat ini, pihak BNI juga telah berupaya melakukan penagihan atas tunggakan yang macet itu.

''Semua upaya sudah dilakukan, termasuk penagihan ke kreditor. Soal ada pelanggaran di tingkat cabang, direksi memutuskan untuk menyerahkan ke pihak yang berwajib,'' kata Lilies. Jika kreditor tetap tidak mampu melakukan pembayaran, maka harta pribadi mereka (kreditor) bisa disita karena sudah melakukan penandatangan perjanjian jaminan pribadi.

Seperti diketahui, ada 6 perusahaan yang terlibat dalam kasus pengucuran L/C ini. Yaitu PT Baso Masindo, PT Bina Rekatama Pasifik, PT Gramarindo Mega Indonesia, PT Manectic Usaha Esa Indonesia, PT Pan Kipros, PT Tri Ranu Caraka Pasifik. Ada 41 L/C yang diajukan ke BNI.

Pengucuran L/C itu dari bank di luar negeri (opening bank) diantaranya World Street Bank, Dubai Bank, Middle East Bank dan Roos Bank. Keempat bank itu membuka L/C. Tapi, karena BNI tidak punya koresponden langsung dengan keempat bank tersebut, maka harus melalui bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Charter Bank. Setelah itu baru ada proses pengajuan L/C. Setelah dilakukan pengecekan dan dianggap sesuai dengan prosedur standar BNI, maka dana L/C tersebut dikucurkan.

Lilies juga mengatakan hingga saat ini belum terdapat kerugian (actual loss) atas transaksi L/C tersebut. Meskipun begitu katanya akan terdapat potensial loss jika terjadi wanprestasi pada pihak-pihak yang terkait dengan transaksi tersebut. Akibat belum terindikasi ada kerugian itulah, pihak Bursa Efek Jakarta (BEJ) belum melakukan suspensi (menghentikan perdagangan sementara) saham BNI.

Suspensi terhadap saham BNI, masih menunggu laporan keuangan kuartal III tahun 2003 selesai. Menurut Direktur BEJ, Harry Wiguna, , untuk sementara ini belum ada alasan untuk mensuspen perdagangan saham BNI, karena BEJ sudah mendapat penjelasan dari BNI pada 30 September lalu. Menurut dia, pihak BNI mengakui bisa saja transaksi L/C sebesar Rp 1,7 triliun tidak tertagih. ''Tapi hal ini kan belum terealisir dan masih dalam potensi rugi,'' ujarnya.

Di sisi lain, pengamat ekonomi dari INDEF, Dradjat Wibowo, memperkirakan akibat (L/C) fiktif ini, Bank BNI akan mengalami kerugian sekitar Rp 500 miliar. Namun, kasus ini tidak akan membangkrutkan BNI. Menurut dia, sangat sulit bagi BNI untuk menekan kerugian di bawah Rp 500 miliar. Karena tujuan ekspor yang disebut dalam L/C itu juga fiktif.

Dradjat juga mengungkapkan bahwa BNI pada semester I 2003 mencatat keuntungan sebelum pajak Rp 1,66 triliun. Namun, jika dikurangi dari penerimaan bunga obligasi rekap yang sebesar Rp 2,8 triliun, maka sebenarnya BNI masih rugi sekitar Rp 1,28 triliun.

''Pengaruh dari kasus L/C fiktif ini, dipastikan akan menggerus keuntungan yang sudah diraih BNI saat ini. L/C fiktif itu akan mengurangi keuntungan BNI yang tadinya 1,56 triliun pada Juni 2003 menjadi sekitar Rp 1 triliun. Tapi BNI sendiri masih akan tetap untung. Jadi, kasus ini tidak akan membangkrutkan BNI,'' tukasnya.

Dradjat juga menilai, sebenarnya fungsi pengawasan internal di BNI sudah berjalan karena L/C fiktif ini ditemukan sendiri oleh pihak BNI, bukan pihak luar. Akan tetapi, yang harus diperbaiki menyangkut tengang waktu yang saat ini masih ada gap yang sangat lama antara eksekusi kredit, pelaporan dan pengawasannya.

Dia meminta, agar kasus BNI jangan dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan atau semacam penggantian direksi. Menurutnya, kasus ini harus bisa dijadikan momentum bagi BI, Men BUMN, BPPN dan Depkeu, untuk memperketat pengawasan perbankan, terutama dalam dua hal, yakni pengawasan mikro dan pengetatan disiplin pasar, terutama penerapan manajemen risiko operasional.

''Saya berharap agar pihak-pihak yang terkait dengan pembobolan BNI ini bisa dibawa ke pihak kepolisian, tidak hanya di kalangan pegawai BNI saja tapi juga dari kalangan nasabahnya. Apalagi, reputasi dari nasabah penerima L/C BNI ini juga dipertanyakan,''.

Sementara itu, Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Pol Zaenuri Lubis mengatakan sampai saat ini, polisi masih meneliti 41 L/C yang diajukan 6 kreditor ke BNI 46. Namun, sampai kini belum ada penambahan jumlah kerugian yang diderita BNI. Katanya, sampai saat ini total kerugian masih Rp 1,7 triliun. ''Belum.. belum ada penambahan. Begitu juga dengan tersangkanya. Kita baru menetapkan dua orang, yaitu orang dalam BNI,'' kata Zaenuri kepada koran ini tadi malam.

Perwira dengan tiga melati di pundaknya ini tidak bisa memastikan apakah akan ada tersangka lain di luar BNI. Menurutnya, untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, harus didukung bukti permulaan yang cukup. Ketika ditanya soal penandatanganan akta dan jaminan pribadi kreditor, Zaenuri mengaku belum tahu. Namun, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan unsur-unsur pidananya.

''Kalau sewaktu-waktu ditemukan adanya tindak pidana, orang yang bersangkutan tetap akan diperiksa. Prinsipnya, Polri tidak akan pilih kasih. Siapapun yang diduga terlibat harus dimintai pertanggungjawaban,'' tegas mantan Kadispen Polda Metro Jaya ini. Hingga kini, polisi juga belum berencana memanggil para kreditor untuk dimintai keterangan soal kasus yang menghebohkan dunia Perbankan ini. ''Soal pemanggilan itu kan menunggu waktu.

Mungkin penyidik merasa belum waktunya memanggil mereka. Yang pasti, jika ada data yang dibutuhkan, siapapun bisa dipanggil untuk dimintai keterangannya,'' paparnya.(yun/riz)

http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=27337

Recovery Kasus L/C BNI Nihil, Pradjoto: Polri Jangan Main-Main

Wednesday, December 24, 2008 2:03 AM
Jumat, 11 Juni 2004


Jakarta,- Bank BNI berharap aparat terkait untuk mengefektifkan proses hukum atas seluruh aset Gramindo Group hasil penyimpangan dana letter of credit (L/C) di Kantor Cabang Utama Bank BNI Kebayoran Baru.

''Kami telah meminta Mabes Polri untuk melakukan penyitaan terhadap seluruh aset Gramindo Group. Permintaan ini, telah kami sampaikan beberapa kali, yakni pada 14 April dan 25 Mei 2004. Tetapi, sampai saat ini pihak kepolisian hanya mengupayakan penyerahan aset secara sukarela,'' kata Dirut Bank BNI Sigit Pramono kemarin di Kantor Pusat Bank BNI, Jakarta.

Itulah yang membuat perkembangan kasus sendiri cenderung stagnan. Beberapa tersangka memang sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ''Tetapi, recovery sampai saat ini masih nihil,'' ujarnya.

Upaya recovery selama ini sudah dilakukan. Misalnya, melalui Mabes Polri dan Kejati DKI, menyita dana cash dari tersangka Edy Santoso, USD 238.000. Kemudian, pengajuan proposal penyerahan aset secara sukarela dari tersangka Rp 827 miliar (nilai versi tersangka), serta penyitaan aset PT Petindo Perkasa di Manado.

Menurut Sigit, upaya itu kurang optimal. Mengingat, pengambilan aset secara sukarela relatif sulit dilakukan dalam waktu dekat.

Hingga saat ini aset yang berhasil disita baru mencapai Rp 74,581 miliar. Sementara, penyimpangan L/C mencapai sekitar Rp 1,7 triliun, dengan potential loss Rp 1,2-1,3 triliun.

Sigit menegaskan, keberhasilan mendapatkan seluruh aset tersebut akan berperan besar dalam optimalisasi upaya pemulihan yang kini tengah gencar berlangsung di Bank BNI.

Hal lain yang menghambat recovery adalah ulah pelaku yang menyatakan keberatan-keberatan atas penyitaan aset. ''Malah, mereka gonta-ganti pengacara, dan tiap ganti pengacara -pernyataan-pernyataan mengenai asetnya selalu berbeda,'' katanya.

''Untuk itu, BNI mendesak agar dilakukan proses hukum terhadap aset-aset yang diduga berasal dari dana hasil kasus L/C KCU Kebayoran Baru ini,'' tambah Sigit.

Bank BNI sendiri, kini terus menata diri, antara lain dengan berupaya melakukan penyempurnaan operasi standar dan prosedur, serta mengevaluasi sistem manajemen risikonya.

''Selain itu, manajemen Bank BNI melakukan pengawasan melekat serta penyempurnaan organisasi, melalui pelaksanaan kontrol internal langsung oleh Divisi Kepatuhan,'' katanya.

''Dalam langkah-langkah pemulihan tersebut juga dilakukan penyempurnaan sistem teknologi, sistem reward dan punishment, serta rambu-rambu dalam transaksi trade finance,'' kata Sigit.

Tim manajemen baru yang terbentuk 15 Desember 2003silam, telah melakukan berbagai tindakan kuratif dan preventif yang secara keseluruhan tertuang dalam restrukturisasi, yakni peta navigasi. Diharapkan, pemulihan tersebut dalam dapat mengantarkan Bank BNI dalam bertransformasi untuk membangun landasan yang lebih kokoh.

Sasarannya, agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, termasuk di dalamnya menyukseskan program rebranding dan penyempurnaan identitas korporat, memperkokoh jaringan distribusi, menyempurnakan manajemen risiko, serta revitalisasi mesin-mesin penghasil keuntungan.

Sementara itu, konsultan hukum Pradjoto, yang ditunjuk Bank BNI untuk menangani masalah ini, mengatakan, Mabes Polri tampaknya tidak serius dalam penanganan penyitaan aset kasus ini.

''Kami meminta agar aset segera diserahkan, sebab dalam proses hukum kasus seperti ini yang diperlukan hanya dokumen dan catatan transaksi saja. Concern saya adalah aset negara itu harus dikembalikan,'' katanya.

Dia menyayangkan Mabes Polri hanya melakukan upaya penyitaan secara sukarela. ''Padahal seharusnya dilakukan secara sukapaksa,'' katanya.

Ia mengingatkan agar Polri tidak main-main dalam kasus ini. ''Jika tidak segera bertindak, Polri akan terkena akibatnya, seperti timbulnya pertanyaan masyarakat ada apa dengan Polri dalam pengusutan kasus ini,'' katanya. ''Tapi...,'' buru-buru ia menamb

http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=59459

Kasus L/C Bank BNI Terkait Politik?
Tuesday, December 23, 2008 10:10 AM
-- Kasus pembobolan Bank BNI lewat letter of credit (L/C) akhirnya merembet ke politik. Kendati masih sangat sumir dan bersifat dugaan sementara, kasus itu dikait-kaitkan dengan kepentingan politik, khususnya para calon presiden dari Partai Golkar yang sedang berjuang di konvensi nasional partai berlambang pohon beringin itu.

Walau baru dugaan dan sudah dibantah beberapa calon presiden seperti Wiranto dan Yusuf Kalla, toh kasus itu makin menarik diperbincangkan. Yang jelas ini bukan perkara kecil karena menyangkut dana Rp 1,7 triliun. Dan sejak awal kita menduga pasti ada apa-apanya. Paling tidak pembobolan rekening yang meliputi dana sebesar itu selain perlu dilakukan secara cermat juga melibatkan banyak pihak, termasuk kalangan internal bank BUMN tersebut.



-- Tugas aparat kepolisian dan penegak hukum mengusut lebih lanjut. Kita sependapat proses hukumlah yang seharusnya lebih diutamakan. Namun bila kemudian ada dugaan ke arah lain, misalnya kepentingan partai politik atau calon presiden, hal itu justru makin mendorong untuk mempercepat pengusutan. Wajar bila kasus itu cepat mencuat ke permukaan melalui pemberitaan di media massa. Orang mungkin cepat percaya karena kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi, walau modus operandi-nya bisa berbeda-beda. Kalaupun benar ada kaitan dengan politik, itu pun bukan sekali-dua kali terjadi. Belum lepas dari ingatan dan bahkan proses hukumnya juga belum selesai adalah kasus penyelewengan dana Bulog yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar yang juga Ketua DPR, Akbar Tanjung. Bukankah itu juga sarat politik?


-- Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia dilakukan oleh penguasa dan pengusaha. Di negara kita sedemikian erat hubungan antara politikus, pengusaha, dan pejabat pemerintah. Bahkan terkadang sulit membedakan. Maka setiap kali terjadi pergolakan politik, dampaknya dengan cepat merembet ke dunia usaha. Banyak pengusaha yang menjadi politikus dan kemudian menjadi menteri. Atau sebaliknya, banyak pejabat pemerintah dan anggota DPR yang juga berbisnis. Ketika aktor politik, pengusaha, dan pejabat nyaris sulit dibedakan, berbagai kejadian seperti selama ini memang menjadi kerawanan yang bisa muncul setiap saat. Dana politik digalang dengan berbagai cara, termasuk melakukan KKN atau membobol BUMN. Itulah yang menimbulkan patologi bisnis pada masa lalu.

-- Pada masa lalu? Apakah sekarang sudah tidak ada? Rasanya masih ada. Bagaimana mungkin mengubah struktur dan kultur yang berlangsung bertahun-tahun dalam waktu singkat? Bagaimana mungkin sebuah kekuatan kolutif yang penuh kepentingan dengan mudah dipatahkan? Maka selama kita belum banyak belajar dari pengalaman masa lampau dan mengubah sistem atau perilaku, jangan berharap kondisi berubah pula. Jangan heran bila kejadian demi kejadian yang hampir sama terus bermunculan. Kalau pada waktu dulu ada skandal BLBI ratusan triliun rupiah dan sampai sekarang belum tuntas, kini ada modus lain lewat pembobolan rekening bank BUMN. Atau bisa saja kelak dengan cara lain yang hakikatnya merupakan penyimpangan kekuasaan.


-- Tidakkah kita belajar dari pengalaman dan kesalahan sebelumnya? Betapa bodoh kita, sementara kondisi makin parah dan tertinggal dari negara lain. Sekadar mengingatkan, akar dari krisis bangsa dan keterpurukan ekonomi adalah kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dan semua itu berkait dengan praktik politik pada masa lalu. Kehidupan politik yang belum sehat antara lain ditunjukkan oleh ketiadaan transparansi dalam penggalangan dana, memungkinan segala cara ditempuh, termasuk melakukan KKN. Atau cara lain, yakni menggerogoti dana APBN atau APBD dengan berbagai dalih dan cara. Termasuk, bersengkokol dengan pebisnis yang sama-sama memiliki kepentingan politik.


-- Kita tak bermaksud memastikan bahwa kasus L/C Bank BNI memang sarat KKN dan berkait dengan pendanaan politik partai atau salah seorang calon presiden. Karena itu harus diselidiki dan dibuktikan di pengadilan. Kita hanya ingin menunjukkan potret yang sebenarnya. Beginilah persoalan yang masih dihadapi dan nyaris membelenggu. Beginilah praktik kolusi yang masih potensial terjadi karena sistem, struktur, dan kultur belum berubah. Termasuk, kultur kekuasaan yang dimanifestasikan lewat keberadaan partai politik-partai politik, terutama partai politik besar. Tidak ada pilhan lain, kecuali segera menuntaskan kasus tersebut dan menghukum orang-orang yang bersalah. Bila terbukti ada kaitan politik pasti kelak juga ada sanksi politik dari masyarakat.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0311/13/tjk2.htm
Aset Sengketa BNI Dijual Secara Ilegal
Tuesday, December 23, 2008 10:05 AM
SUARA PEMBARUAN DAILY

JAKARTA - Komisi XI DPR menemukan laporan aset sengketa Bank BNI dalam kasus Letter of Credit (L/C) fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun, telah dijual secara ilegal. Aset yang disebut-sebut adalah Stasiun TV Manado, merupakan sitaan Kejaksaan dan menjadi milik negara. Pihak BNI mengaku tidak tahu-menahu tentang penjualan aset tersebut.

''Aset-aset tersebut sedang disita oleh Kejaksaan, tapi ada juga yang
diperjualbelikan. Apakah dijual oleh oknum atau siapa, kami belum tahu.
Laporannya adalah TV Manado,'' kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Ali Masykur Musa, yang juga Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk kasus L/C fiktif BNI di Jakarta, Rabu (7/9).

Ali menjelaskan, Panja akan meminta aset-aset dari para terdakwa harus
diamankan, untuk mencegah agar tidak diperjualbelikan.

Ketika dikonfirmasi, Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengaku, kasus tersebut baru diketahuinya dari laporan Komisi XI. Pihaknya tidak tahu-menahu tentang identitas penjual dan pembelinya.

Namun diakui, aset tersebut seharusnya memang tidak boleh diperjualbelikan. Selain dalam status sengketa dan sitaan Kejaksaan, nilai aset tersebut masih tidak diketahui pasti.

Disinggung mengenai pengembalian aset-aset tersebut, Ali Masykur Musa Ali
mengaku ada sejumlah kendala. Hal itu disebabkan adanya persoalan hukum yang masih harus diselesaikan. Berdasarkan perkiraan Panja, nilai aset-aset kasus L/C BNI semestinya sudah bisa dihitung.

Dia menjelaskan, ada perbedaan mencolok mengenai berapa nilai aset yang
sebenarnya. BNI menaksir aset-aset yang tersisa nilainya hanya Rp 33 miliar, namun berdasarkan pengakuan tersangka, nilai aset mencapai Rp 1,5 triliun. (U-5)

Last modified: 8/9/05

http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Aset-Sengketa-BNI-Dijual-Secara-Ilegal

Kasus LC BNI Dilaporkan ke KPK

Tuesday, December 23, 2008 9:44 AM
Senin, 26 Juli 2004


JAKARTA ,- Jengkel karena proses recovery kasus L/C (letter of credit) bodong terus terhambat, Bank BNI membeberkan kasus itu ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
’’Sampai kini, belum sesen pun kami berhasil menarik kembali dana dalam proses recovery ini,’’ ujar Dirut Bank BNI Sigit Pramono, kemarin di sela-sela pencanangan logo baru di kantor pusat Jalan Sudirman, Jakarta Pusat kemarin.

Menurut Sigit, KPK akan bertindak sesegera mungkin. Langkah pertama, yang kemungkinan dilakukan pekan ini, adalah melayangkan surat kepada Mabes Polri dan Kejagung sebagai peringatan kepada dua instansi tersebut agar segera menyelesaikan kasus yang membuat potential loss Rp 1,3 triliun ini.

’’Kami sendiri membuat laporan itu ke KPK sepekan lalu,’’ kata Sigit.

’’Untuk menyelesaikan kasus ini, dibutuhkan kerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Tanpa ini tidak akan ada recovery. Karena itu, KPK akan memberikan surat peringatan pekan depan agar masalah hukum kasus ini segera diselesaikan,’’ kata Sigit.

Penyelesaian LC bodong ini sudah memakan waktu cukup lama. Kasus ini tercium auditor internal BNI pada Agustus 2003. Mabes Polri sudah melakukan penahanan oknum pegawai BNI, Edy Santosa yang dalam proses hukumnya bahkan dituntut hukuman seumur hidup.

Tetapi, beberapa pelaku utama kini masih berkeliaran. Misalnya, Maria Woworuntu dari Gramarindo Group yang kabarnya tinggal di Singapura.

Sigit menjelaskan, masalah hukum kasus ini mengalami hambatan. ’’Ibarat kehilangan mobil, kami ini kan tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali berharap agar polisi mengejarnya,’’ tambah Sigit.

’’Kasus ini mengalami hambatan di bidang hukum, tentu susah bagi kami karena ini di luar kewenangan dan kontrol BNI. Jadi, bagaimana penyelesaiannya, semuanya tergantung dari proses hukum. Kalau kasus ini selesai, tentu ada harapan sehingga kita bisa melakukan eksekusi terhadap aset-aset,’’ papar Sigit.

Mengenai aliran dana LC tersebut, menurut Sigit, sejauh ini sudah diserahkan datanya baik kepada aparat hukum maupun dan pada anggota DPR.

Sebelumnya, BNI sudah menyurati beberapa kali Mabes Polri dan Kejati agar dilakukan proses hukum terhadap aset yang ada. Tetapi, sampai kini masih nihil.

Dalam pengusutan, dana cash yang berhasil disita dari tersangka Edy Santosa hanya USD 238.000. Total aset yang diserahkan kepada Bank BNI oleh para pelaku baru Rp 74,581 miliar, masih jauh dari penyimpangan LC yang mencapai Rp 1,7 triliun, dengan potential loss Rp 1,3 triliun tadi. (bik)


http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Moneter%20Bisnis&id=32770


Pers Indonesia Kehilangan Idealisme
Sunday, November 09, 2008 2:41 AM
TjiptaLesmana

Pers Indonesia adalah pers perjuangan, tulis Rosihan Anwar tahun 1950-an. Pers ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Pada tahun 1980, tema pers perjuangan dikumandangkan lagi oleh wartawan senior mantan Pemimpin Redaksi harian “Pe- doman” itu.

Bahkan Rosihan menegaskan sampai kapan pun, pers Indonesia tidak boleh meninggalkan cirinya sebagai pers perjuangan. Berjuang melawan apa setelah tidak ada penjajah? Jawab Rosihan: pers harus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Berjuang, apa pun objek yang diperjuangkan, tentu, memerlukan idealisme. Fakta menunjukkan bahwa setelah terjadi konglomerasi pers dan setelah banyak kalangan pebisnis besar terjun dalam dunia pers, idealisme pers Indonesia semakin luntur. Pada era reformasi, sepak-terjang sebagian pers kita malah tidak “karuan”.

Karakteristik pers Indonesia - umumnya- pada era reformasi adalah: (a) suka mencari sensasi; (b) tidak substantif dalam pemberitaan dan (c) tidak lagi berjuang untuk menegakkan keadilan serta kebenaran.

Masih ingat skandal sex Yahya Zaini dan Eva Maria? Ketika itu, hampir semua penerbitan pers mengekspos berita ini besar-besaran. Padahal, apa arti seorang Yahya Zaini dalam pentas perpolitikan di Indonesia? Ketika itu pers seakan lupa bahwa ada banyak permasalahan serius yang dihadapi bangsa dan negara.

Kasus lumpur panas Lapindo pun “terkubur” oleh skandal Yahya. Padahal, lumpur panas Lapindo sebuah kasus serius, karena membawa kerugian dahsyat terhadap rakyat, di samping menghancurkan banyak infrastuktur penting seperti kereta api dan PLN. Dalam konteks ini, saya melihat pers telah masuk dalam perangkap pihak-pihak tertentu.

Orang-orang yang punya kewenangan di news room tanpa disadari telah digiring ke medan lain semata-mata untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah yang lebih serus. Boleh jadi, skandal Yahya Zaini sengaja dibikin pihak tertentu untuk menohok Partai Golkar. Jangan lupa, skandal ini mencuat ti- dak lama setelah Istana dipermalukan oleh masalah UKP3R dengan suara lantang Golkar -termasuk Ketua Umum Jusuf Kalla- yang menghajar habis-habisan UKP3R.

Anehnya, ada pers yang melansir bahwa kasus ala Yahya Zaini sebenarnya juga menimpa sejumlah wakil rakyat. Hanya saja, Yahya sedang sial dan menjadi korban. Tiba-tiba muncul pula berita bahwa salah satu petinggi DPR juga punya “WIL” -wanita idaman lain. Sayang, setelah berita dibantah oleh yang bersangkutan, follow-up-nya sirna sama sekali.

Sementara pers kita memang berpenampilan seperti koran kuning. Ya, pers liberal -dalam sejarahnya di Inggris- memang kadang diidentikkan dengan koran kuning. Hantam kiri kanan tanpa bukti jelas dan menohok privacy seseorang.

Kurang Substantif

Sebagian pers kita malas, atau sengaja tidak mau, menulis berita secara serius. Banyak sekali permasalahan bangsa yang mestinya diangkat sungguh-sungguh, antara lain, melalui investigative reporting. Soal impor gelap barang-barang eks RRC, misalnya. Bukankah ini masalah serius sebagai salah satu penyebab matinya sekian banyak industri dan pabrik di dalam negeri? Produk elektronika, tekstil, keramik dan lain-lain eks RRC masuk secara gelap seperti air bah.

emerintah -terutama Departemen Perdagangan dan Bea Cukai- tidak berdaya sama sekali. Di depan mata telanjang, produk itu malang-melintang di mal-mal, mematikan produk sejenis buatan dalam negeri.

Dan setiap kali ada pabrik yang tutup, berapa pengangguran yang ditimbulkannya? Sayang, pers tidak tergerak untuk melacak dan membongkarnya habis-habisan.

Mana pula komitmen pers untuk ikut memerangi terorisme? Konflik Poso, misalnya, sebenarnya sudah memasuki lampu merah. Kekuatan kelompok bersenjata sudah menguat, menguasai ratusan senjata dari berbagai jenis dan merek. Kasus ini sudah masu dalam domain terorisme, sebab kelompok-kelompok bersenjata itu terus-menerus meneror masyarakat, dan membunuh lawan-lawan yang tidak berdosa.

Dalam meramu berita seputar Poso, sebagian wartawan kita lebih suka mendengar pihak LSM dan kelompok tertentu yang punya kepentingan dengan konflik Poso daripada aparat keamanan. Kalau aparat mengatakan bahwa jaringan terorisme Poso terkait erat dengan jaringan terorisme lain di Filipina, Malaysia atau bagian lain In- donesia, pers adakalanya tidak percaya.

Bahkan sumber lain yang mengatakan bahwa konflik Poso tidak lebih buatan oknum TNI di-blow-up. Pers juga ikut-kutan mengekspos masalah HAM, bukan ikut membantu aparat mengejar para teroris. Pers seolah tidak punya tanggung jawab moral untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik In-donesia.

Menjelang kedatangan Presiden George Bush tempo hari, hampir semua pers nasional “menggebuki” pemerintah Yu- dhoyono yang seolah-olah diperbudak untuk melakukan apa saja -termasuk membangun helipad di Kebun Raya Bogor– demi memuaskan Washington.

Orang lupa bahwa Presiden RI mempunyai hak untuk mengundang kepala negara mana pun karena terkait dengan kepentingan nasional. Orang juga lupa bahwa sebagai negara adi-daya, di mana-mana Amerika memang menuntut optimal security arrangement terhadap pemerintah negara yang mau menerima kunjungan presidennya.

Bush bukan semata-mata Presiden AS, tapi seakan-akan “Presiden Dunia” karena kepentingan AS yang merajalela di seantero dunia…… Dan hampir tidak ada pers yang menulis bahwa seluruh biaya pembangunan helipad di Kebun Raya Bogor ditanggung oleh pemerintah AS. Banyak sekali kalangan yang ketiban rejeki dari kedatangan Bush dan rombongannya.

Kebenaran

Meski sudah hampir 9 tahun bereksperimen dengan teori libertarian, pers Indonesia tampaknya makin jauh dari pers perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Masalahnya, pers kita cenderung cepat emosional, tapi juga cepat melupakan persoalan……

Dua tahun yang lampau, pers mengekspos habis-habisan skandal korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penangkapan Mulyana W Kusuma dan Prof Nazaruddin Syamsuddin menjadi klimaks dari press coverage itu. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dipotretkan sebagai pahlawan yang hebat.

Namun, ketika sejumlah anggota KPU lain tidak disentuh oleh KPK, ketika Hamid Awaluddin dibiarkan lolos -walaupun 3 saksi mengatakan dengan tegas bahwa ia hadir dalam pertemuan di KPU yang menentukan harga segel- ketika itulah anti-klimaks dari berita seputar KPU. Pers Indonesia betul-betul kehabisan semangat dan motivasi! Pers hanya bisa ikut-ikutan menyangi lagu berjudul “Tebang Pilih”.

Banyak sekali kasus hukum yang semula dimunculkan pers dengan berapi-api, tapi kemudian lenyap. Contoh: penggebrekan KPK di kantor Mahkamah Agung. Ketika itu, Ketua MA Bagir Manan, seolah sudah menjadi “tersangka”.

Lalu, kasus dugaan korupsi di tubuh Polri seperti kasus BNI 1946 yang terasa sekali “tebang pilih”. Ketika ada petinggi Polri yang mengatakan bahwa kesaksian seorang penyidik tentang cek untuk Kapolri tidak lebih “mimpi”, pers pun diam seribu bahasa.

Bagaimana pula kelanjutan dari terbongkarnya sejumlah rekening pejabat Polri yang misterius dan pembelian alat komunikasi senilai ratusan miliar rupiah? Kenapa pers tidak terus mengejar Kapolri untuk dimintakan kejelasannya?

Dalam era reformasi, yang mengungkung sementara penerbitan pers tidak lagi pengusaha, tapi juga politisi. Sebagian pers kita, jujur saja, sudah partisan sifatnya. Sejumlah wartawan bekerja hanya sebagai batu loncatan menuju “jalan politik” yang sudah diincar sejak awal.

Ada wartawan yang tiba-tiba menjadi anggota DPR. Ada pula presenter radio yang kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Televisi pun tidak semuanya impartial atau objektif, sebab sudah sarat akan kepentingan politik tertentu.

Beberapa kali saya diminta ikut dalam talk-shows, tapi dengan catatan tidak boleh menyerang politisi ini. Atau sebaliknya, saya diminta mendukung politisi itu. Ketika saya menolak, maka saya pun di-black-list oleh media tsb.

Chris Frost, seorang pengajar senior pada Departemen Jurnalistik University of Central Lancashire (Inggris) dalam bukunya (”Media Ethics and Self Regulation“) mengakui bahwa penerbitan pers sulit memegang teguh prinsip impartiality.

Toh, menurut Frost, pers memiliki kewajiban untuk memberitakan kebenaran, “and this should limit the amount of slanting possible, although there is no obligation on a newspaper to present all sides of an argument”. (hal.139).

Slanting news -berita yang sudah dibelokkan- tampaknya sudah menjadi salah satu potret pers Indonesia pada era reformasi ini. Faktor uang dan kekuasaan menjadi penyebabnya.

Kalau sudah demikian, bagaimana lagi kita bisa berbica- ra tentang pers pejuangan? Inilah wajah pers Indonesia keti- ka memperingati Hari Pers Nasional….!

Penulis adalah pengajar “Hukum Pers” Universitas Pelita Harapan

Last modified: 9/2/07

http://danielpinem.wordpress.com/pemikiran-indonesia-februari-2007-2/

SUARA PEMBARUAN DAILY
Efek Domino Perang Bintang, pada kasus LC BNI Jakarta
Friday, December 12, 2008 1:56 PM
SEBAGAI bekas orang nomor satu di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, tentu Komisaris Jenderal Suyitno Landung sudah terbiasa menetapkan seseorang menjadi tersangka. Tetapi, bagaimana rasanya menyandang status itu, baru kali ini jenderal bintang tiga itu bisa ''menikmatinya''. ''Saya menjadi stres,'' ujarnya. Pemberitaan di media massa dirasakannya sebagai sebuah vonis. Ke mana pun ia melangkah, seakan selalu ada yang menguntit.

Suyitno, yang biasanya murah bicara, pun berubah jadi tertutup. Ogah ditemui dan sangat hati-hati dalam berucap. ''Mohon pahamlah,'' katanya, mengundang empati. Perubahan sikap itu sangat terasa ketika ia harus menjalani pemeriksaan di Markas Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Sebelum menjalani pemeriksaan, pukul 10.00, Suyitno menyelinap ke ruang kerja Wakapolri Komisaris Jenderal Adang Daradjatun untuk menghindari wartawan. Begitu juga usai dimintai keterangan, 10 jam kemudian, teman seangkatan bekas Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar di Akademi Kepolisian itu "kabur" lewat pintu belakang, diantar Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Brigjen Polisi Hindarto.

Sebetulnya, status tersangka pada diri Suyitno sudah melekat sepekan sebelumnya. Menurut Inspektur Jenderal Aryanto Anang Boedihardjo, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, tuduhan yang mengarah kepada tersangka adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang dalam pemeriksaan perkara pembobolan BNI 46 senilai Rp 1,7 trilyun. Berdasarkan sebuah dokumen, Suyitno telah menerima mobil Nissan X-Trail dari Ishak. "Kalau barang bukti tersebut ada kaitannya dengan kejahatan dan dipakai, itu termasuk penyalahgunaan wewenang,'' kata Aryanto.

Nama Ishak sendiri disebut-sebut sebagai konsultan hukum dan bisnis para terhukum pembobolan BNI, termasuk Adrian Waworuntu. Namun seorang terpidana lainnya, Rudi Sutopo, lebih suka menyebutnya sebagai makelar kasus. Negosiator yang menghubungkan para terpidana dengan polisi. ''Dia itu kapal keruk,'' kata terpidana 15 tahun penjara itu, sambil menyebut nama Dody Abdulkadir sebagai mitra Ishak dalam menjalankan misinya. Ishak sendiri sudah berstatus tersangka dan meringkuk di sel tahanan.

Tak hanya perkara memberi X-Trail ke Suyitno, Ishak pun disebut-sebut sebagai orang yang menghimpun duit Rp 15,5 milyar untuk disetorkan kepada penyidik. Uang itu dimaksudkan untuk kelancaran penanganan hukum orang-orang yang berperkara. Namun saat ini, menurut Aryanto, tim penyidik baru memfokuskan penelitian ihwal status X-Trail. Kata Aryanto, perlu dikaji apakah penerimaan dan kepemilikan mobil tersebut terkait dengan kepentingan dinas atau tidak. Kalaupun itu untuk dinas, harus transparan bentuk hibah dan pendataannya di bagian logistik.

Penetapan Suyitno sebagai tersangka merupakan sejarah buruk bagi jajaran kepolisian. Karena lewat dialah untuk pertama kali jenderal bintang tiga polisi terbelit kasus pidana. Setelah sebelumnya seorang jenderal bintang satu, Brigjen Polisi Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santoso menyandang predikat yang sama. Ketiganya tersandung perkara yang idem pula, diduga telah memainkan kasus BNI. Ketika perkara BNI bergulir di Mabes Polri, Ismoko, waktu itu Direktur II Ekonomi Khusus, adalah bawahan langsung Suyitno. Sedangkan Irman tangan kanan Ismoko yang bertindak sebagai ketua tim penyidik.

Gelindingan perkara BNI ini pun tampaknya belum mau berhenti. Tak tertutup kemungkinan bakal memakan korban perwira polisi tinggi lainnya. Malah bisa saja menyentuh jenderal polisi bintang empat. Tudingan miring ini meluncur dari bibir Irman. Ketika diperiksa pada Oktober lalu, Irman mengaku telah menerima uang dari Adrian Rp 500 juta. Namun duit itu tidak dimakannya sendiri, melainkan dialirkan ke atasannya hingga berjenjang sampai tingkat keempat.

Pengakuan tersebut sempat disampaikan Haposan Hutagalung, saat itu bertindak sebagai penasihat hukum Irman, kepada wartawan pada 18 Oktober. Malah, menurut Haposan, kliennya berjanji membuka bos-bosnya yang menerima duit itu.

Belum juga Irman buka-bukaan, tiba-tiba beredar salinan yang menyerupai berita acara pemeriksaan (BAP) Irman tertanggal 17 Oktober. Di situ disebutkan, Irman memberi kesaksian bahwa petinggi Polri juga menerima siraman sogokan dari pejabat Bank BNI. Mohammad Arsyad, saat itu Direktur Kepatutan BNI, dikatakan membagi-bagikan traveller's cheque Rp 25 juta sebagai hadiah Lebaran. Irman dan Ismoko, masih versi salinan itu, termasuk yang menerimanya.

Tak hanya itu. Yang mengejutkan, Arsyad juga dikatakan menyerahkan uang Rp 2 milyar kepada Erwin Mappaseng. Lalu setengah dari uang itu mengalir ke Da'i. Benarkah Irman bersaksi begitu? Yang namanya selebaran tentu sulit dipegang kebenarannya. Lebih-lebih Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani, Ketua Tim Penyidik Kasus Bank BNI, mengaku bahwa dalam BAP yang sesungguhnya tak ada kesaksian Irman semacam itu. ''Ia hanya bicara seputar keterlibatan dirinya,'' kata Jusuf, yang juga Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan.

Da'i sendiri sempat bereaksi, tak lama setelah salinan yang disebut-sebut sebagai kesaksian Irman itu beredar luas. Ia langsung menghubungi Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara, Kabareskrim Mabes Polri. ''Menurut Pak Makbul, dalam BAP tak ada pengakuan Irman seperti itu,'' kata Da'i, seraya menyatakan siap diperiksa bila dibutuhkan. Bantahan serupa disampaikan Erwin. ''Saya paling keras untuk menuntaskan kasus BNI, masak mau menyalahgunakan wewenang,'' ujarnya.

Bantahan juga meluncur dari Arsyad, yang menghuni sel tahanan sejak 23 November lalu. Lewat Teuku Nasrullah, pengacaranya, Arsyad menyatakan tak pernah dituduh telah menyuap. "Pak Arsyad malah menantang untuk diketemukan dengan siapa pun yang bilang dia menyuap," katanya. Kalaupun sekarang kliennya meringkuk di tahanan, kata Nasrullah, itu terkait dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 10 /1996 tentang Perbankan (lalai melaporkan adanya keterlambatan membayar L/C kepada Bank Indonesia), bukan karena suap.

Walau begitu, bukan berarti para petinggi Polri benar-benar aman. Bisa saja kejutan demi kejutan terjadi. Apalagi bila ditemukan fakta dan bukti baru, terutama setelah Suyitno ditersangkakan. ''Tak ada yang bisa mengelak untuk diperiksa apabila pekembangannya memungkinkan," kata Komisaris Besar Bambang Kuncoro, Kepala Divisi Penerangan Umum Mabes Polri. Menurut dia, pembersihan di tubuh Polri sudah menjadi komitmen Kapolri Jenderal Sutanto, tanpa pandang bulu.

Dugaan adanya keterkaitan seorang petinggi Polri meluncur juga dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, tempat para terhukum kasus Bank BNI mendekam. Menurut salah satu dari mereka yang enggan disebut namanya, mereka sudah menerima sertifikat Menara Imperium di Jalan Rasuna Sahid, Jakarta, dari Haris Is'artono, Direktur Utama PT Mahesa Karya Muda Mandiri, yang kebagian ganjaran hukuman 15 tahun penjara.

Namun tuduhan itu tak sepenuhnya diakui Haris. Menurut dia, penyitaan sertifikat itu memang terjadi, tapi terlalu dibesar-besarkan. Sebab sertifikat yang dimaksud bukan untuk seluruh Menara Imperium, melainkan untuk satu ruangan saja yang sempat dipakai PT Mahesa sebagai kantor. ''Sertifikat itu pun bukan atas nama saya,'' kata Haris. Melainkan milik mitra bisnisnya, Rudi Sutopo.

Rudi Sutopo, yang berada di samping Haris, tak membantah. Kalaupun sekarang terbuka dugaan bahwa para petinggi kebanjiran duit dalam proses penyidikan perkara BNI, kata Rudi, yang paling banyak menyawer uang justru pihak Bank BNI. Rudi menuding, duit saweran itu berasal dari penjualan beberapa aset yang diagunkan dalam kasus megakorupsi ini. Ia menyebut sebuah lahan di Cilincing dan beberapa kebun yang sudah berpindah tangan. ''Aset itu telah menjadi bancakan,'' katanya. Hanya saja, Rudi belum bisa menunjukkan bukti atas tuduhannya itu.

Beberapa terhukum lainnya sebetulnya mengaku tahu banyak tentang siapa saja petinggi Polri yang kecipratan rezeki haram dari kasus Bank BNI 46 ini. Hanya saja, saat ini mereka memilih bungkam karena takut. Selama ini, mereka mengaku sering menerima teror. ''Di sini (LP Cipinang) nyawa begitu murah, Mas,'' ujar Rudi, memberi alasan. Apalagi, setelah penetapan Suyitno sebagai tersangka yang tak menutup kemungkinan merembet ke petinggi yang lain --mereka mengistilahkan sebagai perang antarbintang-- mereka khawatir bakal jadi korban.

Sikap hati-hati itu sangat tampak pada diri Adrian Waworunto, terhukum seumur hidup yang dianggap paling banyak tahu perkara ini. Setiap kali didesak, ia selalu mengelak dan menjawab pendek, ''Sudahlah!'' Ia justru berharap, dengan terungkapnya ketidakberesan dalam proses penyidikan di Bareskrim, penegak hukum mau meninjau kembali inti perkaranya. ''Kasus Bank BNI ini belum tuntas,'' katanya, diamini Aprilla Widharta, terpidana lainnya, dan Rudi Sutopo.

Perang bintang ini boleh jadi bakal seru. Rashid Harsuna Lubis, Ketua Police Watch, lembaga swadaya masyarakat yang getol menyoroti kinerja kepolisian, melihat penetapan Suyitno sebagai tersangka bakal memunculkan efek domino. Ia menduga, pada tahap berikutnya, kasus ini akan menyentuh Da'i, sohib Suyitno ketika sama-sama masih menjadi siswa di Akademi Kepolisian (lihat: Titik Balik Hubungan Baik). Alasannya, di lembaga kepolisian berlaku, atasan dua pangkat bertanggung jawab terhadap bawahannya. "Kalau memang terbukti Suyitno menerima suap, tentu sebagai atasannya, Da'i Bachtiar harus ikut bertanggung jawab," kata Rashid.

Sayangnya, setelah Suyitno menjadi tersangka, Da'i memilih diam. Saat Hendri Firzani dari Gatra berusaha menemui dia di kantornya, Yayasan Cegah Kejahatan Indonesia, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Da'i enggan keluar. Menurut seorang ajudannya, Da'i belum bisa memberi komentar. Bahkan beberapa ajudannya sedikit memaksa Gatra untuk keluar dari lantai 16 Wisma GKBI itu. "Bapak tidak mau bertemu wartawan dulu," ujar salah seorang ajudan tersebut.

Tampaknya, pengungkapan borok di balik kasus Bank BNI masih butuh waktu. Seperti diungkapkan Rashid, upaya Sutanto membersihkan kotoran di tubuh polisi hingga pangkat tertinggi tak akan semudah membalik telapak tangan. Sebab akan terbentur pada kelompok yang kontra. Penentangan, katanya, bakal muncul dari sekelompok jenderal yang tak mau kepolisian diobok-obok terlampau jauh.

Namun langkah Jenderal Sutanto itu didukung sepenuhnya oleh Inspektur Jenderal (purnawirawan) Sudirman Ail, mantan Deputi Operasi Polri yang kini memimpin Lembaga Kajian Kebijakan Kepolisian dan Hukum. "Penindakan KKN itu jangan pandang bulu," kata alumnus Akademi Kepolisian angkatan 1972 itu. Ia berharap, penegakan hukum di internal Polri bukan sekadar komentar. Melainkan benar-benar dicari akar masalahnya. Kuncinya ada pada perbaikan sistem yang akan memberikan efek deterrence (penangkal).

Sudirman, yang juga tergabung dalam Kantor Hukum Ail Amir & Associates, menyebutkan bahwa sumber KKN di tubuh Polri yang perlu dicermati meliputi dua bidang kewenangan: internal dan eksternal. Aspek internal menyangkut fungsi pembinaan personel, logistik, dan perencanaan anggaran. Sedangkan eksternal menyangkut penyalahgunaan wewenang reserse, intelijen, dan bidang lalu lintas. Jika dua fungsi pembinaan itu dibenahi, ia optimistis, tubuh Polri akan bersih dan berwibawa.

"Hilangkan kesan gusur-menggusur, like and dislike. Sebaliknya, berpegang teguh pada batas-batas sistem," ujar Sudirman. Ia tidak membantah, dengan langkah awal Sutanto itu, banyak yang tidak suka. "Sok bersih sendiri, lu," kata Sudirman, menirukan suara-suara sinis itu. Tetapi ia minta jangan berhenti. Sebab yang akan memuji bukan generasi kini, melainkan generasi yang akan datang. "Pak Hoegeng dicaci maki kala itu, tetapi kini dipuji-puji," ia mencontohkan.

Hidayat Gunadi, Alaxander Wibisono, Deni Muliya Barus, dan Elmy Diah Larasati

http://www.gatra.com/2005-12-19/versi_cetak.php?id=90730



Membongkar Korupsi Direksi BNI
Tuesday, July 22, 2008 9:54 AM
13-Mar-2006, 01/01/THN-06


Sepandai pandai direksi Bank BNI menyimpan bangkai, bau busuknya pasti tercium juga. Pemeo klasik ini, agaknya, tak lama lagi bakal jadi kenyataan menyusul gencarnya penyidikan ”babak kedua” terhadap kasus pembobolan duit negara Rp 1,7 triliun yang terjadi di Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bukan rahasia, inilah kasus – lebih dikenal dengan sebutan kasus letter of credit (L/C) BNI – yang memecahkan rekor lantaran tercatat sebagai peristiwa pembobolan bank terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia.

Dalam ”babak pertama”, kendati penyidiknya sendiri satu per satu ikut masuk bui karena kasus suap, sejumlah tokoh memang berhasil dijebloskan ke penjara. Namun, so pasti, itu bukan akhir cerita. Maklum, dari Rp 1,7 triliun yang amblas digondol rampok, baru Rp 1 miliar yang berhasil ditarik kembali oleh negara. Yakni, duit dari kantung salah satu tersangka: Jeffrey Basso, direktur utama PT Tri Ranu Caraka Pasifik. Padahal, sesaat setelah menyidik kasus yang mulai mencuat ke permukaan pada Oktober 2003, Mabes Polri mengklaim telah mengantungi 154 nama yang ikut menerima aliran dana.

Hal lain yang mencolok dalam penyidikan ”babak pertama”, yakni terkait fakta: tidak satu pun pejabat BNI pada tingkatan divisi dan direksi di Kantor Pusat yang tersentuh tangan hukum. Itu sebabnya, pada penyidikan ”babak kedua”, fokus dan target utama justru diarahkan ke bos-bos bank pelat merah itu. Tak kurang dari Kapolri Jenderal Polisi Sutanto sudah memberi sinyal ihwal ini. ”Akan ada tersangka baru, termasuk dari kalangan Divisi Internasional Kantor Pusat,” ujar Kapolri, akhir Februari lalu.

Jenderal Sutanto pasti tidak sedang menggertak. Pasalnya, dari penelusuran Investigasi, dugaan seputar keterlibatan jajaran Divisi Internasional dan Direksi BNI memang sangat kental. Buku Pedoman dan Tata Kerja Internal BNI, misalnya, dengan terang benderang menyatakan bahwa fungsi kontrol dan pengawasan transaksi devisa adalah tanggung jawab Divisi Internasional. Kalau fungsi ini dilaksakan secara benar dan bertanggung jawab, haqul yakin, pembobolan diskonto wesel ekspor yang merugikan keuangan BNI triliunan rupiah itu masih berpeluang dicegah.

Dokumen yang diperoleh Investigasi juga menemukan indikasi kuat, direksi sudah tahu sejak jauh-jauh hari bahwa brankasnya dibobol. Ihwal ini, antara lain, terkait dengan dilakukannya penyisihan kerugian sebelum kasus L/C Gramarindo meledak. Aparat penyidik juga harus mendalami lagi fakta bahwa instrumen L/C itu ternyata otentik, karena disampaikan dengan menggunakan sistem SWIFT melalui advising bank lembaga perbankan besar di Jakarta. Sistem ini menunjuk kerja dari suatu jaringan yang dapat menciptakan instrumen perbankan lainnya, namun berpotensi mengancam industri perbankan nasional.


Modus sederhana
Sekadar mengingatkan, kasus pembobolan bank dengan modus sederhana ini berawal dari ditemukannya penggelontoran dana sebesar Rp 1,7 triliun melalui wesel ekspor berjangka kepada Grup Gramarindo dan Grup Petindo, yang dijamin dengan L/C dari bank-bank di Swiss, Kenya, dan Cook Islands.

Modusnya memang tak rumit. Dengan surat jaminan di tangan, pengusaha kedua grup itu mendatangi Kantor Cabang Utama BNI Kebayoran Baru. Mereka lalu mengajukan permohonan fasilitas L/C untuk mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya. Belakangan diketahui, sebagian ekspor tersebut ternyata fiktif. Celakanya, tanpa pengecekan lebih jauh, BNI Kebayoran Baru langsung mengucurkan dana triliunan itu secara bertahap selama periode Juli 2002 s.d. Juli 2003.

Dari penyidikan terdahulu, sebanyak 15 orang telah dijatuhi hukuman. Selain para pengusaha hitam dari kedua grup itu, praktis hanya pejabat BNI di kantor cabang saja yang masuk bui. Mereka, antara lain, mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santoso, yang diganjar penjara seumur hidup; mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Kusadiyuwono, yang divonis 16 tahun; serta mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Nirwan Ali, yang divonis delapan tahun penjara.

Sementara dari pihak swasta, hanya Adrian Herling Woworuntu, bos PT Gramarindo, yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Selebihnya, Rudy Sutopo (dirut PT Mahesa), Ollah Agam (dirut PT Sagared Team), dan Adrian P. Lumowa (dirut PT Magnetiq Usaha Esa), masing-masing diganjar hukuman 15 tahun penjara.

Di samping yang sudah divonis, sebenarnya masih ada Maria Pauline Lumowa. Namun, sejauh ini, warga negara Belanda yang disebut-sebut sebagai otak pembobolan itu belum berhasil dimejahijaukan. Ia bahkan masih bebas berkeliaran di sejumlah negara, utamanya Singapura, yang memang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Jeffrey Basso, tersangka yang mengembalikan duit semiliar ke kas negara, saat ini pun masih bisa makan enak dan tidur nyenyak. Masa penahanannya telah habis, sementara penyidikan belum tuntas.

Yang tak kalah nyaman, karena sama sekali belum tersentuh tangan hukum, itu tadi: para pejabat BNI di tingkat kepala divisi hingga direksi. Ini dimungkinkan, karena penyidikan ”babak pertama” kasus ini sengaja dilokalisir hanya menjerat pejabat kantor cabang saja. Kesengajaan melokalisir kasus, antara lain terekam dari pengakuan terdakwa Rudy Sutopo yang disampaikan dalam Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi Mabes Polri.


Dalam kesaksiannya, Rudy mengaku telah dimintai dana sebesar Rp 250 juta oleh penyidik. Kalau dia oke, penyidik berjanji akan membuat skenario bahwa otak pelaku pembobolan BNI Kebayoran Baru adalah Edi Santosa. Dalam sidang yang sama, Rudy Sutopo juga mengaku sempat diancam akan ditembak penyidik. (lihat: Investigasi, Edisi Perkenalan, Februari 2006).

Kini, tim penyidik baru Mabes Polri tampaknya sudah menemukan ”roh” dari seluruh rangkaian kejahatan pembobolan BNI yang sebenarnya. Ini antara lain bercermin dari bebasnya Jeffrey Basso, yang ditahan sejak 29 Oktober 2003. Jeffrey bebas, karena polisi – yang melakukan penyidikan pada babak pertama – menyerahkan berkas perkara kepada jaksa hanya sehari menjelang masa penahanannya habis.

Dengan waktu yang dibikin mepet, jaksa tentu tak bisa mempelajari berkas tersebut, sehingga mengembalikan ke polisi. Jeffrey pun dilepas. Hal serupa terjadi pada Judi Basso dan Adrian Waworuntu. Kita tahu, kesempatan menghirup udara bebas di luar tahanan itu kemudian dimanfaatkan Adrian untuk lari ke Amerika Serikat, meski akhirnya pulang ke tanah air untuk ”menyerahkan diri”.

Tak mau kejeblos di lubang yang sama, sebagaimana dialami penyidik babak pertama, Mabes Polri kini menjalin kerja sama dengan jaksa-jaksa andal dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Kedua tim aparat penegak hukum itu saling bahu-membahu. Dimulai dengan membuka berkas-berkas lama, mereka lalu menyatukannya kembali secara menyeluruh untuk mengurai kasus yang kusut masai ini. Saking seriusnya, diskusi tim acap dilakukan hingga larut malam. ”Apakah akan mengarah ke direksi, kita lihat nanti,” cetus seorang penyidik, ketika ditemui Investigasi, pekan lalu.

Penyidik ini menambahkan, tim kepolisian yang diasisteni oleh Pidsus Kejaksaan Agung ini memang ibarat melakukan penyidikan babak kedua. Babak pertama sudah tamat, karena penyidiknya sudah jelas-jelas ”dibeli” oleh para tersangka dan petinggi BNI. Hasilnya pun sangat buruk bagi citra polisi, terlebih setelah Komisaris Jenderal Suyitno Landung, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santosa dipenjara, lantaran dituding menerima suap.

Kerja sama Mabes Polri-Kejaksaan Agung, tentu, patut disambut dengan prasangka positif. Mudah-mudahan, tak keburu layu sebelum berkembang. Intinya, mereka harus mampu membuat adonan berkualitas, ditambah bumbu-bumbu bukti bermutu tinggi, sebelum akhirnya dihidangkan ke majelis hakim.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Investigasi, ada sejumlah ”jaring” yang tampaknya tengah disiapkan penyidik untuk menjerat direksi lama maupun baru. Jaring-jaring tersebut, antara lain, terkait dengan masalah pengawasan. Benar, mantan dirut BNI Saefuddien Hasan pernah beberapa kali diperiksa di Mabes Polri sebagai saksi pelapor. Namun, hingga kini, ia masih ”aman”. Selama ini, Saefuddien selalu berkelit bahwa transaksi yang dilakukan BNI Cabang Kebayoran Baru tidak terdeteksi oleh Kantor Pusat.

Saefuddien berdalih, BNI menerapkan branch banking. Artinya, cabang diberi otonomi penuh dalam pemberian fasilitas kredit dan segala fasilitas yang melibatkan cash outflow bank. Sementara, karena tak punya nasabah, peranan kantor pusat lebih difokuskan pada supporting, pembinaan, pengawasan, serta kontrol atas semua transaksi devisa, pengelolaan, dan pemantauan posisi likuiditas secara terkonsolidasi. Saefuddien bahkan menyatakan, pembobolan L/C itu tak dilaporkan ke Divisi Internasional BNI di Kantor Pusat.

Benar? Tunggu dulu. Kalau ”teori” itu tetap dipakai, bukan mustahil, pengacara para direksi lama harus sudah bersiap untuk membuat pembelaan bagi kliennya sedari sekarang. Pasalnya, branch banking kini dianggap bukan segala-galanya. Sistem ini tetap harus diimbangi dengan pengawasan secara struktural dan fungsional. Artinya, ada pengawasan yang dilakukan berjenjang.

Pada Oktober 2002, misalnya, Satuan Pengawas Internal (SPI) Bank BNI telah membentuk tim untuk mengaudit Cabang Kebayoran Baru. Dari audit tersebut diketahui, sejak Juni 2002 BNI Kebayoran Baru telah melakukan 11 transaksi diskonto wesel ekspor berjangka dengan kondisi pembayaran di muka, walaupun terdapat discrepancies dan diskonto dilakukan sebelum ada akseptasi dari bank penerbit. Masalahnya, hasil audit SPI tersebut dianggap tidak signifikan.

Kecuali itu, dalam pemeriksaan berkala yang dilakukan kontrol intern cabang pada Agustus 2002 dan Februari 2003, ditemukan 34 L/C senilai US$ 36 juta (sekitar Rp 324 miliar) yang telah jatuh tempo. Namun, tidak ada reimbursment dari bank penerbit. Padahal, menurut aturan BNI, temuan seperti itu wajib dilaporkan kepada Kepala Wilayah X, Kepala Cabang, SPI Kantor Pusat, dan Direktur Kepatuhan. Artinya, Direktur Kepatuhan pasti telah mengetahui masalah ini dan seharusnya telah membuat langkah-langkah pengamanan. Namun, dalam kenyataan, hal itu justru didiamkan.

Tak kurang dari Deputi Gubernur BI (saat itu) Anwar Nasution, pernah mengkonfirmasikan bahwa kontrol internal Bank BNI sudah melaporkan adanya kasus tersebut pada tahun 2001 dan 2003. Anwar berpikir, laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Direktur Kepatuhan. Konfirmasi Anwar bisa diartikan: Direktur Kepatuhan BNI sudah menerima laporan dan mengetahui adanya L/C bodong ini sejak awal.

Selain itu, selama Juni 2003, cabang diketahui telah dua kali melakukan negosiasi wesel ekspor dalam mata uang euro, masing-masing sebesar 17 juta dan 6,5 juta. Negosiasi dilakukan dengan mengkredit rekening nasabah dalam euro dengan jangka waktu sembilan bulan. Secara teoretis, transaksi yang mencapai 23,5 juta euro itu pasti sangat berpengaruh terhadap posisi valuta asing BNI. Anehnya, kondisi ini pun dianggap hanya urusan cabang. Padahal, BNI bisa rugi besar akibat risiko kurs, jika tidak terdeteksi oleh Divisi Treasury Kantor Pusat.

Masalah lain, setiap transaksi wesel ekspor di cabang tentu terhubung dengan komputer yang on line secara realtime ke Kantor Pusat. In put data dilakukan cabang setiap hari dan ditutup pada jam 16.30. Dengan demikian, data ini bisa diakses oleh

Divisi Internasional di Kantor Pusat. Sudah begitu, Edi Santoso sendiri pernah mengakui, transaksi yang ia lakukan dilaporkan setiap hari melalui jaringan komputer yang memang sudah on line.

Metode pelaporan seperti ini sebenarnya juga lazim dilakukan oleh bank-bank lain. Pasalnya, itu tadi, sebagian besar transaksi pasti berpengaruh terhadap posisi likuiditas bank yang bersangkutan. Jadi, sekalipun konsep branch banking – yang selama ini dijadikan alasan direksi – merupakan kewenangan cabang, tapi alur proses pembukuan dan laporan menyangkut devisa dilakukan dan dilihat oleh Kantor Pusat. Dus, sulit dipercaya jika pembobolan bank ini tak diketahui oleh pejabat di atas kepala cabang.

Fakta lain yang tak kalah menarik: dari total dana Rp 1,7 triliun yang diberikan kepada Gramarindo, diketahui baru Rp 500 miliar yang dibayarkan kembali ke BNI. Itu pun bukan berasal dari bank penerbit L/C, melainkan dari kegiatan gali lubang tutup lubang. Maksudnya? Begitu ada utang dari pengucuran sebelumnya yang jatuh tempo, mereka membayarnya dengan dana BNI sendiri – yang cair pada periode Juli 2002 s.d. Juli 2003 – melalui BNI Cabang New York (BNI NY).

Aktor yang membayar tagihan wesel ekspor berjangka itu, antara lain, Cadmus Pasific, Aditya Putra Pratama, Supreme Impex, dan Oenam Marbel. Mereka membayar ke BNI NY sesuai dengan jumlah L/C yang jatuh tempo.

Seharusnya, bila ada pembayaran yang bukan berasal dari bank penerbit L/C, akan terdapat lubang pada pos rekening nostro di BNI NY. Dan, jika itu terjadi, Divisi Internasional Kantor Pusat bisa dengan segera menyelisik ke rak valas kantor pusat atau cabang, apakah ada pendebitan rekening pos tagihan wesel ekspor berjangka. Namun, metode pengecekan ini tidak dilakukan oleh Divisi Internasional.

Penyisihan kerugian

Masalah lain yang juga bisa menyeret direksi lama adalah praktik penyisihan kerugian. Praktik ini terungkap dari hasil audit Pricewaterhouse Coupers (PwC) terhadap tagihan wesel ekspor dan tagihan lainnya pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Pos wesel ekspor dan tagihan lainnya didefinisikan dan terdiri atas tagihan dan transaksi L/C, serta dokumen-dokumen kepada nasabah importir dan eksportir. Wesel ekspor itu sendiri termasuk kategori aktiva berisiko, dan bank harus menyisihkan kerugian dengan mendebit biaya.

Menurut hasil audit PwC, tagihan wesel ekspor maupun tagihan valas BNI tercatat sebesar Rp 3,079 triliun pada 2001 dan Rp 1,181 triliun pada 2002. Menariknya, semua dinyatakan lancar. Tidak sedikit pun tagihan yang tersendat, apalagi macet. Luar biasa bukan?

Lebih luar biasa lagi, manajemen menyisihkan kerugian sebesar Rp 541,8 miliar pada 2001 dan Rp 345,4 miliar pada 2002. Padahal, berdasarkan ketentuan BI, penyisihan kerugian kategori lancar hanya satu persen atau hanya Rp 30 miliar pada 2001 dan Rp 11,8 miliar pada 2002. Dari sini, jelas terlihat, antara peraturan BI dan kebijakan manajemen terdapat selisih sebesar Rp 511,8 miliar (2001) dan Rp 333,6 miliar (2002).

Kalau dirunut ke belakang, pada periode 2002, di BNI Kebayoran Baru telah terjadi gagal bayar atas wesel-wesel PT Mahesa sebesar US$ 5,4 juta (Rp 48,6 miliar), PT Petindo US$ 8,8 juta (Rp 79,2 miliar), dan PT Prasetya Cipta Tulada US$ 1,5 juta (Rp 13,5 miliar). Besar kemungkinan, penyisihan kerugian sebesar Rp 345,4 miliar pada 2002 itu erat terkait dengan transaksi ketiga perusahaan tersebut.

Setelah ditambah dengan penyisihan kerugian pada 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, maka total penyisihan kerugian tagihan wesel ekspor selama tiga tahun itu totalnya mencapai Rp 2,1 triliun. Penyisihan kerugian pada 2003 terjadi pada bulan Juni atau tiga bulan sebelum kasus L/C bodong Gramarindo terungkap. Artinya, direksi tahu kalau bank yang dipimpinnya bobol sebesar Rp 1,2 triliun oleh ulah Adrian Woworuntu Cs.

Selain itu, dalam laporan likuiditas perbedaan jatuh tempo (liquidy maturity gap) pada 2002, terlihat bahwa pos wesel ekspor dan tagihan lain yang jatuh tempo di bawah sebulan besarnya mencapai Rp 830 miliar dari total Rp 1,18 triliun (75 persen). Ini pun menunjukkan, manajemen BNI telah mengetahui bahwa, pada akhir 2002, ada 75 persen tagihan wesel ekspor yang telah jatuh tempo dan bersifat on demand.

Tak cukup dengan hanya menyelisik peran para direksi BNI era Saefuddien Hasan, aparat penyidik pun mengisyaratkan hendak membidik direksi baru yang dipimpin dirut Sigit Pramono. Seperti diketahui, Sigit diputuskan menggantikan Saefuddien pada Desember 2003 dalam forum rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) BNI. Begitu ditunjuk menjadi nakhoda, Sigit memang langsung dihadang dengan sejumlah masalah. Selain motivasi karyawan yang menurun, sisi keuangan juga terpengaruh akibat skandal L/C itu. Sedemikian parahnya, keuntungan BNI pada tahun itu hanya bergerak di kisaran Rp 800 miliar.

Ketika menerima tongkat komando, di hadapan peserta RUPSLB Sigit meminta agar BNI menyisihkan kerugian sebesar Rp 941 miliar untuk menutupi pembobolan ini. Usulan Sigit disetujui. Namun, berdasarkan hasil audit keuangan tahun 2003, nilai yang disisihkan Sigit ternyata lebih besar, yakni: Rp 1,429 triliun atau ada selisih Rp 489 miliar dari yang disepakati RUPSLB. Dari jumlah itu, sebagian bahkan sudah dialokasikan untuk penyisihan pada Juni 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, yang dilakukan direksi lama.

Penyelisikan tampaknya tak berhenti di sini. Belakangan diketahui, BNI masih menambah mencadangkan penyisihan kerugihan sebesar Rp 164 miliar. Sehingga, total penyisihan kerugian untuk wesel ekspor dan tagihan lain sejak 2001 hingga 2004 besarnya mencapai Rp 2,48 triliun.

Masalah lain yang bisa membuat Sigit sibuk diperiksa penyidik, yakni menyangkut penghapusbukuan kerugian akibat L/C bodong Gramarindo sebesar Rp 1,5 triliun pada Desember 2004. Padahal, kita tahu, kasus Gramarindo hanya membuat BNI merugi Rp 1,2 triliun. Angka yang Rp 1,5 triliun diperoleh dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sisa yang sebesar Rp 500 miliar telah dibayar lewat BNI NY.

Melihat angka-angka itu, muncul dugaan, pos akunting wesel ekspor dan tagihan lain telah dijadikan ”kendaraan” untuk mengeluarkan dana sebagai pinjaman, dengan dalih transaksi ekspor maupun impor yang menggunakan L/C maupun instrumen lainnya.

Atau, adakah selisih itu digunakan untuk membungkam penyidik? Bukan mustahil, meski tetap harus diselidiki. Sebab, bercermin pada penyidikan ”babak pertama”, penyidik Polri ketika itu benar-benar kebanjiran rezeki haram. Selaku Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Kombes Irman Santosa misalnya, diketahui telah menerima bejibun upeti dari berbagai sumber. Termasuk, dari Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsjad.

Pertanyaannya, kini, mampukah tim penyidik baru menyeret direksi lama dan baru BNI sebagai tersangka? Sumber Investigasi di Mabes Polri menggeleng. Ia mengaku tak yakin bila direksi bisa diusut. Alasannya? ”Susah untuk membuka mulut Arsjad,” katanya. Sumber ini tahu pasti, banyak orang yang terlibat kasus ini. Dan, jika Arsjad mau buka mulut, rasanya, semua kekusutan ini menjadi lebih mudah diurai. Sayang, Dirut BNI Sigit Pramono belum bersedia memberikan keterangan. ”No comment-lah untuk hal ini,” ujarnya singkat, kepada Investigasi.

Soal Maria Pauline

Satu lagi pekerjaan rumah penyidik, yakni: membawa pulang Maria Lumowa ke Indonesia, agar kasus ini menjadi lebih terang. Seperti diketahui, Pauline pernah mengatakan, dirinya hanya menerima dana sebesar US$ 40 juta (Rp 360 miliar). Sisanya, ia berharap, ada keterbukaan dari pihak BNI utuk mengungkapkan.

Pauline sendiri pernah berusaha menunjukkan ”niat baik”. Antara lain, dengan menulis surat yang dikirim kepada Kapolri Jenderal Sutanto melalui pengacaranya, O.C. Kaligis. Dalam surat bernomor 1802/OCK.IX/2005 itu, Pauline meminta Kapolri untuk menyelidiki alur dana dari Gramarindo Grup ke BNI dengan memeriksa rekening BNI di BNI NY.

Untuk keperluan itu, Pauline juga menyatakan kesiapannya bertemu dua penyidik Mabes Polri: Brigjen Pol. Gorries Mere dan Kombes Benny Mamoto di Belanda. Terakhir, Pauline meminta agar kasus ini ditangani secara perdata. Ia bahkan menegaskan tak mau bekerja sama bila sifatnya pidana. Menyangkut permintaan ini, sudah pasti, sulit untuk dikabulkan. ”Ini kan kasus L/C, bukan kredit macet. Kalau kredit macet, pasti ada jaminannya dan bisa disita,” ungkap anggota DPR RI Dradjat H. Wibowo.

Menurut Drajat, masalah L/C bodong ini terlebih dulu harus dibuktikan kejahatannya di pengadilan. Artinya, harus ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap, seperti dalam kasus orang mencuri uang. ”Kalau uangnya dipakai untuk beli televisi, itu bisa dikategorikan hasil kejahatan dan bisa disita sementara,” Drajat mencontohkan. Lantas, setelah kejahatan mencurinya divonis hakim, barang tersebut bisa dilelang.

Mengenai konsep branch banking, mantan komisaris BNI ini melihat, keputusan-keputusan sudah didelegasikan ke kantor-kantor cabang. Apakah hasilnya bisa menyeret direksi, itu tergantung hasil penyidikan polisi. ”Saya tidak tahu, apakah direksi mengetahui transaksi ini. Saya tidak ingin memberikan penilaian apakah direksi terlibat atau tidak, karena sudah masuk wilayah hukum,” paparnya.

Jadi? Apa boleh buat, rakyat kini hanya bisa menunggu keberanian aparat penegak hukum untuk mempertegas jejak-jejak korup para direksi BNI itu.


Direksi lama:

- Direksi seharusnya mengetahui masalah wesel ekspor berjangka di BNI Cabang Kebayoran Baru. Sebab, setiap transaksi selalu dimasukkan dalam komputer yang bisa dilihat oleh kantor pusat.

- Direktur Kepatuhan tidak menindaklanjuti temuan kontrol interen cabang atas 34 L/C yang jatuh tempo. Kasus ini juga tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia.

- Transaksi dalam mata uang euro yang besar tidak diketahui.

- Tagihan wesel ekspor ditransfer ke BNI Cabang New York. Akibatnya, pos rekening nostro di BNI New York bolong-bolong. Seharusnya, divisi internasional mengecek hal ini ke rak valas kantor pusat atau cabang.

- Penyisihan kerugian pada 2001 dan 2002 lebih dari satu persen. Padahal, tagihannya lancar. Pada Juni 2003, disisihkan kerugian sebesar Rp 1,2 triliun untuk mencadangkan kerugian L/C bodong itu. Artinya, direksi tahu, L/C itu bermasalah sebelum perkara ini mencuat pada Oktober 2003.

Direksi baru

- Menyisihkan kerugian sebesar Rp 1,4 triliun. Padahal yang disetujui RUPSLB hanya Rp 941 miliar.

- Menghapus buku Rp 1,5 triliun. Padahal, kerugian hanya Rp 1,2 triliun.

http://www.investigasi.com/news_view.asp?id=71&rubrik=1

PEMBOBOLAN BANK, SUMBER DAN PENCEGAHANNYA
Saturday, July 19, 2008 3:35 PM
Oleh: Mar'ie Muhammad
Bisnis Indonesia - Senin, 27 Oktober 2003

Menjelang masuknya bulan Ramadhan, mencuat pemberitaan mengenai pembobolan bank. Maksudnya, hampir dapat dipastikan telah terjadi tindakan kriminal (fraud) oleh beberapa pihak yang menyebabkan pihak bank akan menderita kerugian besar. Yang menarik dalam pemberitaan itu, pembobolan ini justeru terjadi pada bank-bank Pemerintah dan disebut-sebut Bank BNI dan Bank Mandiri. Disebut-sebut pula pembobolan juga telah terjadi pada beberapa bank swasta, meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu mencolok.

Lalu timbul pertanyaan, bahkan dapat dikatakan terjadi semacam teka-teki yang ganjil dan penuh pertanyaan, mengapa pembobolan ini dapat terjadi. Karena Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas industri perbankan telah mengeluarkan berbagai aturan atau prudential regulation untuk menyelamatkan dan mengamankan perbankan nasional sehingga dunia perbankan benar-benar dalam keadaan sehat.

Apalagi kita mengetahui bahwa pada bank-bank pemerintah telah dilakukan pengawasan yang berlapis-lapis, yang sebenarnya lebih ketat dibandingkan dengan bank-bank swasta. Audit terhadap bank Pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh BPKP, BPK, dan entah apalagi namanya.

Lalu mengapa dengan berbagai upaya preventif semacam ini pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi bagaikan halilintar di siang bolong. Dengan pembobolan Bank BNI yang kabarnya melalui transaksi L/C fiktif, yang mencapai hingga di atas satu triliun rupiah dan juga terjadinya permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate Document) di Bank Mandiri, merefleksikan bahwa prinsip good corporate governance belum berjalan secara efektif.

Sekarang ini memang lazim di dunia perbankan bahwa nasabah bank, apalagi nasabah bank yang besar (prime customer), sepenuhnya ditangani transaksinya oleh petugas bank yang dikenal dengan account officer, yang sebenarnya termasuk dalam jajaran pegawai menengah, tetapi account officer (loan officer), kekuasaannya sangat besar. Celakanya, supervisi terhadap account officer sering kali tidak dilakukan. Jadi sebenarnya account officer pada bank-bank telah menjadi 'raja-raja' kecil, meskipun nama mereka tidak dikenal oleh masyarakat. Sehari-hari publik hanya tahu direksi dan dewan komisaris, padahal sebenarnya account officer inilah yang sehari-hari menjalankan bisnis perbankan.

Meskipun di perbankan ada bagian audit internal, tetapi belum tentu audit internal ini benar-benar berfungsi. Walaupun sudah ditambal dengan komite audit yang independen guna mendukung pekerjaan audit internal, tetapi audit internal hanya betul-betul bisa efektif bila para petugasnya tidak ikut bermain. Demikian pula audit internal dan komite audit yang independen akan berfungsi efektif jika mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh jajaran dewan komisaris dan direksi.

Dan dukungan ini tidak boleh setengah-setengah dan harus berkelanjutan. Dalam hal pembobolan Bank BNI, bukan tidak mungkin para petugas internal auditnya juga ikut bermain, dan sinyalemen semacam ini dimuat di berbagai mass media. Lalu apakah BI telah menjalankan fungsinya?

BI sebagai lembaga independen yang melakukan tugas pengawasan bank, juga mempunyai peranan yang amat penting. Misalnya dalam hal pemeriksaan terhadap bank-bank, petugas BI setiap saat dapat masuk untuk melaksanakan apa yang dikenal dengan surprise audit. Jadi pengawasan oleh BI jangan hanya bersifat formal.

Kembali kepada cerita pembobolan BNI, sangat besar kemungkinan telah terjadi L/C fiktif selama bertahun-tahun. Jika demikian halnya, sungguh suatu ironi. Dan permainan semacam ini tidak mungkin dapat terjadi tanpa dukungan dari orang dalam, bahkan bisa jadi orang dalamlah yang merancang. Setiap pembukaan L/C, apapun nama L/C-nya, pihak bank benar-benar harus mencek transaksi yang menyertai L/C tersebut.

Dengan kata lain petugas bank harus mencek apakah ada underlying transaction yang sebenarnya, dan pengecekan atau konfirmasi seperti itu merupakan standar yang harus dilakukan.

Industri perbankan kita masih belum mantap meskipun telah direkap dengan biaya yang sangat mahal, yang mencapai lebih dari 400 triliun rupiah. Industri perbankan, sukses atau kegagalannya, terletak pada kepercayaan masyarakat. Jika pembobolan bank ini tidak disampaikan secara transparan kepada masyarakat, bahkan dicoba-coba untuk ditutup-tutupi, maka biaya yang akan kita bayar akan lebih tinggi. Biaya itu adalah melorotnya kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan nasional.

Jika itu yang sampai terjadi, maka para nasabah bank, apalagi yang besar, akan menarik dananya dari bank Pemerintah dan lebih suka memindahkannya ke bank asing. Akibat yang lebih fatal ialah bila sampai terjadi kepercayaan luar negeri terhadap industri perbankan kita menjadi goyah seperti pada masa krisis tahun 1997. Goyahnya kepercayaan pihak luar negeri akan menimbulkan hambatan terhadap perdagangan internasional yaitu ekspor dan impor, yang dilakukan oleh pebisnis Indonesia.

Makin cepat pembobolan bank-bank ini disampaikan apa adanya kepada publik, maka hal itu akan semakin baik. Lalu diambil tindakan-tindakan tanpa pandang bulu, yaitu berupa penegakan hukum.

Selain permainan dalam bentuk L/C fiktif dan pemalsuan dokumen seperti bilyet dan NCD, masih ada beberapa modus lain pembobolan dana pihak ketiga, misalnya penarikan dana tidak sah, pemalsuan buku tabungan atau pemalsuan tanda tangan. Bentuk lainnya adalah pemberian kredit yang tidak mengikuti prudential regulation, dan dalam hal ini Komite Kredit sungguh menempati posisi yang strategis dan harus ditempatkan langsung di bawah direktur utama.

Semua standar dan prosedur pengamanan agar bank tidak kebobolan atau ditekan sekecil mungkin, memerlukan niat yang bulat, dan itu harus muncul serta diberikan contoh oleh pimpinan bank yaitu dewan komisaris dan direksi.

Selain itu jangan sampai terjadi intervensi diluar aturan permainan, misalnya dari pihak Pemerintah. Tanpa komitmen yang kuat seperti itu, maka jangan aneh jika sewaktu-waktu industri perbankan kita akan kembali masuk dalam lumpur seperti yang pernah kita alami, semoga tidak demikian.


http://www.transparansi.or.id/berita/berita-oktober2003/berita2_271003.html


Letter of Credit sebagai Jaminan
Saturday, July 19, 2008 3:15 PM
Masih teringat dalam benak penulis Letter of Credit (L/C) fiktif yang menimpa Bank BNI kita beberapa tahun yang lalu. Mekanisme sederhana L/C telah diuraikan pada tulisan sebelumnya. Sehingga telah dapat dipahami bahwa L/C merupakan suatu kebiasaan atau prektek yang biasa dilakukan dalam suatu perdagangan internasional.

Pertanyaan selanjutnya dan terutama bila dikaitkan dengan apa yang telah dialami oleh BNI adalah bila L/C sebenarnya adalah semacam jaminan pembayaran yang dikeluarkan oleh issuing bank kepada eksportir melalui corresponding bank, maka bagaimana L/C bisa digunakan sebagai jaminan atau mendapatkan pencairan terlebih dahulu bahkan sebelum issuing bank mentransfer atau membayarkan sejumlah uang kepada corresponding bank-nya?

Pada dunia perbankan hal yang terutama mendasari atau yang menjadi pilar usaha perbankan adalah kepercayaan dan pelayanan. Banyak hal dalam praktek yang berdasarkan kepercayaan tersebut bank bisa memberikan pelayanan kepada nasabahnya meskipun ada berbagai persyaratan yang maish belum dipenuhi oleh nasabah penerima pelayanan tersebut. Praktek seperti ini, sekali lagi, timbul karena kepercayaan. Sehingga bank sedikit ”melonggarkan” prinsip 5C mereka. Selain L/C sebagai jaminan kita juga biasa mendengar mengenai pinjaman overdraft dari bank kepada nasabahnya.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dengan diterbitkannya L/C oleh issuing bank sebenarnya telah ada jaminan bahwa eksportir akan menerima pembayaran sejumlah uang yang tertera di dalam L/C. Dan pembayaran tersebut tidak dilakukan oleh importir secara langsung namun oleh issuing bank. Walaupun sebenarnya pada akhirnya issuing ban akan mengkreditkan pembayaran L/C tersebut kepada importir ditambah biaya fee. Walaupun sebenarnya pencairan L/C tersebut masih digantungkan pada sejumlah ketentuan atau persyaratan seperti kelangkapan dokuman-dokumen yang diminta.

Pada prakteknya, eksportir juga masih membutuhkan sejumlah dana untuk melakukan pengiriman (ekspor) barang kepada importir dan untuk mendapatkan sejumlah dana tersebut, maka nasabah meminta pencairan L/C terlebih dahulu kepada corresponding bank walaupun ketentuan atau pra-syarat yang diminta oleh issuing bank belum dilengkapi atau diberikan oleh eksportir kepada corresponding bank.

Karena adanya kepercayaan antara corresponding bank dengan eksportir –yang biasanya juga deposan atau nasabahnya, maka corresponding bank ”menalangi” pencairan sejumlah uang yang diminta oleh eksportir. Hal ini adalah murni diskresi dari corresponding bank sendiri karena pada kenyataannya issuing bank belum melakukan pembayaran atau pencairan sejumlah uang sebagamana tertera pada L/C tersebut. Hal seperti ini juga terjadi pada pinjaman overdraft dimana bank memberikan pinjaman kepada nasabah tanpa didahului adanya akad kredit.

Jaminan yang dipegang oleh corresponding bank dalam hal pencairan sejumlah dana yang tertera pada L/C sebelum adanya pembayaran oleh issuing bank adalah adanya dokumen L/C itu sendiri ditambah dengan kepercayaan corresponding bank kepada eksportir. Mengapa sorresponding bank cukup ”puas” dengan adanya dokumen L/C walaupun eksportir belum melakukan kewajibannya sebagaimana diminta, yakni menyerahkan dokumen-dokumen dan melakukan pengiriman barang atau komoditi karena sifat dari L/C itu sendiri yang sebagai sarana pembayaran yang telah diakui secara internasional.

Praktek sebagaimana diulas di atas sebenarnya belaku bagaikan ”pedang bermata dua” bagi corresponding bank. Karena di satu sisi bila corresponding bank tidak memberikan layanan sebagaiman dijelaskan di atas, maka ada kemungkinan eksportir akan memindahkan simpanan dan kerja samanya kepada bank lain. Di sisi lain bila corresponding bank memberikan layanan sebagaimana di atas, sebenarnya tidak ada jaminan bahwa issuing bank akan membayarkan atau mencairkan sejumlah uang sebagaimana tertera pada L/C karena adanya pra-syarat yang digantungkan terhadap pembayaran, yakni kelengkapan dokumen dan pengiriman barang atau komoditi yang diminta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara eksportir dan importir.

Namun, kembali lagi bahwa persaingan layanan perbankan semakin tajam dan kompetitif sehingga hal sebagaimana dijelaskan di atas maih marak terjadi. Namun sangat diharapkan bahwa corresponding bank sebelum memberikan layanan semacam ini mengetahui dengan betul kharakter eksportir karena bila yang terjadi sebaliknya, dimana eksportir melakukan transaksi fiktif, maka corresponding bank yang akan dirugikan. Bila corresponding bank yang dirugikan sebenarnya yang paling rugi adalah para deposan atau pemberi dana pihak ketiga yang menyimpan uang pada bank tersebut. (Thomas Hengky P.)


http://www.wealthindonesia.com/commercial-bank/letter-of-credit-sebagai-jaminan.html
DICKY ISKANDAR DI NATA DIVONIS 20 TAHUN PENJARA
Saturday, July 19, 2008 1:08 PM

Mantan Dirut PT Brocolyn International Dicky Iskandar Dinata



Metrotvnews.com, Jakarta: Dikcy Iskandar Di Nata, mantan bos PT Brocolyn International divonis 20 tahun penjara penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (20/6). Ia dinyatakan terbukti bersalah dalam pembobolan Bank Negara Indonesia Cabang Kebayoran Lama senilai Rp 2 triliun. Vonis hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum pada persidangan sebelumnya, yakni hukuman mati.

Persidangan berlangsung di Ruang Garuda PN Jaksel. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. "Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 tahun," ujar hakim majelis. Selain itu, hakim majelis juga menjatuhkan denda sebesar Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.

Vonis majelis hakim ini cukup mengejutkan warga yang menghadiri sidang. Padahal, majelis hakim sudah menyatakan unsur yang didakwakan jaksa penuntut umum sudah terpenuhi, terutama Pasal dua ayat 1 Undang-undang Nomor 20/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi, terutama soal memperkaya diri sendiri dan merusak perekonomian negara.

Itu terbukti dengan adanya aliran dana ke PT Brocolyn International yang dipimpin terdakwa sebesar US$ 2,99 dan Rp 49,2 miliar. Soal tidak dijatuhkannya hukuman mati sesuai dakwaan jaksa, majelis hakim menyatakan, itu karena JPU tidak menyertakan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 20/2002 dalam dakwaannya. Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 20/2002 tentang Tidak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman mati. JPU hanya mencantumkan Pasal 2 Ayat 1 yang mengatur hukuman maksimal seumur hidup.

Atas putusan ini, tim kuasa hukum Dicky yang diketuai Sahat Sihombing langsung menyatakan naik banding. Sementara Dicky tetap bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Menurut Dicky, dirinya hanya menjadi korban dalam polemik kasus letter of credit L/C BNI Kebayoran Baru. Dicky berpendapat, yang paling bersalah adalah para nasabah, yakni tersangka Paulina Pauline Lumowa, Adrian Waworuntu dan Jeffrey Baso.(DEN) >

http://202.158.49.22/berita.asp?id=18938
Media files
video-play.mp4 (MPEG-4 File, 0 bytes)
DAPATKAH INTERNAL AUDIT MENANGKAP FRAUD ?
Saturday, July 19, 2008 12:11 PM
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi sangat mustahil, bila fraud memang diciptakan oleh manajemen perusahaan. Sementara, salah satu tujuan internal audit adalah justru untuk menemukan penyimpangan, baik akibat dari misstatement yang disengaja (fraud) maupun yang tidak. Padahal menurut laporan “2002 Report to Nation on Occupatinal Fraud and Abuses” menyatakan bahwa aktivitas internal audit dapat menekan 35 % terjadinya fraud.

Jawaban pertanyaan diatas akan lebih sulit lagi ditemukan, bila pihak top manajemen justru berperan aktif dengan cara mendesain tugas-tugas internal audit diperusahaannya menjadi tugas yang ” sekedar” untuk menilai performance suatu bagian, bukan bekerja untuk memenuhi fungsi internal control. Dengan demikian, pihak manajemen berupaya membuat fraud menjadi tidak tersentuh oleh internal audit, bahkan menjadi mustahil untuk ditemukan.

Biasanya, selain mendesain agar aktivitas internal audit menjadi lumpuh, fraud yang masif dilakukan melalui trik pembuatan laporan keuangan ganda. Laporan keuangan yang telah dimanipulasi, disiapkan secara khusus untuk dikonsumsi oleh auditor, sedangkan laporan yang aktual - laporan yang benar-benar menggambarkan kondisi aktual keuangan perusahaan - hanya didistribusikan untuk kalangan eksklusif dilingkungan top manajemen.

Masif Fraud di Phar Mor Inc.

Sejarah mencatat kasus Phar Mor Inc. sebagai kasus fraud yang me-legenda dikalangan auditor keuangan. Eksekutif di Phar Mor secara sengaja melakukan fraud untuk mendapatkan keuntungan financial yang masuk ke saku pribadi individu di jajaran top manajemen perusahaan.

Phar Mor Inc, termasuk perusahaan retail terbesar di Amerika Serikat yang dinyatakan bangkrupt pada bulan Agustus 1992 berdasarkan undang-undangan U.S. Bangkruptcy Code.

Pada masa puncak kejayaannya, Phar Mor mempunyai 300 outlet besar di hampir seluruh negara bagian dan memperkerjakan 23,000 orang karyawan. Produk yang dijual sangat bervariasi, dari obat-obatan, furniture, electronik, pakaian olah raga hingga videotape. Dalam melakukan fraud, top manajemen Phar Mor membuat 2 laporan ganda. Satu laporan inventory, sedangkan laporan lain adalah laporan bulanan keuangan (monthly financial report). Satu set laporan inventory berisi laporan inventory yang benar (true report), sedangkan satu set laporan lainnya berisi informasi tentang inventory yang di adjustment dan ditujukan untuk auditor use only.

Demikian juga dengan laporan bulanan keuangan, laporan keuangan yang benar - berisi tentang kerugian yang diderita oleh perusahaan, ditujukan hanya untuk jajaran eksekutif. Laporan lainnya adalah laporan yang telah dimanipulasi sehingga seolah-olah perusahaan mendapat keuntungan yang berlimpah.

Dalam mempersiapkan laporan-laporan tersebut, manajemen Phar Mor sengaja merekrut staf dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Cooper & Lybrand. Staf-staf tersebut yang kemudian dipromosikan menjadi Vice President bidang financial dan kontroler, yang dikemudian hari ternyata terbukti turut terlibat aktif dalam fraud tersebut.

Dalam kasus Phar Mor, salah satu syarat agar internal audit bisa berfungsi, yaitu fungsi control environment telah diberangus. Control environment sangat ditentukan oleh attituted dari manajemen. Idealnya, manajemen harus mendukung penuh aktivitas internal audit dan mendeklarasikan dukungan itu kesemua jajaran operasional perusahaan. Top manajemen Phar Mor, tidak menunjukkan attitude yang baik. Manajemen kemudian malah merekrut staf auditor dari KAP Cooper & Librand untuk turut dimainkan dalam fraud. Langkah ini bukan tanpa perencanaan matang. Staf mantan auditor kemudian dipromosikan menduduki jabatan penting, tetapi dengan imbalan harus membuat laporan-laporan keuangan ganda.

Sejauh ini manajemen Phar Mor telah membuktikan tentang teori : The Fraud Triangle. Yaitu teori yang menerangkan tentang penyebab fraud terjadi. Menurut teori ini, penyebab fraud terjadi akibat 3 hal : Insentive/Pressure, Opportunity dan Rationalization/Attitude.

Insentive/Pressure adalah ketika manajemen atau karyawan mendapat insentive atau justru mendapat tekanan (presure) sehingga mereka “commited” untuk melakukan fraud. Opportunity adalah peluang terjadinya fraud akibat lemahnya atau tidak efektivenya control sehingga membuka peluang terjadinya fraud. Sedangkan Rationalization/Attitude menjelaskan teori yang menyatakan bahwa fraud terjadi karena kondisi nilai-nilai etika lokal yang membolehkan terjadinya fraud.

Dalam kasus Phar Mor, setidak-tidaknya top manajemen telah membuktikan satu dari tiga penyusun triangle, yaitu : top manajemen telah melakukan Insentive/Pressure.

Kasus Underlying L/C di BNI

Kasus fraud di BNI yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 1,7 trilyun, menarik untuk dikaji.

Kasus ini justru terkuak oleh kecurigaan Kepala Divisi Internasional terhadap kejanggalan prosedur L/C BNI Cabang Kebayoran Baru.

Berdasarkan Laporan dari Divisi Internasional yang direlease pada tanggal 7 Agustus 2003, kemudian Direktur Utama BNI menurunkan tim audit khusus untuk mendalami kasus ini. Hasilnya, Laporan tim audit khusus yang direlease pada awal September 2003 membuktikan kebenaran pembobolan uang negara sebesar Rp. 1,7 trilyun.

Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah : mengapa tim internal audit tidak dapat menangkap fraud ini ? Sehingga laporan adanya fraud justru di-release oleh Pimpinan Divisi Internasional yang curiga atas penyimpangan prosedur L/C di BNI Cabang Kebayoran Baru ? apakah pada saat itu aktivitas internal audit memang dilumpuhkan oleh oknum manajemen BNI Cabang Kebayoran Baru ? Atau oknum manajemen BNI Cabang Kebayoran Baru sudah mendesain laporan dan aktivitas sehingga tidak tersentuh oleh aktivitas internal audit ?

Pimpinan BNI mungkin sudah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kegagalan internal audit dalam mengungkap fraud. Tetapi bila fraud memang telah didesain oleh oknum manajemen di BNI Cabang Kebayoran Baru, maka salah satu tugas top manajemen BNI adalah menciptakan control environment sehingga aktivitas internal audit bisa berjalan sesuai fungsinya sebagai internal control.

Top manajemen harus mendeklarasikan dukungan penuh terhadap aktivitas internal audit keseluruh jajaran departemen di lingkungan BNI. Setelah itu baru menata kembali integritas dan moral petugas auditor, sehingga fungsi internal audit bisa berjalan sebagaimana mestinya.


http://greenlinerancage.com/dapatkah-internal-audit-menangkap-fraud/
Kasus BNI Kebayoran Baru; Dirut Telkom Diperiksa Hari Ini
Saturday, July 19, 2008 11:58 AM
By icwweb

Tetapi kapasitasnya sebagai mantan Wakil Direktur Utama BNI ketika pembobolan BNI Kebayoran Baru terjadi, bukan Dirut Telkom, ungkap sumber Media di Mabes Polri, kemarin.

Menurut dia, pemeriksaan dijadwalkan berlangsung mulai pukul 10.00 WIB. Namun apakah Arwin akan menghadiri pemeriksaan atau tidak, dia menyatakan tidak tahu. Kita tunggu sajalah, cetusnya.

Pemeriksaan Arwin merupakan langkah awal dari penuntasan kembali penyidikan kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru karena diduga pencairan L/C (letter of credit) atas sepengetahuan Direksi BNI saat kasus tersebut terjadi. Berikutnya juga akan diperiksa mantan-mantan pejabat BNI lainnya, tuturnya.

Dia menambahkan Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsyad juga akan diperiksa. Namun pemeriksaan dijadwalkan Jumat (30/9).

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Aryanto Boedihardjo membenarkan rencana pemeriksaan Arwin Rasyid dan Mohammad Arsyad dan mantan pejabat pusat BNI. Mereka memang akan diperiksa, tetapi kapan saja jadwalnya, penyidik yang tahu, tutur Aryanto.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan Polri akan melakukan penyidikan ulang termasuk memeriksa kembali pejabat BNI pusat terkait pembobolan BNI Kebayoran Baru senilai Rp1,3 triliun. Ada indikasi keterlibatan pihak BNI pusat karena dalam pencairan L/C juga melibatkan kantor BNI Pusat, tegas Kapolri di sela-sela Rapat Kerja Panitia Ad Hoc II tentang Penanganan Kasus Korupsi di Indonesia dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, belum lama ini.

Status Ismoko

Sementara itu, Kepala Divis Propam Polri Irjen Jusuf Manggabarani kembali menegaskan bahwa status Ismoko tetap sebagai tersangka. Ismoko akan diperiksa kembali pekan ini.''Dia akan terus diperiksa sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang, maupun sebagai saksi dalam berkas tersangka Irman Santoso yang juga diduga penyalahgunaan wewenang,'' ujarnya ketika dihubungi Media, tadi malam.

Manggabarani, yang juga Ketua Tim Pemeriksa Penyimpangan Penanganan Kasus Korupsi BNI itu mengatakan tim yang dipimpinnya dibagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin Brigjen Indarto, yang juga Direktur Tindak Pidana. Tim ini memeriksa tersangka Komisaris Besar Irman Santoso dengan Ismoko sebagai saksi. Sedangkan kelompok yang dipimpin langsung Manggabarani memeriksa tersangka Ismoko, dengan saksi Irman Santoso dan beberapa saksi lainnya yakni ada sekitar 20 orang lebih.

Namun, Manggabarani tidak bersedia menyebutkan hasil penyidikan dari kedua tersangka itu. ''Kita semua melakukan penyidikan seakurat dan sesuai prosedur maupun hukum yang ada. Jadi, hasil penyidikan tidak bisa kita ungkap,'' kata Manggabarani.

Ketika disinggung soal tuduhan korupsi, selain tuduhan penyalahgunaan wewenang, menurut Manggabarani, bisa saja nanti berkembang. ''Semua itu kita lihat fakta-fakta yuridisnya. Tidak bisa kita main sangka dan main tuduh. Harus berdasarkan bukti,'' tegasnya. (Fud/San/J-2)

Sumber: Media Indonesia, 29 September 2005

http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&artid=5774
Senangnya Menipu BNI...
Saturday, July 19, 2008 11:55 AM
Jakarta, KCM

Seringkali kita mendengar bahwa tanda kebijaksanaan adalah belajar dari kesalahan. Belajar untuk tidak jatuh dua kali pada lobang yang sama. Tapi entah apakah para direksi BNI ikut berkaca dari petuah itu. Sebab nyatanya, mereka kelihatan tak pernah belajar dari kesalahan....
Sepanjang 2003, nama BNI kerap disebut sebagai bank yang paling sering terjerat skandal. Baru saja mengawali 2003, misalnya, nama bank nomor dua terbesar di Indonesia ini sudah tercoreng skandal pembobolan dana sebesar Rp195 miliar di Kantor Cabang Pembantu Radio Dalam.

Dana itu, kabarnya, berasal dari Bank Pembangunan Daerah Bali, yang semula disimpan dalam bentuk deposito on call (deposito yang sewaktu-waktu bisa dicairkan-red). Jadilah Agus Salim, Kepala Cabang BNI Cabang Pembantu Radio Dalam, meringkuk di tahanan polisi.

Toh, pembobolan di berbagai kantor cabang BNI tak kunjung berhenti. BNI Cabang Pondok Indah pun ikut kebobolan Rp65 miliar, dengan modus kredit fiktif.

Menyusul kemudian, BNI Cabang Tangerang, Banten yang juga "kemalingan". Dana Rp32,5 miliar dari kantor cabang itu, raib. Kasus di BNI Cabang Tangerang itu ternyata berasal dari kucuran kredit Rp44 miliar sejak 1999 sampai 2001, yang diterima Sugianta Chandra, direktur perusahaan farmasi PT Trijaya Manggalatama Farmanindo.

Satu lagi, pembobolan Rp6 miliar dengan modus permainan valuta asing. Sialnya, ini terjadi di BNI pusat dan justru disebut-sebut dilakukan Edi Warsito, salah satu pegawainya sendiri.

Puncak yang paling dahsyat memang terjadi enam bulan menjelang tutup tahun ini. BNI ?dihadiahi? bingkisan tutup tahun yang nyaris menghentikan degup jantung. Dari Kantor Cabang Utamanya di Kebayoran Baru, Rp1,7 triliun dananya bobol lewat 156 L/C (Letter of Credit) fiktif. Yang lebih mencengangkan, skandal itu sudah terjadi sejak Juli 2002 lalu dan baru tercium setelah berjalan hampir setahun.

Pasti libatkan orang dalam

Patgulipat menguras dana bank lewat L/C bodong seperti dialami Bank BNI memang bisa dibilang cara paling sering dilakukan oleh para kriminal berkerah putih. Agar lebih lancar, kerja sama dengan orang dalam mutlak diperlukan. Alasannya, biar "pencurian" itu kelihatan wajar, otorisasi transaksi diperlukan. Sehingga, duit tidak langsung nyelonong begitu saja ke pundi-pundi para pelaku.

Secara sederhana, permohonan L/C bisa diajukan ke bank baik di pusat maupun di cabang. Dana yang dikucurkan cabang untuk L/C biasanya jumlahnya dibatasi, tidak sebesar yang bisa dikeluarkan bank pusat. Itu pun harus melalui persetujuan berlapis baik di tingkat pimpinan cabang maupun pusat.

Dalam kasus BNI, pemohon L/C mengaku ingin memanfaatkan dana bank untuk membiayai ekspor komoditas seperti pasir kuarsa dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Pemohon yang selanjutnya disebut debitur itu terlebih dahulu harus memaparkan kondisi bisnisnya kepada pihak bank. Dari situ, bank pemberi L/C yang selanjutnya disebut kreditor bisa menilai apakah bisnis dimaksud layak atau tidak diberi kucuran dana L/C.

Tak hanya sampai di situ, debitor pun harus memiliki jaminan kalau bisnis dengan dana L/C itu gagal. Dalam kaitan di atas, debitor menyetor sejumlah dana kepada kreditor sebagai jaminan tadi.

Pada tahap ini, ternyata ada celah yang kerap dimanfaatkan baik oleh pihak debitor maupun kreditor. Kapasitas yang dipakai biasanya adalah kedekatan personal. Kawasan "abu-abu" inilah yang rawan bercampur dengan kepentingan pribadi, memperkaya diri sendiri. Jadilah, kerja sama dengan "orang dalam" terjalin.

Kalau mau dicermati seksama, kebanyakan kasus pembobolan bank seperti pernah diungkapkan pengamat ekonomi Chatib Basri kepada KCM beberapa waktu silam, sungguh-sungguh melibatkan orang dalam, termasuk otoritas pengawasan internal. Lain tidak!

Lalu, bila sudah begitu, performance alias proses pencairan L/C bisa diatur pengucurannya. Biasanya bertahap, cuma sering. Dalam kasus BNI, gara-gara begitu lancarnya pencairan 56,1 juta euro, Divisi Treasury BNI mengernyitkan dahi menengarai kejanggalan ini. Pasalnya, transaksi euro paling banter di BNI cuma 3-5 juta tiap bulannya.

Sesungguhnya, pengucuran dana L/C juga tidak bisa begitu saja turun tanpa ada penyelidikan ketat terhadap kualitas bisnis debitor. Setidaknya, tak cuma berhenti pada penelitian dokumen belaka. Dalam kasus BNI, ternyata, debitor dalam kelompok Gramarindo tidak pernah melakukan ekspor seperti dipaparkan sebelumnya. Selain tak disertai dokumen pemberitahuan ekspor barang, ironisnya, dokumen pengapalan (bill of lading/BL) pun fiktif.

Panen tersangka

Kini, tahanan Mabes Polri pun panen tersangka. Kapala Cabang BNI Kebayoran Baru, Kusadiyowono dan Kepala Costumer Service dan Luar Negerinya, Edy Santoso, langsung masuk bui. Menyusul di belakang mereka sepuluh bos perusahaan yang menerima kucuran dana Rp1,7 triliun itu. Di antaranya Adrian Woworuntu, John Hamenda, Jeffrey Baso, Titik Tristiwanti dan Jane Iriani Lumowa, adik kandung Maria Pauline Lumowa.

Menurut Direktur II Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko, Jane berperan besar dalam transaksi perusahaan-perusahaan kakaknya dengan BNI. " Ada beberapa rekeningnya. Tapi, ini makanya sedang kita telusuri untuk dibuka semua. Yang jelas, kita kan belum menangkap Maria Pauline. Jadi kita ambil dia dulu," tegas Ismoko, Jum?at (21/11).

Bola liar

Kalau saja tak ada lembar fax yang menggelinding masuk kantor Mabes Polri, empat bulan lalu, mungkin skandal Rp1,7 triliun di BNI Cabang Utama Kebayoran Baru itu cuma akan jadi dongeng pengantar tidur. Meski begitu, intensitas penyidikan polisi terhadap kasus ini cenderung tak konsisten.

Walau banyak tersangka kasus ini yang sudah ditahan, yang masih berkeliaran pun tak kurang banyaknya. Maria Pauline Lumowa, misalnya. Perempuan pemilik PT Sagared Team dan PT Oenam Marble Industry ini tampaknya akan tenang-tenang saja menyusuri pusat perbelanjaan
Singapura. Polisi seperti tak berdaya menjangkau perempuan yang disebut-sebut menjadi ?pemain utama? skandal Rp1,7 triliun ini. "Gimana mau pulang ke Indonesia kalau belum-belum sudah diancam dan dituduh sebagai pembobol?" keluh Maria selalu, ketika diwawancara beberapa media massa dalam negeri.

Bahkan, Kapolri Jenderal Pol Da?i Bachtiar yang lalu memberikan jaminan keamanan pada Maria jika mau menyerahkan diri pun, tak membuat langkah perempuan bertubuh tambun itu mau berbalik masuk Indonesia.


Padahal, kedatangannya amat ditunggu untuk membuat jelas semua liku pembobolan ini. Termasuk, menjelaskan keterkaitan nama pengusaha Steady Safe Yoppie Widjaja, Kanwil X Jaksel Heru Sardjono, Pengusaha Rudy Sutopo, Mantan Kapolda NTT Brigjen Pol Jacky Ullie, Mantan Menkop Adi Sasono sampai mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Wiranto dalam kasus ini.

Skandal BNI Rp1,7 triliun ini memang bak bola liar. Tak heran, jika ada penyebutan sebuah nama yang dikaitkan dalam kasus itu, seketika timbul kontroversi. "Saya kan bekas menteri. Masak hanya dapat segitu?" seloroh Adi Sasono, mantan Menkop yang namanya sempat disebut-sebut dalam bank book PT. Oenam Marble dan dikucuri dana Rp150 Juta, saat dihubungi KCM Senin (15/12).

Wiranto, yang disebut-sebut oleh Edy Santoso (Kepala Costumer Service dan Luar Negeri) sempat mengadakan pertemuan dengan Maria Pauline Lumowa, bahkan serta merta membuat bantahan. "Pak Wiranto tak pernah sedikit pun ada kaitannya dengan ini (skandal BNI) dan akan mengajukan gugatan hukum jika namanya tetap dikaitkan," ujar Yan Djuanda, kuasa hukum Wiranto.

Polisi, lamban atau ikut main?

Anehnya, suasana keruh di seputar aliran dana BNI itu hanya seperti tontonan bagi polisi, tanpa inisiatif untuk memanggil Wiranto ataupun Adi Sasono guna dimintai keterangan. Padahal, Adi justru ingin polisi meneliti rekeningnya agar kasak-kusuk namanya dalam skandal ini berakhir. "Silakan periksa rekening saya kalau memang benar polisi punya bukti saya terima (uang) itu," tegas Adi kepada KCM, Senin (15/12).

"Jangan kait-kaitkan ke situ (Wiranto-red). Sama sekali nggak ada," begitu selalu bantahan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Erwin Mapasseng kepada wartawan.

Nama Wiranto memang mulai mencuat ketika Tito Sulistiyo, salah satu anggota tim suksesnya, diketahui pernah menjual rumahnya di Pasar Minggu sejumlah Rp23 Milyar pada Adrian Waworuntu, salah satu tersangka utama kasus ini.

Tak mudah untuk mengurai kerumitan skandal BNI ini, karena disebut-sebut berbagai pihak ikut terlibat. Kabarnya, para pelaku berasal mulai dari kalangan dalam BNI, para kroninya...dan juga polisi. Beberapa sumber di kepolisian sempat bercerita bahwa banyak pemain lama dan broker di seputar skandal ini yang telah punya urat akar pertemanan yang solid dengan beberapa petinggi Polri. Begitu tersamarnya keeratan pertemanan itu, kata sumber-sumber itu, sehingga sulit dibuktikan dan hanya bisa dipercaya.

Jika memang benar, bisa dimengerti mengapa polisi kelihatan tertutup hampir pada sebagian besar kasus yang berbuntut pergantian direksi BNI ini. Pemeriksaan dirut BNI Saifuddien Hasan, Kamis (11/12) lalu, hanya menghasilkan kesimpulan kecil bahwa "Menurut Pak Saifuddien , pencairan L/C itu wewenang Kepala Cabang dan itu berlaku otonom," ujar Direktur II Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko, kepada KCM.

Padahal, dana sebesar itu tak pernah mungkin keluar dengan mulus dari sebuah kantor cabang tanpa sepengetahuan Direksi BNI dan Kanwil X BNI sebagai pengawas kantor-kantor cabang yang menjadi tanggung jawab mereka. Modus-modus L/C bodong, transaksi fiktif, permainan valas dan sejenisnya, mestinya sudah diwaspadai dan dipantau ketat oleh bank sekelas BNI.

Toh nyatanya, baik pihak BNI atau juga polisi nyaris setali tiga uang. Alasan pendalaman materi masih di seputar pengecekan lapangan, seringkali menjadi alasan aman untuk menghindari kejaran pers terhadap penelusuran kasus ini. Memang, kasak-kusuk adanya permainan uang dalam perjalanan skandal Rp1,7 trilyun ini pun sempat merebak. Tapi, lagi-lagi yang ada hanya bantahan.

Kita yang awam ini akhirnya hanya bisa menunggu sambil berharap semoga polisi memang fair dalam menyidik kasus ini. Jika tak serius, mungkin sebagian besar dari kita hanya bisa menyayangkan dan lalu terpaksa melupakan. Karena, nyatanya tak cukup kekuatan untuk mengurai sebuah sistem yang sudah kusut masai. Dan, para tersangka lain yang tak tersentuh itu tetap bernapas lega sambil bergumam "Senangnya menipu BNI...." (Lily Bertha Kartika/ Josephus Primus)

http://www.forum.santoaloysius.com/viewtopic.php?t=262&sid=d322fe394d1417a1da653220aea9caab
L/C Fiktif Disetujui BNI Pusat
Saturday, July 19, 2008 11:48 AM
Klarifikasi Kacab yang Dipecat

SEMARANG- Mantan Kepala Cabang (Kacab) BNI Magelang Tuti Andrasih mengemukakan, pihaknya menyetujui letter of credit (L/C) senilai 7,5 juta dolar AS setelah mendapat persetujuan dari Divisi Internasional Bank BNI Pusat. Oleh kantor pusat, L/C tersebut dinyatakan tidak bermasalah dan layak untuk dicairkan.

"L/C-nya setelah dicek oleh kantor pusat secara teliti memang asli dan sudah diperiksa dengan perangkat canggih yang dimiliki BNI. Artinya, kalau kantor pusat meneruskan ke cabang berarti tidak ada masalah," ungkap dia didampingi mantan Manajer Operasional BNI Magelang Indarto Kusumo di kantor Suara Merdeka Jalan Kaligawe, kemarin.

Seperti diberitakan (SM, 14/1), Dirut BNI Sigit Pramono memecat Tuti Andrasih dan Indarto Kusumo terkait dengan kasus pembobolan dengan modus L/C senilai Rp 24 miliar. Saat kasus terjadi pada periode Februari-Desember 2003, keduanya masih menjabat sebagai kepala cabang dan manajer operasional.

Tuti mengatakan, pihaknya sebelumnya juga tidak mengetahui jika dokumen ekspor yang digunakan dalam proses mendapatkan L/C ternyata palsu. Itu baru diketahuinya setelah dicek oleh tim dari Kanwil Jateng dan Pusat di Tanjungpriok yang ternyata tidak ada kegiatan ekspor sebagaimana tertera di dokumen L/C. Pengecekan dilakukan pada akhir 2003.

"Dari sinilah kemudian saya baru menyadari, bahwa ada kesalahan, kami telah ditipu oleh eksportir tersebut. Dalam hal ini saya merasa dijebak, padahal awalnya orangnya baik," ujar dia.

Berusaha Menagih

Meski demikian, dia bersama tim di BNI Magelang terus berusaha menagih agar kreditnya bisa terbayar. Upaya itu membawa hasil. Dari 11 dokumen senilai Rp 7,5 juta dolar AS yang telah dicairkan, sudah terbayar 4,3 juta dolar AS. Sisanya, 3,6 juta dolar AS, belum terbayar.

"Pada 22 Oktober 2003, saya ditelepon Biro Hukum BNI bahwa ada outstanding 3,6 juta dolar AS belum terbayar," jelasnya.

Dia mengungkapkan, jumlah nilai tersebut terdiri atas lima dokumen. Perinciannya, 1 dokumen jatuh tempo pada November 2003, 2 dokumen jatuh tempo Februari 2004, dan 2 dokumen jatuh tempo Maret 2004. Dengan berbagai cara, timnya dapat menagih kredit 500.000 dolar AS.

Dengan demikian, ungkap dia, jumlah yang belum terbayar hingga sekarang Rp 3,1 juta dolar AS atau lebih kurang Rp 21 miliar (bukan Rp 24 miliar seperti diberitakan sebelumnya). Adapun waktu jatuh tempo pembayaran L/C tersebut adalah Februari dan Maret mendatang.

"Saya juga tidak tahu, kenapa masalah ini dilaporkan ke polisi, sedangkan kami masih berusaha keras agar eksportir segera menyelesaikan kewajibannya."

Padahal, lanjut Tuti, eksportir dari PT PC dengan perusahaan terkait, yakni PT MT, PT PK, dan PT GP berjanji menyelesaikan kewajiban paling lambat akhir Januari ini. "Karena kasusnya sudah ditangani polisi, dokumen ekspor diblokir. Ini menjadikan dilema bagi saya, pada sisi lain mereka (eksportir-Red) mau menyelesaikan, namun pada sisi lain dokumennya tidak bisa keluar karena sudah ditangani polisi," jelasnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, setelah mendapat kabar dari Biro Hukum pada Oktober 2003, pihaknya langsung mengamankan jaminan dengan membuat surat hipotek senilai Rp 30 miliar dan dengan diikat hak tanggungan Rp 28 miliar. "Jadi sebelum ini terjadi, kami telah mengambil alih dokumen surat pernyataan untuk menjaminkan harta bendanya. Klausul itu kemudian kami hipotekkan. Dasarnya, surat-surat dan sertifikat atas tanah dan bangunan di sejumlah tempat di Jakarta sudah dicek dan benar adanya."

Bila melihat jaminan tersebut, dia menjelaskan, sebenarnya masih lebih besar dari nilai utang yang belum terbayar. "Saya sampai sekarang juga tidak tahu kenapa dilaporkan ke polisi," ujarnya.

Ketika didesak nama pengusaha eksportirnya, Tuti belum bersedia menyebutkan. "Saya harus minta izin dengan mereka, kalau tidak nanti saya salah lagi."

Tuti membantah, jika nasabah eksportir yang kini membuat dia bermasalah ada kaitannya dengan perusahaan yang terlibat kasus L/C fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta.

"Dia (eksportir-Red) memang pernah bekerja sama dengan perusahaan yang terkait kasus di BNI Kabayoran Baru, tetapi saat menjadi nasabah kami sudah berdiri sendiri," jelasnya.

Terlacak Lagi

Sementara itu, satu lagi perseroan terbatas (PT) fiktif yang digunakan untuk membobol Bank BNI Cabang Magelang Rp 24 miliar, terkuak identitasnya. Yaitu, PT Gema Usaha Putra Jawa (GUPJ) yang beralamat di Jl Raden Saleh 1, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang.

Kelihatannya alamat ini dipakai pula untuk kantor PT Maestro Interbuana (MI) yang juga perusahaan fiktif seperti yang diungkapkan sumber Suara Merdeka, beberapa hari lalu. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan satu alamat dipakai untuk dua kantor.

Sebuah perusahaan fiktif lagi yang sudah terungkap identitasnya adalah PT Prasetya Cipta Tulada (PCT) yang beralamat di Jl Pahlawan 16, Prajenan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dengan demikian, tinggal sebuah PT lagi yang hingga sekarang belum terkuak identitasnya.

Munculnya nama PT GUPJ setelah Suara Merdeka berhasil menghubungi pengelola rumah di Jl Raden Saleh 1. Rumah itu ternyata milik Yayasan Kesehatan Kristen untuk Masyarakat Umum (Yakkum). "Yang menyewa rumah bukan PT MI, melainkan PT GUPJ," ujar Ketua Yakkum, Darto BA, Rabu kemarin.

Pernah Ditegur

Ternyata yang menjabat Direktur PT GUPJ sama dengan Direktur PT PCT yakni Hikmat Subiadinata (37). Kemungkinan dia pula yang menjabat sebagai Direktur PT MI ataupun direktur sebuah perusahaan fiktif lainnya yang belum terungkap identitasnya. Yang berbeda antara PT GUPJ dan PT PCT hanya alamat direkturnya.

Ketika mengontrak rumah untuk kantor PT PCT, Hikmat Subiadinata beralamat di Plaza GRI 14 th Floor, Jl HR Rasuna Said Blok X-2 No 1 Jakarta. Saat menandatangani kontrak sewa rumah untuk kantor PT GUPJ, dia beralamat di Jl Pejompongan III/1, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Darto menerangkan, rumah milik Yakkum itu disewa selama setahun mulai 16 Mei 2003 hingga 15 Mei 2004 dengan harga Rp 8 juta. Penandatanganan perjanjian sewa-menyewa dilakukan di depan notaris Elizabeth Sri Murtiwi. "Saya belum pernah ketemu dengan Hikmat karena yang menangani karyawan Yakkum," tuturnya.

Mulanya Darto mendapat laporan dari karyawan tersebut, rumah di Jl Raden Saleh 1 akan disewa untuk kantor sebuah perusahaan. Urusan tersebut diserahkan kepada bawahannya itu. Karena tidak pernah bertemu Hikmat, Darto tidak tahu rumah itu akan dipakai untuk kantor perusahaan apa. "Yang saya heran, rumah sudah disewa kok kosong terus, tidak ada kegiatan," ujarnya.

Setelah kasus bobolnya Bank BNI Magelang dimuat surat kabar, baru dia tahu rumah itu ternyata dikontrak sebagai kantor perusahaan fiktif.

Sementara itu, Ketua RT 2 RW 1 Kelurahan Potrobangsan Drs Edy Sutrisno menerangkan, rumah itu ramai pada Juni - Juli 2003. Namun ruangan dalam rumah dibiarkan kosong tanpa perabotan. Yang ada hanya sebuah lemari estalase aluminium.

"Sebagai Ketua RT, saya pernah menegurnya karena sudah beberapa hari tidak melaporkan kepindahannya. Ketika saya tanya mau dipakai untuk apa rumah ini, salah seorang penghuni mengatakan, untuk berjualan handphone. Heran saya, mau membuka usaha kok tidak mengurus surat-surat seperti HO dan sebagainya. Kalau mau mengurus izin dia kan harus minta surat pengantar dari saya sebagai Ketua RT."

Sesudah bulan Juli rumah itu mulai sepi. Lemari etalase aluminium juga sudah tidak kelihatan lagi. Penjagaan rumah kosong itu diserahkan kepada seorang penunggu. Diduga karena tidak dibayar, penjaga rumah lalu menghilang.

"Sejak awal saya sudah curiga, mau usaha handphone kok tidak buka-buka. Lemari etalase juga tidak nambah, sejak awal cuma satu terus. Jadi keadaannya sejak awal memang sudah janggal," tegasnya.

Kalau digunakan untuk kantor sebuah PT, tambah Edy, papan namanya kok tidak dipasang dan tidak ada karyawan yang bekerja setiap hari seperti layaknya sebuah perusahaan. (G2,P60-23,33jn)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/15/nas1.htm
Menyikapi Skandal L/C Ekspor BNI
Saturday, July 19, 2008 11:43 AM
Djoko Retnadi

SKANDAL letter of credit (L/C) ekspor Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun menyiratkan tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian di masa mendatang. Ketiga hal tersebut adalah :

pertama, tanggung jawab direksi sebuah bank jika terjadi kesalahan yang dilakukan jajaran pegawai di tingkat bawah.

Kedua, bagaimanakah cara menjamin implementasi tata kelola (good corporate governance/GCG) pada sebuah perusahaan dapat terlaksana dengan baik.

Ketiga, bagaimanakah seyogianya sistem pengawasan intern bank untuk mencegah agar pegawai di tingkat paling bawah tidak melakukan kecurangan yang akan berakibat pada kerugian bank. Pengawasan intern ini harus dirancang agar dapat mencegah potensi kerugian bank yang dapat dilakukan oleh pegawai di semua lini, bahkan dengan cara yang paling sederhana dan kasar (vulgar) sekalipun.

MENGIKUTI pemberitaan media belakangan ini, jelas modus operandi pembobolan L/C ekspor Bank BNI tampaknya sangat sederhana dan cukup kasar. Skandal yang terjadi terkesan sangat "kuno" karena sumber masalah dari skandal tersebut adalah adanya permainan yang melibatkan orang dalam. Karena menyangkut perilaku dan sikap mental pegawai, maka persoalan pengawasan internal tampaknya menjadi kurang bermakna. Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, jelas sekali para pejabat yang seharusnya melaksanakan pengawasan melekat justru mengabaikannya.

Kewenangan penyelesaian transaksi L/C ekspor, berapa pun nilainya menjadi kewenangan penuh pejabat di kantor cabang Bank BNI. Akibatnya, sekali pejabat puncak di kantor cabang tersebut memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan, maka akan cukup sulit atau memerlukan waktu relatif lama bagi pihak di luar kantor cabang untuk dapat mendeteksi adanya kecurangan tersebut. Sistem dan prosedur yang berlaku di Bank BNI ini sebenarnya berlaku secara umum di perbankan nasional.

Lebih-lebih transaksi L/C ekspor yang bersifat berjangka (usance L/C), tanpa adanya diskonto terhadap wesel ekspor tersebut maka bank tidak akan memiliki kewajiban efektif hingga masa jatuh tempo wesel berjangka tersebut. Alat kontrol pencatatan wesel ekspor berjangka yang belum terbayar adalah berupa buku catatan L/C ekspor yang belum dibayar (register) (biasanya buku ini sudah tidak dipelihara lagi karena adanya sistem komputerisasi) dan rekening administratif L/C ekspor yang belum terbayar (off balance sheet account). Karena minimnya alat kontrol L/C yang belum terbayar, tidak mustahil pihak auditor internal cukup sulit memantau eksistensi transaksi L/C ekspor berjangka ini.

Skandal L/C ekspor Bank BNI ini sebenarnya tidak terlalu ruwet. Sebagaimana praktik umum perbankan, L/C ekspor merupakan transaksi umum yang dianggap berisiko rendah karena risiko yang melekat padanya adalah risiko operasional. Artinya, sepanjang petugas bank melakukan transaksi sesuai pedoman yang ditetapkan, transaksi tersebut seharusnya tidak akan menjadi masalah. Masalah akan terjadi, misalnya, karena adanya kesalahan dalam membaca prosedur. Namun dalam hal kesalahan karena adanya unsur kesengajaan, transaksi bank yang rawan terhadap pembobolan oleh petugas bank sangat banyak, tidak terbatas hanya L/C ekspor saja.

Sebagai contoh, sama halnya soal prosedur pelayanan pembukaan simpanan deposito. Sampai saat ini tidak ada satu bank pun yang melibatkan direksi bank untuk melayani pembukaan deposito, berapa pun jumlah uang yang akan disimpan oleh nasabah. Tindakan paling jauh yang dilakukan petugas bank adalah mengonfirmasikan ke kantor pusat bank soal negosiasi suku bunga yang diberikan dan akan adanya tambahan likuiditas untuk keperluan manajemen likuiditas bank secara keseluruhan.

Adapun soal pelayanan transaksi pembukaan deposito, seluruhnya diserahkan kepada petugas di kantor cabang. Pemimpin cabang sebagai pejabat tertinggi di jajaran kantor cabang berwenang untuk menandatangani bilyet deposito berapa pun jumlahnya. Dapat dibayangkan jika petugas bank tidak tertib mengikuti prosedur pembukaan deposito dan justru menyalahgunakan transaksi tersebut (misalnya menerbitkan bilyet deposito aspal), tidak mustahil bank akan kebobolan dalam jumlah yang signifikan.

Memang seperti itulah karakteristik transaksi yang dianggap hanya mengandung risiko operasional. Karena frekuensi transaksi sangat tinggi, maka sepanjang prosedur transaksi ditaati sepenuhnya oleh petugas bank, bank tidak akan mengalami masalah. Dari uraian tadi jelas bahwa kasus L/C Bank BNI hanyalah satu kasus kecil di antara ribuan potensi kasus transaksi lain (selain L/C ekspor) yang mungkin terjadi jika petugas bank ikut bermain di dalam transaksi bank.

Tangung jawab direksi

Sebagai pihak yang ditugasi oleh pemilik untuk mengelola bank, jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap bank yang mereka kelola, direksi harus bertanggung jawab sepenuhnya. Namun demikian, tanggung jawab direksi harus dilihat dalam konteks korporat. Artinya, direksi tidak dapat disalahkan dalam kasus transaksi pembobolan L/C ekspor tersebut, namun secara finansial direksi bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita Bank BNI. Kesalahan utama direksi Bank BNI terletak pada pemilihan pemimpin cabang yang ternyata tidak dapat mengemban amanah yang didelegasikan direksi Bank BNI.

Dengan demikian, hal yang harus diperbaiki direksi Bank BNI adalah bagaimana mengurangi potensi pegawai berlaku merugikan perusahaan. Selain itu, pengawasan internal mungkin perlu juga diperbaiki, namun di dalam praktik, peningkatan pengawasan internal ini acapkali berseberangan dengan keinginan bank dalam meningkatkan kualitas layanan. Adanya semacam service control trade off jelas memerlukan seni tersendiri untuk mengelolanya agar tercapai kondisi yang optimal. Bisa dibayangkan, betapa repotnya direksi bank jika setiap kali ada transaksi pembukaan deposito, pembukaan L/C ekspor, penerimaan setoran tabungan, dan sebagainya harus memberikan persetujuannya. Akhirnya, pemberian delegasi wewenang oleh direksi bank kepada jajaran di bawahnya memang harus didukung kondisi menguntungkan, baik dari sisi direksi maupun pegawai yang akan diberikan wewenang.

Praktik GCG

Menarik sekali apa yang diucapkan Ross Wraight, Chief Executve Standard Australia, bahwa "di masa mendatang, berbagai skandal penipuan dan korupsi dalam sebuah organisasi akan dilihat sebagai cermin kegagalan sebuah organisasi dalam memenuhi kewajiban tata kelola perusahaan yang baik, good corporate governance". Berkaca pada kasus L/C ekspor Bank BNI, jelas sekali bahwa implementasi GCG sampai saat ini belum seluruhnya merasuk pada sebagian kecil jajaran pegawai Bank BNI. Selain masih minimnya perundang-undangan yang mengatur mengenai tata kelola perusahaan yang baik, kondisi eksternal yang dihadapi oleh seluruh pegawai Bank BNI jelas sangat mempengaruhi perilaku mereka.

Praktik GCG di negara tetangga terdekat seperti Australia diatur dengan rinci. Dikenal adanya Australian Standard (AS), yaitu berbagai ketentuan standar yang harus dipenuhi seluruh institusi bisnis. Dikenal pula adanya AS 800 yang mengatur Good Corporate Governance Principles, AS 8001 tentang Fraud and Corruption Control, AS 8002 tentang Organisational Codes and Conduct, AS 8003 tentang Corporate and Social Responsibility, dan AS 8004 tentang Whistleblower Protection Program for Entities.

Berkaitan code of conduct, masih menurut Wraight, "sebuah organisasi yang memiliki corporate conduct sangat buruk akan menemukan permasalahan serius seperti adanya manajer yang memperjualbelikan informasi untuk memperoleh keuntungan finansial maupun hadiah atau entertain yang sangat tidak dapat ditolerir. Tindakan ini dapat menimbulkan beban pada perusahaan, integritas perusahaan, dan menurunkan reputasi perusahaan".

Pengawasan intern

Pengawasan intern bank pada umumnya bekerja secara berkala dan memeriksa transaksi dengan menggunakan sistem sampling. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa sebagus apa pun sistem pengawasan internal dilakukan, bank tidak akan kebobolan. Tidak mungkin bagi sebuah bank untuk melakukan pengawasan intern dengan meneliti seluruh populasi yang terjadi. Selain akan memakan biaya dan waktu, cara seperti ini akan sangat mengganggu unit operasional yang bertugas melayani nasabah. Menyadari kondisi tersebut, tidak salah jika secara umum bank menerapkan sistem pengawasan melekat di dalam unit kerja tersebut.

Artinya, bank tidak boleh membiarkan seorang petugas melayani sebuah transaksi secara sendirian. Dalam melakukan suatu transaksi, seorang pegawai bank akan diawasi atasannya. Bahkan, dalam sistem pengawasan melekat di beberapa bank, pengawasan tersebut melibatkan sedikitnya tiga pejabat bank, yaitu maker, checker, dan signer. Namun, apalah artinya pengawasan jika yang diawasi ternyata secara kompak melanggar prosedur, tidak ada lagi pihak yang dapat mendeteksi pelanggaran.

Beberapa catatan

Kasus L/C ekspor Bank BNI hanyalah satu skandal dari beribu potensi skandal yang mungkin terjadi di perbankan. Potensi kerugian bank tidak terbatas pada transaksi L/C ekspor saja, namun menyangkut sebagian besar transaksi keuangan yang dilakukan di kantor cabang. Tuntutan adanya pengawasan intern yang semakin ketat dirasakan kurang menjawab persoalan pada aspek kelancaran pelayanan dan efisiensi operasional kantor cabang. Lebih-lebih bagi sebuah kantor cabang yang memiliki transaksi ribuan setiap harinya. Salah satu cara mengurangi potensi risiko kerugian bank akibat pelanggaran prosedur oleh petugas bank di jajaran paling bawah adalah perlu peninjauan kembali berbagai prosedur yang mengandung kerawanan.

Jelas bahwa bank harus memperhatikan kualitas layanan. Jangan sampai karena ingin menegakkan prosedur secara ketat akhirnya pelayanan nasabah menjadi terlambat dan menyebabkan petugas pelayanan menjadi stres berat. Hal ini jelas akan menciptakan suasana kerja yang kurang kondusif, khususnya bagi pegawai yang tidak memiliki itikad buruk.

Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, mengingat transaksi L/C sampai saat ini hanya diawasi melalui rekening administratif (off balance sheet account), kiranya perlu ditinjau kembali perilaku berbagai transaksi bank yang akan menimbulkan pos kontijensi. Tidak ada salahnya, mengingat transaksi L/C ekspor selama ini tidak sebanyak transaksi untuk setoran dan penarikan uang di teller, kewenangan melakukan transaksi pemimpin cabang seyogianya dibatasi. Contohnya jika terdapat L/C ekspor dalam nilai tertentu, negosiasi dan kelengkapan dokumen seyogianya dilaporkan ke pejabat di atas pemimpin cabang sebelum bank melakukan pembayaran.

Kebijakan semacam itu perlu juga diterapkan untuk transaksi lain yang kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi bank apabila petugas bank di jajaran paling bawah ikut bermain dalam transaksi itu.

Djoko Retnadi Kepala Riset Grup Bank BRI, Kantor Pusat Jakarta

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0311/06/finansial/673274.htm
DPR Desak Mundur, BPK Siap Audit
Saturday, July 19, 2008 11:35 AM
Sabtu, 1 November 2003

Dua Tersangka Berada Di Singapura


JAKARTA - Posisi direksi PT Bank BNI Tbk pasca meledaknya kasus manipulasi kredit eksport (L/C, letter of credit) senilai Rp 1,7 triliun makin tersudut. Setelah Men BUMN mengancam akan melengserkan direksi dan Bank Indonesia (BI) yang meminta perbertanggungjawaban manajemen, kini giliran DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang buka suara.

Ketua sub komisi perbankan dan lembaga keuangan bukan bank Komisi IX DPR Anthony Z Abidin mengatakan, meski yang terjadi adalah di tingkat kantor cabang, namun masalah ini tetap menjadi tanggung jawab jajaran direksi. Sebab, selain status BNI sebagai bank plat merah (bank BUMN) angka yang dimanipulasi juga sangat besar yakni Rp 1,7 triliun.

Bahkan secara tegas Anthony meminta agar direksi BNI mengundurkan diri. ''Direksi tetap harus bertanggung jawab. Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara moral, lebih baik direksi mundur,'' tutur Anthony usai hearing dengan direksi BNI di DPR, kemarin.

Ditambahkan, secara tidak resmi, sebagian anggota sub komisi perbankan Komisi IX juga telah meminta kepada pimpinan sub komisi agar segera mengirim rekomendasi kepada Men BUMN untuk memutuskan nasib direksi BNI. Antara lain, isi rekomendasi harus memuat pemberhentian direksi oleh Men BUMN.

''Karena pemegang saham BNI adalah kantor Men BUMN. Maka sebagian anggota sub komisi perbankan Komisi IX menghimbau kepada Men BUMN agar memberhentikan direksi,'' tukasnya. Apalagi, sambungnya, BNI juga pernah terjerat kasus penyalahgunaan sertifikat deposito yang dapat dinegosiasikan (negotiable certificate deposit/NCD) di BNI cabang Radio Dalam sebesar Rp 200 miliar beberapa waktu lalu.

Ia juga menyebutkan, dalam waktu dekat, data-data yang sudah diterima sub komisi perbankan dari hasil hearing dengan direksi BNI akan segera dilaporkan ke Komisi IX untuk segera ditindaklanjuti. ''Selain ini, kami berharap Men BUMN proaktif menangani kasus besar ini,'' tukasnya.

Senada dengan DPR, institusi pemeriksa keuangan negara, yakni BPK juga mengatakan bahwa kasus ini harus segera dituntaskan. Bahkan, pihaknya siap melakukan audit terhadap keuangan BNI, jika ada permintaan dari DPR.

''BPK siap mengaudit BNI sehubungan kasus manipulasi kredit eksport senilai Rp 1,7 triliun. Kalau memang ada permintaan dari DPR,'' papar Ketua BPK Satrio B. Joedono di Jakarta, kemarin. Menurut ketua BPK yang akrab dipanggil Billy itu, untuk memperlancar proses auditing keuangan BNI, BPK akan melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian. Sebab, kini penanganan kasus L/C yang diduga fiktif ini telah masuk dalam pemeriksaan aparat Mabes Polri.

Meski siap melakukan audit, Billy menegaskan, audit hanya diarahkan untuk mengungkap dugaan manipulasi L/C yang prosesnya telah terjadi sejak pertengahan 2002 itu. ''Tugas saya adalah melakukan audit. Tidak berhak menilai atas munculnya kasus ini, Sebab itu, untuk memperoleh hasil maksimal BPK akan kerjasama dengan pihak kepolisian,'' ujarnya.

Yang jelas, imbuhnya, secara umum pembobolan L/C ini memang bisa merugikan negara. ''BNI yang rugi. Tapi BNI kan milik negara. Jadi ujung-ujungnya kerugian BNI juga bisa menjadi kerugian negara,'' kata Billy yang mengaku tidak melakukan audit terhadap BNI untuk periode semester I 2003 ini.

Sementara, sikap keras kembali diungkapkan oleh BI. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution mengatakan, pihak bank sentral kecewa berat atas kasus yang terjadi dalam L/C fiktif BNI senilai Rp 1,7 triliun. Bahkan BI menilai, kejadian tersebut menunjukkan internal kontrol yang amburadul.

''Ini masalah internal kontrol, makanya saya kecewa berat. Kapan kita akan menjadi tuan di negeri sendiri kalau bank kita kondisinya seperti itu,'' jelasnya usai shalat Jumat di masjid BI kemarin. Dia menambahkan, bobolnya kredit BNI juga mencerminkan sumber daya manusia yang kurang berkualitas.

Untuk itu, ujarnya, masalah pembobolan bank tidak perlu dikaitkan dengan aturan yang dikeluarkan BI. Anwar juga mengakui internal kontrol yang lemah tidak hanya terjadi di bank-bank pelat merah (milik pemerintah) namun juga di bank-bank swasta.

Ditanya soal sanksi yang akan dilakukan BI, Anwar kembali mengatakan, kaitannya hanya kepada oknum yang terlibat. Mereka dilarang menjadi pengurus atau pemilik bank. Meski demikian, hal itu masih menunggu pemeriksaan dan penelitian dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Selain itu, ujar Anwar, BI saat ini sedang mempelajari permintaan pihak kepolisian yang meminta ijin untuk membekukan rekening bank sejumlah tersangka kasus BNI. Menurutnya, pihak kepolisian sudah mengajukannya. ''Kita sedang memprosesnya, dan surat ijinnya segera keluar,'' ujarnya.

Dia menambahkan, pembekuan rekening tersangka yang berasal dari internal BNI sudah dilakukan oleh manajemen. Sedangkan tersangka dari luar BNI saat ini rekeningnya masih dalam penelusuran.


DI SINGAPURA

Perburuan para tersangka kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun di BNI mulai menemui ganjalan. Dua tersangka utama, Maria Pauline Lomuwa (komisaris PT Graha Sindho Group dan pemilik Gramarindo), dan Ollah A Agam (komisaris PT Bravo Sindhu Mega Indonesia) berada di Singapura sejak satu bulan silam.

Kepastian keberadaan kedua tersangka itu 'bersembunyi' di negeri Singa dikemukakan rekan yang juga tersangka dalam kasus tersebut. Adrian Harling Waworuntu. Pria yang disebut-sebut dekat dengan terpidana 10 tahun pembobol Bank Duta Dicky Iskandar Dinata itu tadi malam mau berkomentar banyak soal posisi sejumlah rekannya kepada koran ini.

''Sudah dua pekan ini, Ibu Pauline dan Bapak Ollah di Singapura. Saya tidak ada kabar soal itu,'' kata Adrian. Maria dan Ollah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembobolan di BNI, setelah Gramarindo (anggota Konsorsium Sagared Team) menerima uang paling besar Rp 577 miliar dari hasil pembobolan kredit ekspor berjaminan L/C fiktif.

Sedang Adrian, seperti yang diakui, sebatas sebagai broker yang diberi amanat menginvestasikan sebagian dana hasil pembobolan kredit ekspor lewat Brokolin International. Brokolin sendiri dikelola oleh Dicky Iskandar Dinata, yang kemarin menjalani pemeriksaan di Mabes Polri sebagai saksi.

Dikatakan Adrian, dirinya dipamiti Maria dan Ollah ketika berangkat ke Singapura. Mereka berangkat atas sepengetahuan direksi BNI, karena kepergian ke Singapura bertujuan menghimpun aset perusahaannya yang akan digunakan untuk menutupi dana yang dibobol di BNI. Menariknya, kepergian Maria dan Ollah ke Singapura tidak ada penjaminnya.

Sayangnya, sampai kemarin, Adrian kehilangan kontak dengan dua tersangka tersebut. Adrian memperkirakan, mereka sengaja 'menghilang' ke luar negeri setelah kasus pembobolan tersebut ditangani Mabes Polri.

Sementara itu, Adrian sendiri juga bekerja keras untuk mengembalikan dana pembobolan di BNI. Oleh direksi BNI, Adrian beserta tersangka lain, diminta mengembalikan dana sekitar Rp 400-500 miliar dalam tempo dua bulan (Oktober-Desember). Dana tersebut diinvestasikan sejumlah penerima dana hasil pembobolan BNI (termasuk milik Maria), yang diinvestasikan oleh Adrian lewat Brokolin.

''Kami mengupayakan untuk menghimpun dana tersebut, dari sejumlah perusahaan yang kami kelola,'' kata Adrian. Adrian tak perlu pergi ke luar negeri untuk kepentingan tersebut, sebab sejumlah perusahaan itu berada di Indonesia. Perusahaan tersebut bergerak di bidang perkebunan, komputer, pabrik pupuk cair, dan sebagainya.

Pria yang sebagian rambutnya memutih itu merasa optimistis bisa menyelesaikan tugasnya. ''Kami optimitis bisa mengembalikan aset tersebut sampai pertengahan Desember. Kalau pun molor, itu terkait appraisal sejumlah aset,'' jelasnya. Adrian sendiri tidak menjelaskan, bagaimana teknis pengembalian, dan aset perusahaan yang akan dijual.

Yang mengejutkan, Adrian ternyata sampai kemarin belum memperoleh surat pemberitahuan soal penetapannya sebagai tersangka pembobol BNI. ''Saya belum dihubungi aparat,'' katanya. Padahal, keterangan Mabes Polri sebelumnya, Adrian sudah dua kali dikirimi surat panggilan untuk menjalani pemeriksaan tim penyidik. Adrian mengetahui status dirinya sebagai tersangka, justru dari media massa.

Meski demikian, Adrian sendiri menyatakan kesiapannya menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Adrian sendiri mengklaim tidak bersalah. Di depan penyidik, Adrian akan membeberkan bahwa dirinya hanya berperan sebagai broker dalam kasus tersebut. Yakni, diminta bantuan oleh Maria Dkk untuk menginvestasikan dana hasil pembobolan di BNI. ''Saya siap diperiksa. Dan, akan saya jelaskan posisi saya sebenarnya.''

Sebelum kasusnya mencuat, baik Maria, Ollah, dan Adrian beserta sejumlah tersangka lain sering bertemu di kantor Sagared Team di Jalan Kebagusan Raya 37 Jakarta Selatan. Di sana, mereka mempunyai posisi sebagai pimpinan. Sagared Team sendiri merupakan konsorsium yang mempunyai jaringan internasional, yang berdiri sejak 1998. Bidang usahanya beragam, mulai dari agribisnis, finansial, sampai properti.

Wartawan koran ini kemarin bertamu ke kantor Sagared. Tapi, hanya bisa menemui suasana kantor tanpa aktivitas kerja. Semua jajaran direksi --seperti Maria dan Ollah, sudah dua pekan lebih tidak ngantor. ''Nggak ada pimpinan di sini. Kalau wawancara, temui Pak Syahrizal (bagian legal Sagared Team). Tapi, dia keluar kantor,'' kata Feby, seorang recepsionist.

Sedang Agus, seorang satpam, mengakui bahwa jajaran direksi Sagared Team, sudah beberapa hari ini tidak terlihat masuk kerja. Tak jelas, apa alasannya. Yang pasti, dia beserta seluruh karyawan menduga, semua itu terkait dengan pemberitaan soal pembobolan di BNI. ''Kami hanya jaga di sini. Nggak tahu apa-apa,'' jelasnya. Agus sendiri berharap kasus pembobolan BNI itu tak mengimbas pada macetnya aktivitas kerja Sagared Team.

Gedung Sagared Team sendiri tak menampilkan sebuah bangunan yang mewah. Bangunan bercat coklat itu hanya mempunyai tiga lantai. Dari pantauan wartawan koran ini, di halaman depan Gedung Sagared Team hanya terparkir tiga mobil karyawan. Bangunan Gedung Sagared Team berdiri jauh dari pusat perkantoran, dan jalan protokol. Bahkan, berdiri di tengah-tengah perkampungan di kelurahan Kebagusan. (yun/pri/agm)


http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=27432
Bolong-bolong Wesel Bodong
Saturday, July 19, 2008 11:32 AM
RAPAT Komisi IX DPR-RI dengan direksi Bank BNI, Bank BRI, dan Bank Indonesia, Rabu lalu, berlangsung antiklimaks. Rapat yang diniatkan untuk mendengarkan penjelasan tuntas kasus pembobolan BNI dan BRI itu tak sesuai dengan harapan. "Penjelasan direksi terlalu normatif," kata Dudi Makmun Murod, anggota Komisi IX dari Fraksi PDI Perjuangan.

Pertanyaan tentang kepastian jumlah dana Bank BNI yang dibobol, dan keterlibatan pejabat BNI dalam kasus tersebut, tak terjawab lugas. "Tolong direksi BNI menjawab dengan tegas," begitu kata-kata yang kerap digunakan anggota dewan untuk melampiaskan kekesalannya atas jawaban direksi yang terkesan sering berputar-putar. Toh, ketegasan itu tetap tak muncul. Lagi-lagi, yang muncul jawaban-jawaban normatif seperti masalah sistem dan prosedur, yang tak langsung menjawab pertanyaan.

Kegeraman orang pun makin menjadi-jadi. "Lewat Mabes Polri, saya minta agar kasus ini diusut tuntas. Saya sudah serahkan nomor rekening saya untuk ikut diusut," ujar Kepala Sekolah Lanjutan Perwira Polri, Jacki Uly, kepada GATRA. Jenderal polisi bintang satu ini murka karena namanya tercantum dalam daftar aliran penerima dana hasil pembobolan duit BNI. Jacki disebut-sebut "kecipratan rezeki" dari PT Oelam Marble Industri, yang beroperasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Oelam adalah salah satu perusahaan dalam Grup Gramarindo, kelompok usaha milik Maria Rudyene Lumowa alias Erry Lumowa. Menurut versi polisi, Erry adalah otak utama pembobol BNI yang masih buron hingga kini. Dari perusahaan marmer itu, Jacki disebutkan menerima Rp 500 juta dalam bentuk pinjaman.

Ia juga mendapat "jatah" dana operasional sebesar Rp 150 juta ketika masih menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NTT, pada Januari lalu. Namun, menurut Jacki, kabar tersebut fitnah belaka. "Itu ulah para pemeras yang suka mencatut nama Kapolda dan pejabat NTT lainnya," kata Jacki.

Tapi, tak semua orang melampiaskan kekesalannya lantaran namanya tercantum dalam daftar kucuran dana haram dari BNI. Adi Sasono, politikus yang sekarang tercatat sebagai Ketua Umum Partai Merdeka, malah menggunakan daftar itu sebagai bahan gurauan. "Masak mantan menteri cuma kebagian Rp 150 juta. Pantes-pantes-nya Rp 150 milyar dong," katanya.

Dalam daftar itu, Adi disebutkan menerima duit dari Oelam Marble, Januari lalu, senilai Rp 150 juta. Toh, menurut Adi, pencantuman namanya dalam daftar aliran dana BNI itu cuma rekayasa. "Tak usah dipercayalah dokumen itu," kata Adi lewat telepon genggamnya.

Getah kasus pembobolan BNI itu tak hanya menciprat ke para penerima aliran duit. Pemerintah pun ikut-ikutan kena sodok. "Kalau kasus Bank Bali Rp 900 milyar Habibie bisa jatuh, masak Rp 1,7 trilyun ini tidak bisa jatuh," kata M.S. Kaban, anggota Komisi IX DPR-RI, dalam rapat dengan Bank Indonesia, Rabu pekan lalu.

Meskipun ucapan Kaban itu disampaikan dengan nada guyon, toh pemerintah serius menanggapinya. "Periksa semua yang terlibat dalam kasus BNI tanpa kecuali. Jangan ada yang seolah untouchable," kata Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi, mengutip Presiden Megawati. Perintah presiden itu terucap dalam rapat kabinet terbatas yang membahas khusus kasus BNI, Senin lalu.

Hingga awal Desember lalu, polisi telah menahan 12 tersangka kasus BNI. Seorang tersangka utama yang masih jadi buruan adalah Erry Lumowa. Di mata polisi, Erry tak ubahnya Cat Woman, tokoh antagonis dalam film Batman, perancang utama setiap aksi kejahatan. Adapun yang tertangkap hanyalah "Joker-Joker" yang membantu "sang ratu".

Warga negara Belanda pemilik Kelompok Bisnis Gramarindo itu diduga telah menerima sebagian besar dana BNI yang cair lewat letter of credit (L/C) palsu dari sejumlah bank di luar negeri. Jumlahnya disebut-sebut mencapai US$ 210 juta atau sekitar Rp 1,7 trilyun.

Versi polisi, dana sebanyak itu mengalir ke 156 rekening. Duit bergulir melalui delapan rekening perusahaan Grup Gramarindo. Menurut hasil investigasi tim audit internal BNI, duit tersebut mengalir lewat negosiasi diskonto wesel ekspor berjangka sebanyak 105 slip bernilai US$ 157,4 juta dan 56,1 juta euro.

Penyaluran dana itu melanggar sistem dan prosedur di BNI, lantaran proses diskonto tersebut dilakukan untuk L/C yang bukan diterbitkan bank koresponden. Penerbitan L/C itu pun dianggap tak memenuhi syarat karena tidak didukung dengan dokumen yang memadai. Dokumen pendukung yang ada diduga palsu.

Untuk meminimalkan risiko kerugian, manajemen melakukan penarikan kembali sisa rekening giro yang telah diblokir sejak Agustus hingga November lalu. Dari pemblokiran ini, bisa diamankan 61 slip senilai US$ 72,2 juta. Masih ada 44 slip senilai US$ 85,2 juta dan 56,1 juta euro yang belum "terselamatkan", baik yang telah jatuh tempo maupun yang akan jatuh tempo secara bertahap hingga April 2004.

"Di samping itu, masih ada potensi pengembalian sebesar Rp 433 milyar," kata Saefuddien Hasan, Direktur Utama Bank BNI. Potensi pengembalian itu berasal dari aset-aset jaminan dan piutang pihak-pihak penerima aliran dana yang masih perlu ditaksir oleh lembaga penilai.

Namun, uraian versi polisi dan BNI itu dibantah Erry. Dari Singapura, tokoh kunci kasus BNI ini membeberkan versinya sendiri tentang kasus ini. Menurut dia, dana yang diterimanya dari BNI tak sebesar itu. Jumlah kucuran dana ke perusahaannya hanya US$ 40 juta.

Perkara ini, menurut Erry, pernah ia bicarakan dengan Saefuddien Hasan dan Arwin Rasyid, Wakil Direktur Utama Bank BNI. Dalam pertemuan yang berlangsung di Singapura, Oktober lalu, kedua pihak tak menemui kata sepakat. Erry mengaku terkejut ketika BNI menyatakan jumlah utangnya mencapai US$ 136 juta. "Ke mana uangnya, tanyakan ke BNI," ujar Erry kepada sejumlah wartawan Indonesia yang ia undang ke "negeri singa" itu.

Agar masalahnya jadi jelas, ia minta BNI membeberkan catatan tentang kasus ini kepada publik. Apalagi, masih kata Erry, pembobolan duit BNI terjadi sejak 2001. Sedangkan hubungannya dengan BNI baru terjadi pada Oktober 2002.

Namun, keterangan Erry itu dibantah lagi oleh direksi BNI. "Saya tidak pernah bertemu Erry," ujar Arwin Rasyid. Pendapatnya didukung Saefuddien. Meski mengaku memang pernah bertemu Erry di Singapura, ia tak ikut dalam pembahasan tentang penyelesaian kewajiban pada BNI. "Saya ikut bergabung sebentar, mendengarkan arah pembicaraan," kata Saefuddien kepada Cecep Risnandar kepada GATRA.

Dikatakannya, pertemuan itu dalam rangka memaksimalkan pengembalian duit BNI yang sempat mengalir ke Erry. "Sebetulnya perundingan itu dengan tim recovery BNI yang dipimpin lawyer kami," kata Saefuddien. Tapi, karena kebetulan sedang ada acara di Singapura, ia mampir bersama Mohammad Arsyad, Direktur Kepatuhan Bank BNI, ke pertemuan yang dipimpin Suhanjono, penasihat hukum BNI, itu.

Versi lain ihwal kasus ini menyebutkan adanya tersangka lain yang menjadi biang bobolnya duit BNI. Menurut dokumen polisi yang diterima GATRA, kasus ini berawal dari masalah L/C yang didiskontokan oleh PT Mahesa Karya Muda Mandiri ke Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta. Dana hasil "menjaminkan" surat pernyataan dari importir bahwa akan muncul kewajiban setelah terjadi ekspor itu rencananya digunakan untuk membiayai proyek batu bara PT Mahesa.

Adalah Rudy Sutopo yang menyerahkan delapan lembar L/C yang dikeluarkan sejumlah bank di luar negeri dengan total nilai nominal US$ 7,450 juta. Lembaran wesel tagih ke sejumlah pengusaha di luar negeri itu diterbitkan pada Juni hingga September 2002, yang jatuh tempo antara September dan Desember 2002. Dengan menyerahkan L/C tersebut, PT Mahesa mendapatkan duit dari BNI sekitar US$ 9 juta. Seluruh dana hasil diskonto ini secara bertahap dicairkan ke rekening Rudy.

Masalah mulai datang ketika aliran duit BNI ke rekening Komisaris PT Mahesa itu tak diimbangi dengan kesinambungan pencairan duit dari bank penerbit L/C. Dari delapan L/C yang diserahkan Rudy, hanya separuh yang cair sesuai dengan tanggal jatuh tempo. Lantaran ketidakberesan itu, pada 28 November 2002 muncul teguran dari Edy Santoso, Manager International Customer Service Bank BNI Kebayoran Baru, kepada Direktur Utama PT Mahesa.

Dalam surat itu disebutkan, dua lembar diskonto L/C milik Rudy yang telah jatuh tempo senilai US$ 719.644 dan US$ 1,4 juta belum terbayar. Karena itu, Edy meminta PT Mahesa mengingatkan mitranya untuk menunaikan kewajiban tepat waktu. Singkat kata, pada 3 Februari 2003, total dana yang telah ditarik PT Mahesa dari penyerahan L/C berikut bunganya mencapai US$ 7,999 juta. Sedangkan yang sudah dibayarkan kembali kepada BNI hanya US$ 2,589 juta, sehingga masih tersisa sekitar US$ 5,410 juta.

Akibat tunggakan tersebut, PT Mahesa kena getahnya. Apalagi, duit itu belum masuk ke rekening PT Mahesa lantaran proyeknya ditunda. Permintaan Direktur Utama PT Mahesa agar Rudy mempertanggungjawabkan dana itu ke BNI pun tak digubris. Pada 13 Januari, Direktur Utama PT Mahesa, Harris Is'artono, melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.

Berkaitan dengan kasus Mahesa dan Rudy itu, dokumen kronologi kasus BNI yang dibuat Aprila Widharta memperlihatkan dampak penerbitan L/C bodong yang diberikan Rudy ke BNI Kebayoran. Menurut Aprila --mantan Direktur PT Pan Kifros, tersangka kasus BNI-- L/C bodong itu menyebabkan kebingungan pada Edy Santoso.

Dituturkan Aprila, kegusaran Edy tampak dalam pertemuan mereka dengan Erry Lumowa, September 2002. Pertemuan itu diatur Aprila untuk memperkenalkan Edy dengan Erry yang membutuhkan kredit untuk investasi proyek marmernya di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dalam pertemuan itu, Edy menceritakan kecurigaannya terhadap L/C Rudy Sutopo yang ditolak bank penerbitnya.

Kelak, dalam pertemuan lain, Edy juga menyampaikan kekhawatirannya tentang kemungkinan gagal bayar L/C ekspor John Hamenda sebesar US$ 3,5 juta. "Tampak sekali kebingungan Edy Santoso terhadap masalah L/C Rudy Sutopo yang tidak terbayar itu, dan karenanya dengan amat sangat dia mohon bantuan pada Maria," tulis Aprila.

Masih menurut Aprila, Erry bersedia membantu Edy. Namun, Erry sendiri ketika itu memerlukan kucuran kredit dan peran investor untuk mendanai proyeknya. Agar aliran duit dari BNI bisa lancar, Edy menawarkan skema pendanaan jangka pendek lewat fasilitas diskonto wesel ekspor berjangka.

Ia pun berjanji menyediakan dokumen (L/C, invoice, packing list, insurance, bill of lading, kontrak jual-beli) yang dibutuhkan untuk menerbitkan wesel ekspor. Wesel ekspor itulah yang seolah-olah akan didiskontokan Erry ke BNI, sehingga ia bisa segera mendapatkan dana. Menurut Edy, lewat fasilitas itu, duit bakal cair lebih cepat ketimbang lewat prosedur kredit.

Mengimbuhi isi dokumen tersebut, sumber GATRA menyebutkan bahwa penyelesaian L/C Rudy atas nama PT Mahesa itu ikut diselesaikan oleh Erry. Caranya, tagihan BNI ke Mahesa diambil alih perusahaan multifinance milik Erry, PT Adhitya Finance. PT Adhitya melunasi tagihan BNI ke PT Mahesa itu menggunakan dana yang diperoleh dari BNI. Selanjutnya PT Mahesa menjadi debitur PT Adhitya.

Dengan skema itu terbukti, kucuran duit BNI ke Grup Gramarindo berjalan lancar. Proses pencairannya dibuat terpecah-pecah lewat beberapa perusahaan. Aliran dana itu pun diikuti penyerahan sejumlah jaminan aset kepada BNI. Dalam catatan Aprila, sampai akhir Desember 2002, Grup Gramarindo telah menerima dana lewat fasilitas diskonto wesel ekspor senilai US$ 20 juta.

Dari catatan Aprila itu, muncul pertanyaan: bagaimana Edy mendapatkan wesel ekspor berjangka untuk "jaminan" pencairan duit BNI ke Grup Gramarindo? Sumber GATRA yang pernah bekerja sama dengan Rudy Sutopo menuturkan bahwa L/C dan dokumen pendukungnya bisa didapat dari "mafia" L/C di Singapura. "Ini banyak dilakukan untuk mendapatkan dana perbankan," kata sumber itu.

Dokumen ekspor-impor dan alat pembayarannya bisa disewa dari para eksportir di "negeri singa" itu. Dalam catatan Aprila pun disebutkan, biaya sewa L/C ekpor di Singapura sebesar 6,5% per tiga bulan, sedangkan biaya diskonto 5% per tahun. Selama jatuh tempo pembayaran L/C itu ditepati, tak ada masalah bagi perbankan.

Masalah baru muncul bila L/C itu tak terbayar ketika jatuh tempo. Bank penerima L/C akan mendapat masalah lebih besar ketika bank penerbit bukan bank korespondennya. Itulah yang terjadi dalam kasus L/C yang diserahkan Rudy dalam kasus PT Mahesa.

Persoalan itu juga muncul dalam pendiskontoan wesel ekspor Gramarindo. "Saya tidak heran bila Edy menggunakan jalur Rudy untuk mendapatkan wesel ekspor," kata sumber tadi. Ia pun tak terkejut bila kasus ini bakal muncul lagi di bank-bank BUMN lain. Setelah kasus BNI dan BRI merebak, beredar kabar bahwa ada bank BUMN lain yang kebobolan Rp 6 trilyun akibat kasus serupa.

Kemungkinan munculnya kasus serupa tak disangkal Laksamana Sukardi. "Kita tidak ingin ada kasus seperti itu. Tetapi, ternyata di republik ini masih banyak orang jahat yang ingin membobol bank," kata Laksamana. Itu lumrah selama kasus pembobolan bank tak diungkap tuntas, dan banyak pihak yang bisa ikut menikmati.

A. Kukuh Karsadi, Hendri Firzani, Luqman Hakim Arifin, Dan Antonius Un Taolin
[Laporan Utama, GATRA, Edisi 5 Beredar Jumat 12 Desember 2003]


http://www.gatra.com/2003-12-12/versi_cetak.php?id=32629
Maria Pauline Surati Kapolri, AKTRIS KASUS LC BNI
Saturday, July 19, 2008 11:22 AM
Salah satu aktris kasus L/C BNI mulai "bernyanyi" lagi.

Jawa Pos.
Senin, 31 Okt 2005,

Minta Cermati Dana di Bank NY


JAKARTA - Ada kejutan lagi pada pengungkapan kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun. Salah seorang buron kasus itu, Maria Pauline Lumowa, menyurati Kapolri Jenderal Sutanto. Isi suratnya, dia bersedia bersikap kooperatif membantu penyidik mengungkap aktor di balik skandal perbankan itu.

Surat tersebut dikirimkan melalui pengacara Pauline, O.C. Kaligis, kepada Kapolri pada awal Oktober lalu. "Kami mendengar kasus BNI akan dibuka lagi. Klien kami, Ibu Pauline, berupaya bersikap kooperatif, kendati sekarang tinggal di Belanda," jelas Kaligis yang ditemui di kantornya akhir pekan lalu.

Dalam suratnya, Pauline mendukung upaya pembukaan lagi kasus BNI, termasuk kemungkinan membongkar praktik penyuapan serta pemerasan (mantan) pejabat Polri. Menurut dia, penyidikan kasus pembobolan BNI bisa tuntas bila penyidik memeriksa aliran rekening BNI di Bank of New York (BNY).

"Kunci permasalahannya pada rekening BNI di Bank of New York. Di situ akan terungkap aliran dana yang patut dipertanyakan," jelas Kaligis.

Menurut dia, kliennya merasa ada yang tidak beres di balik penanganan kasus BNI. Pauline lewat Grup Gramarindo merasa diperalat dalam pemberian pinjaman. Dia lantas merinci sejumlah data yang benar-benar baru. Misalnya, manajemen BNI saat itu tidak menyanggupi janji untuk menutup WEB (wesel ekspor berjangka) Grup Gramarindo ketika L/C (letter of credit) jatuh tempo.

"BNI telah menuduh Grup Gramarindo atas penggelapan Rp 1,3 triliun. Padahal, kredit Grup Gramarindo tidak mencapai jumlah itu. Dan, klien kami telah memenuhi hampir semua kewajibannya," tegasnya.

Selain itu, lanjut Kaligis, pengembalian utang Grup Gramarindo dimasukkan lewat rekening BNI di Bank of New York dengan nomor rekening 003-3167-564. "Pembayaran utang tersebut dibayarkan melalui Pte Cadmuss di Singapura dan Pte Capital Gain di Hongkong. Teknis pembayarannya dilakukan BNI Cabang Kebayoran Baru ke rekening BNI di Bank of New York," ungkapnya.

Pendek kata, uang yang dikeluarkan BNI di Jakarta (Cabang Kebayoran Baru) dimasukkan kembali ke rekening BNI di Bank of New York, namun dengan tambahan keuntungan dari bank cost dan diskonto.

Lebih jauh Kaligis menyatakan, Grup Gramarindo sejatinya mengajukan permohonan kredit investasi untuk pembangunan pabrik marmer dan jalan tol ke BNI. Selanjutnya, BNI sepakat memberikan pinjaman dengan jaminan Usance L/C USD 81,94 juta dan EUR 56,11 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. "BNI memberikan pinjaman dalam bentuk WEB yang janjinya akan ditutup begitu L/C jatuh tempo," katanya.

Grup Gramarindo menyetujuinya karena, pertama, adanya pernyataan BNI bahwa pinjaman dalam bentuk WEB lazim diberikan BNI. Kedua, demi efisiensi waktu.

Selain itu, permohonan kredit investasi tersebut didasarkan pada Akta Pengakuan Utang (APU) No 7 antara Grup Gramarindo Mega Indonesia dan BNI soal nilai pinjaman dalam bentuk WEB Rp 1,2 triliun.

Terkait dengan pengembalian pinjaman, lanjut Kaligis, Grup Gramarindo telah membayarkan pinjaman PT Mahesa, PT Petindo, PT Pankifros, dan PT Cipta Tulada senilai USD 20,8 juta ke BNI. Grup Gramarindo juga diwajibkan membayar biaya bank sebesar 4,5 persen dan diskonto ke BNI. "Ada data dari analisis PPATK bahwa BNI telah menerima pengembalian utang USD 85,55 juta dari Grup Gramarindo," ujarnya.

Selebihnya, Gramarindo juga mengalihkan piutang PT Steady Safe Rp 9,5 miliar dan tanah seluas 2.832 meter persegi ke BNI pada 7 Oktober 2004. Sayangnya, hingga akhir Oktober ini, surat tersebut belum direspons Kapolri. "Kami masih menunggu perkembangan dari penyidik. Tetapi, mudah-mudahan semuanya menjadi clear," tegas Kaligis.


Gorries Diundang ke Belanda
Sementara itu, Wakabareskrim Mabes Polri Gorries Mere dan Beni Mamoto (salah seorang penyidik) diundang Pauline ke Belanda untuk mengungkap kasus BNI. Setidaknya, hal itu tergambar dari isi e-mail Pauline kepada Kaligis pada 5 September lalu. "Saya setuju bertemu Mamoto dan Gorries, jika mereka bersedia ke Belanda," ungkap Pauline dalam e-mail-nya.

Dua polisi tersebut awalnya setuju bertemu Pauline di Singapura. Namun, Kaligis mewanti-wanti agar lokasi pertemuan tetap di Belanda. "Ini semata-mata sebagai jaminan (agar Pauline tidak ditangkap)," katanya. Sebelumnya, Adrian pernah ditangkap petugas Interpol di Singapura setelah berpekan-pekan kabur ke luar negeri.

Itu merupakan "prestasi" tersendiri. Mengingat, RI dan Singapura belum memiliki perjanjian ekstradisi. Sama seperti surat terdahulu, dua pejabat Polri itu belum menjawab keinginan Pauline agar lokasi pertemuan tetap berada di Belanda. (agm)

http://www.jawapos.co.id/
Pembobolan L/C Bank BNI, Haruskan Direksi Diganti?
Saturday, July 19, 2008 4:01 PM
Oleh Cepi J Malik

BANK BNI kembali dilanda skandal Letter of Credit (L/C), yang menghebohkan. Seperti diberitakan berbagai media, Bank plat merah tersebut berpotenti mengalami kerugian senilai Rp 1, 7 triliun akibat pemberian fasilitas kredit ekspor L/C kepada tiga pengusaha lokal.

Kasus berawal dari pemberian fasilitas kepada para pengusaha eksportir kuarsa dan residu minyak . Para pengusaha tersebut menerima permintaan barang dengan jaminan L/C yang diterbitkan oleh bank- bank di luar negeri.
Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus L/C Bank BNI yang melibatkan Texmaco beberapa waktu lalu senilai Rp. 9,8 triliun.

Tak salah juga bila ada orang menjuluki bank BNI sebagai spesialis Bank yang mudah dibobol dengan skema L/C. Skandal yang terjadi di tahun 1999 itu hampir membuat Bank BNI kolaps

Menteri Negara BUMN pun langsung bereaksi mengeluarkan kritiknya yang tajam terhadap direksi Bank BNI. Laksamana bahkan menilai bahwa penggantian direksi dapat menjadi keputusan untuk dipertimbangkan. Yang cukup mengherankan adalah reaksi yang datang dari direksi bank BNI sendiri.

Seperti yang diberitakan, Direksi menyayangkan pemberitaan mass media tentang kasus ini, yang dianggap menggangu strategi bank BNI sendiri dalam menyelesaikan kasus ini. Perlukah direksi Bank BNI segera diganti akibat kasus ini?. Siapa yang salah dalam kasus ini?

Penggunaan L/C
Skema yang digunakan dalam pembobolan BNI diawali dengan permintaan pembukaan L/C oleh para pengusaha yang diduga sebagai pembobol itu kepada bank – bank di luar negeri. Untuk menambah keyakinan bank BNI atas L/C yang akan dibuka ini, para pengusaha pun meminta bank – bank lain untuk melakukan confirmasi atau turut menjamin penerbitan L/C ini.

Berdasarkan L/C inilah kemudian perusahaan ini meminta Bank BNI mencairkan kredit ekspornya. Bank BNI tentu dengan mempertimbangkan kelayakan L/C tersebut berani memberikan kredit ekspornya. Apa yang terjadi kemudian adalah dana yang diperoleh dari kredit ekspor ini tidak digunakan untuk ekspor, bahkan digunakan untuk pembayaran utang–utang perusahaan itu.

Dalam memberikan kredit ekspor tentu di samping melihat kualitas bank penerbit L/C, seharusnya Bank BNI menganalisa creditworthiness (kelayakan kredit) dari debitornya. Dari mulai meneliti barang yang akan diekspor sampai kompetensi debitor di dalam bisnis yang akan dibiayai.

Limit kredit cabang Kebayoran seperti diberitakan adalah sebesar Rp 1,5 miliar. Artinya pemberian kredit di atas jumlah tersebut harus dengan persetujuan Kantor wilayah atau Kantor Pusat. Agak mengherankan apabila kredit senilai Rp 1,7 triliun bisa dieksekusi di tingkat cabang.

Pemberian kredit sebesar itu hampir dipastikan diketahui tidak hanya sekedar pejabat cabang. Di dalam praktik bank di mana pun, bagian yang melakukan proses approval ( persetujuan), analisa kredit, dan yang melaksanakan penerbitan LC adalah bagian- bagian yang terpisah. Sehingga keterlibatan banyak pihak adalah bagian inherent di dalam prosses pemberian kredit yang besar.

Tetapi kenapa yang segera diperiksa adalah para pejabat bank pada level pelaksana?.

Pertama, untuk alasan klise, yakni kepentingan kelangsungan bank BNI secara nasional, dikhawatirkan pemeriksaan terhadap direksi bank akan mengakibatkan para deposan resah yang pada gilirannya bisa melakukan rush terhadap dana bank.

Kedua, Direksi memiliki bargaining power yang secara otomatis lebih tinggi ketimbang pelaksana. Ketiga, memang pelaku kejahatan adalah pejabat pada level rendah.

Untuk kasus ekspor fiktif, mengemplang uang jutaan dolar oleh debitor dengan scheme transaksi L/C berdasarkan pengalaman bukan perkara yang sulit, asalkan memiliki hubungan yang “khusus” dengan pihak bank. Sebagai contoh, debitor tinggal kongkalikong dengan penjual di luar negeri untuk menaikkan setinggi langit alias mark up harga barang yang akan diimpor.

Lalu atas dasar L/C yang dibuka oleh pembeli, eksportir kita mengajukan kredit ekspor ke bank . Dana yang diperoleh kemudian diinvestasikan dalam bentuk deposito. Pada saat jatuh tempo kewajiban L/C tinggal dibayar. Contoh yang lain seperti yang disinyalir terjadi di bank BNI ini.

Kalau mengikuti aturan evaluasi kredit yang benar, tentu seharusnya bank tidak hanya menyandarkan keputusan pemberian kredit ekspor dalam fasilitas L/C kepada kemampuan membayar debitornya atau kepada Penjamin atas L/C itu.

Wewenang Direksi
Di dalam perbankan setidaknya ada dua tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh direksi bank.

Pertama Bank harus menjaga kepentingan pemegang saham. Kepentingan pemegang saham umumnya menyangkut ekspektasi keuntungan yang dapat dinikmati oleh pemegang saham, baik yang diperoleh dalam bentuk deviden maupun dalam bentuk capital gain.

Dengan demikian Bank berkewajiban menjaga seluruh asset investasi dengan membuat kebijakan yang menjaga kelangsungan pertumbuhan dan stabilitas.

Kedua, Direksi bank bertanggung jawab menjaga kepentingan para deposannya. Artinya Direksi diharapkan dapat memberikan kepastian akan amannya dana para deposannya. Para depositor harus merasa yakin bahwa di samping bank memiliki kebijakan dan prosedur yang dapat memberikan rasa aman, juga para deposan percaya bahwa dananya dikelola oleh personel yang memilki integritas yang baik.

Kejadian pembobolan ini dapat dilihat di dalam konteks wewenang, tugas dan tanggung jawab direksi , yakni bahwa ada kegagalan dalam pemenuhan kedua ekspektasi di atas.

Potensi kerugian sebesar Rp. 1,7 triliun akan mengurangi secara signifikan jumlah keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham. Bayangkan dengan net income usaha perbanan sebesar 2 persen misalnya, untuk mengembalikan uang sejumlah Rp. 1,7 triliun ini, maka bank harus melempar kredit sebesar Rp. 85 triliun ( 2 persen x Rp.85 triliun = Rp. 1,7 triliun)!.

Dengan demikian hal ini menunjukkan Direksi Bank BNI tidak dapat memenuhi interest para pemegang saham. Begitu juga dengan ekspektasi para deposan.
Kasus ini dapat menunjukkan betapa sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh BNI patut dipertanyakan karena tidak dapat menangkap isyarat awal akan terjadinya skandal yang demikian besar secara hitungan rupiah.

Padahal di dalam ketentuan- ketentuan tentang prinsip kehati- hatian, risk management, dan compliance system yang dikeluarkan Bank Indonesia jelas- jelas disebut bahwa direksi bertanggung jawab atas tersedia dan terlaksananya system internal control yang mumpuni, identifikasi risiko setiap transaksi, dan terpenuhinya ketentuan- ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.


Respon Cepat
Melihat besarnya dana yang terlibat dan implikasi yang dapat ditimbulkan, Bank Indonesia seharusnya segera turun tangan. Lihat saja misalnya, di pasar modal, harga saham bank BNI langsung turun hampir mencapai 20 persen. Tanpa harus menunggu unexpected loss bagi perbankan dan stabilitas moneter betul- betul terjadi Bank Indonesia dapat mengirimkan tim khusus.

Setidaknya untuk mengubah image masa lalu dalam menangani kredit ekspor fiktif, di mana BI amat mengecewakan.
Sementara pihak kepolisian jangan terhenti melakukan penyidikan atau penyelidikan karena menanggap bahwa negara tidak dirugikan secara materil karena para pengusaha nantinya bisa membayar kewajibannya.

Karena pembobolan bank dengan menggunakan scheme LC pembayaran kewajiban ini adalah merupakan bagian dari skema itu sendiri.
Secara financial kerugian yang timbul tidak hanya terjadinya financial losses tapi juga hilangnya opportunity cost. Opportunity cost sendiri bukanlah perkara sembarangan.

Seharusnya uang yang digunakanan untuk kredit fiktif itu betul- betul digunakan untuk meningkatkan dan mengembangkan ekspor negara kita yang amat vital perannya bagi pemulihan ekonomi yang tak kunjung tiba masanya ini.

Lalu Statistik ekspor kita pun menjadi berantakaan karena pusat data ekspor kita mencatat kegiatan ekspor angin ini sebagai kegiataan ekspor sesungguhnya. Akibatnya di samping data yang ngawur, kebijakan ekonomi dan moneter yang akan dijalankan dapat terpengaruh. Tapi sekarang ini siapa yang perduli? n

Penulis adalah pengamat masalah perbankan

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/29/eko05.html
Parlemen tuntut percepatan pengembalian aset kasus L/C BNI
Saturday, July 19, 2008 11:11 AM
JAKARTA: Dewan Perwakilan Rakyat mendesak PT Bank Negara Indonesia Tbk berkoordinasi dengan kejaksaan untuk mempercepat pengembalian aset terkait dengan kasus letter of credit (L/C) BNI cabang Kebayoran Baru selambat-lambatnya enam bulan terhitung sejak kemarin saat laporan panitia kerja (Panja) dikeluarkan.

Hingga saat ini, aset BNI yang berhasil diselamatkan baru mencapai 7,15% total kerugian Rp1,58 triliun. Jumlah aset tersebut setara dengan Rp113 miliar.

Sekretaris Panja Kasus BNI Dradjad H. Wibowo menyatakan jika dalam waktu enam bulan proses recovery tidak bisa dilakukan, DPR akan mengambil langkah politik.

"Untuk BNI, kami akan melaporkannya kepada Menteri BUMN bahwa kinerjanya kurang memuaskan. Kemudian untuk Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Agung, kita akan melaporkan kepada atasannya, yaitu presiden," kata dia di Jakarta, kemarin.

Dradjad menambahkan, terhadap aset yang sudah disita untuk negara maupun disita untuk negara c.q. BNI, Panja meminta agar segera dilakukan penilaian. Menurut dia hingga saat ini penilaian terhadap aset yang disita belum dilakukan.

"Kalau tidak ada penilaian aset, kami dari pihak Panja maupun komisi tidak mungkin memutuskan satu angka pun dalam rangka pelelangan," lanjut dia.

Dalam kasus L/C BNI cabang Kebayoran Baru tersebut, Panja menemukan bahwa pihak BNI tidak bersedia menerima aset yang disita. Namun, bank BUMN itu lebih menginginkan dalam bentuk uang.

"Ini berarti harus ada pelelangan lagi. Ada permintaan, BNI yang melelang itu takut dicurigai lagi. Jadi sangat wajar, sehingga kehati-hatian merupakan salah satu faktor yang membuat proses recovery ini lambat," kata Ketua Panja Kasus BNI Yunus Yosfiah.

Pada kasus tersebut, Panja juga meminta agar Presiden menugaskan Polri, Jaksa Agung, BNI, dan Departemen Luar negeri untuk tetap mengejar aset-aset yang saat ini berada di luar negeri. Adapun jumlah aset yang saat ini masih berada di luar negeri sebesar US$55,1 juta, atau 35% dari nilai kasus L/C.

Selain juga, Panja meminta agar pihak berwajib memulangkan dan menyidangkan di Indonesia Maria Pauline Lumowa dalam jangka waktu tiga bulan setelah laporan Panja.

Menanggapi desakan Panja tersebut, pihak BNI menyatakan telah melakukan proses eksekusi terhadap aset yang disita. Adapun hasil dari kegiatan itu adalah telah disitanya uang tunai sebesar Rp19 miliar dan telah dibukukan sebagai pendapatan BNI. (m04)


Kementerian Negara BUMN (26 Januari 2007)

http://www1.bumn.go.id/news.detail.html?news_id=18292

Mengkaji risiko negosiasi L/C di bank
Saturday, July 19, 2008 11:09 AM
M. Syahran W. Lubis

Bisnis Indonesia, 5 Nopember 2003: Bank sebagai lembaga pembiayaan transaksi ekspor impor umumnya menggunakan fasilitas letter of credit yang beragam jenisnya dan mengandung risiko yang berbeda antara satu dan lainnya, meski secara prinsip menganut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit dengan edisi terbaru UCP 500.
Risiko dalam transaksi L/C timbul bila negosiasi tidak mematuhi norma dan ketentuan internasional itu.

Umumnya risiko disebabkan adanya penyimpangan, sehingga berdampak bagi opening bank tidak dapat menerima pembayaran atau kelambatan bayar dari mitra bisnisnya di luar negeri.

Dengan siapa bank bertransaksi dapat dijadikan faktor utama mengukur besar kecilnya risiko. Perbedaan manajemen, tata hubungan individu, dan kebijakan treasury memiliki pengaruh signifikan terhadap negosiasi L/C.

Karena itu, sebagai pedoman penting bagi bank adalah dengan siapa transaksi dapat dilakukan, berapa besar nilai transaksi dengan setiap mitra dapat dilakukan, dan jenis L/C apa yang sesuai dengan mitra bisnis tertentu.

Mencuatnya kasus L/C BNI yang memiliki potential loss setara Rp1,2 triliun menarik perhatian publik, mengingat reputasi bank BUMN ini cukup bonafid.

Menurut data Kepolisian, kasus itu diduga melibatkan sedikitnya tujuh perusahaan swasta yang bergerak di bidang a.l. ekspor pasir ke negara di Afrika.

Terlepas dari benar tidaknya indikasi transaksi itu fiktif, pengusaha tersebut tampaknya memecah transaksi L/C menjadi beberapa bagian sehingga totalnya Rp1,7 triliun, di antaranya transaksi Rp 500 miliar dikabarkan dapat dibayar oleh mitranya di luar negeri.

Jenis negosiasi L/C

Dalam kegiatan transaksi L/C dikenal adanya empat jenis model yaitu Revocable & Irrevocable L/C, Confirmed & Unconfirmed L/C, Restricted & Unrestricted L/C, serta Back to Back.

Revocable L/C adalah dokumen letter of credit yang sewaktu-waktu dapat diubah atau ditarik kembali oleh opening bank tanpa diperlukan persetujuan dari beneficiary, sesuai dengan persyaratan UCP 400 yang berbunyi "A revocable credit may be amended or cancelled by the issuing bank at any moment and without prior notice to the beneficiary."

Tetapi opening bank tetap berkewajiban membayar wesel yang ditarik berdasarkan L/C tersebut kepada negotiating bank sepanjang negosiasi dilakukan sebelum diterimanya perubahan atau pembatalan L/C dimaksud oleh negotiating bank.

Sebaliknya Irrevocable L/C adalah letter of credit yang tidak dapat diubah atau dibatalkan selama waktu berlakunya L/C tersebut tanpa persetujuan dari semua pihak yang terkait dalam L/C itu.

Negosiasi letter of credit disebut confirmed L/C jika terdapat bank lain selain issuing bank yang ikut memberi jaminan pembayaran atas L/C tersebut, biasanya yang diminta dan dikuasakan oleh issuing bank untuk menambah konfirmasi pada suatu L/C yang diterbitkannya adalah advising bank.

Sebaliknya jika L/C yang diterbitkan tidak dijamin oleh bank lain selain issuing bank, maka L/C tersebut dinyatakan sebagai unconfirmed L/C.

Kemudian, letter of credit yang membatasi bank yang dapat melakukan pembayaran, akseptasi, atau negosiasi atas wesel yang ditarik berdasarkan L/C disebut sebagai restricted L/C. Sebaliknya jika tidak ada pembatasan bank yang dapat melakukan pembayaran, akseptasi atau negosiasi yang ditarik disebut unconfirmed L/C.

Sedangkan Back to Back merupakan suatu letter of credit yang diterbitkan oleh bank pembuka L/C berdasarkan master L/C dari bank lain.

Keempat jenis L/C tersebut mempunyai risiko yang berbeda antara satu dan lainnya. Namun yang penting petugas bagian devisa harus melakukan pemeriksaan standar dalam rangka negosiasi L/C secara umum mencakup kelengkapan dokumen, kecocokan dokumen dengan L/C, dan kesesuaian antara dokumen yang satu dan lainnya.

Patut disadari bahwa definisi negosiasi bila dikaji lebih lanjut bahwa bukan merupakan bagi bank untuk melakukan negosiasi dalam kondisi dokumen tidak memenuhi syarat L/C.

Salah satu pasal UCP 500 menyebutkan "Negosiasi L/C adalah suatu proses tawar-menawar dalam pembelian wesel dan dokumen oleh bank yang atas kemauannya sendiri, untuk merealisasikan L/C, yang kemudian diajukan kepada issuing bank untuk mendapatkan pembayaran".

Dari definisi tersebut tersirat bahwa bank berhak menolak bila ada masalah yang menyangkut dokumen. Pihak bank seharusnya berorientasi pada dokumen, bukan pada barang atau hal lain yang berkaitan dengan transaksi sebelum dibukanya L/C misalnya kontrak penjualan, purchase order dan lain-lain.

Dalam upaya menyelesaikan kasus L/C, manajemen BNI dapat memaksimalkan kerja dengan budaya cepat tanggap dan fokus pada inti masalahnya.

Persoalan negosiasi L/C perlu ditelusuri secara rinci. Seyogianya bagian internal audit BNI telah menguasai tekniknya.

Khusus untuk indikasi kriminalnya, BNI bekerjasama dengan Kepolisian, Bank Indonesia dan Bapepam telah melakukan koordinasi yang bersifat early warning system untuk meminimalisasi kerugian lebih besar.

Tak kalah pentingnya adalah melakukan konsolidasi internal misalnya membentuk divisi khusus untuk menangani problem solving kasus L/C semacam crisis center sehingga semua informasi hanya dapat keluar dari pejabat yang berwenang untuk kasus tersebut.

Pengamat hukum perbankan Pradjoto mengatakan manajemen BNI harus fokus bagaimana recovery dana L/C harus dapat diselamatkan dan bekerja sama dengan penyidik untuk menyelidiki aspek kriminalisasinya.

"Kami minta penegak hukum harus tegas jangan sampai hanya pegawai bank saja yang dipenjara, sementara pelakunya bergentayangan di mana-mana," ujarnya dalam diskusi di sebuah stasiun televisi swasta Senin malam lalu.

Adalah benar apa yang dikatakan Sekretaris Menneg BUMN Bacelius Ruru, bahwa terlalu cepat mengaitkan pergantian direksi BNI dengan kasus L/C tersebut.

Dalam kasus begini, harus ada laporan dari direksi ke pemegang saham. Kapan pun RUPS itu diadakan, tentu harus ada laporan karena kasus itu bersifat material. Apalagi kasus ini sudah terbuka dan menjadi pengusutan Kepolisian.

M. Syahran W. Lubis
Wartawan Bisnis Indonesia


http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=76

No comments: